Bab 39

Semua timing yang terjadi antara aku dan Ian sepertinya tidak ada yang tepat. Pengakuan tentang perasaanku pada Ian dilakukan di saat kami tengah sama-sama dipenuhi emosi. Lalu, pengakuan Ian pun diutarakan saat aku baru saja mengalami kejadian buruk sekaligus sedang berusaha untuk mengubur perasaanku padanya.

Karena timing yang tidak pas, kami jadi tidak bisa mencapai titik temu yang tepat. Semuanya jadi saling berbentrokan.

Andai saja aku mengungkapkan perasaanku pada Ian di saat yang tepat dan tidak menggebu-gebu seperti yang kulakukan minggu lalu. Dan andai saja Ian langsung jujur tentang perasaannya, aku yakin hubungan kami tidak akan renggang selama seminggu ini. Aku juga yakin tidak akan terjebak bersama lelaki berengsek yang namanya masih enggan kusebut.

Sayangnya, tidak mudah membuat pengandaian tersebut menjadi nyata. Nasi sudah menjadi bubur. Dalam seminggu ini, sudah banyak hal buruk yang terlewati hanya karena salah paham. Sudah banyak pula air mata yang terbuang. Mau disesali pun percuma. Semuanya sudah terlanjur terjadi.

“Yan, gue bingung. Kasih gue waktu untuk mencerna ini semua. Otak gue rasanya mau meledak.”

Kalimat itulah yang kusuarakan pada Ian setelah dia mengungkapkan isi hatinya padaku. Aku sungguh tidak bisa berpikir banyak. Kejadian buruk yang menimpaku di kelab malam sudah terlalu banyak menguras tenaga, dan aku tak sanggup lagi bila harus memikirkan tentang pernyataan mengejutkan Ian yang satu itu.

Syukurlah Ian mengerti. Tidak ada paksaan sama sekali darinya. Dia pun membiarkanku kembali ke kamar, melanjutkan tidurku yang sempat terjeda karena rasa lapar. Yah ... walaupun sebenarnya aku tidak bisa tidur sampai pagi tiba.

Otakku terus bekerja tanpa henti. Kejadian demi kejadian yang kualami belakangan ini terus berputar ulang dalam benakku seperti kaset rusak. Tak ada jeda sama sekali hingga aku kesulitan untuk masuk ke alam bawah sadarku.

“Lo tidur kan, Nya?”

Aku memalingkan pandanganku ke sumber suara, mendapati Meta yang sepertinya baru bangun dari tidurnya.

Aku mengangguk. Tak sepenuhnya berbohong karena sebelum terbangun tengah malam untuk makan, aku sempat tidur selama beberapa jam. Tidak lama memang, tetapi cukup untuk membuat tubuhku tak terlalu lemas.

“Baru bangun apa gimana?” Meta kembali bertanya sambil meregangkan tubuhnya.

Aku mengambil posisi duduk seraya mengusap-usap wajahku. “Udah dari tadi, sih.”

Meta manggut-manggut. Dia kemudian bangkit berdiri, masih sambil memutar pinggangnya ke kanan dan kiri. “Lo jangan pulang dulu, ya. Pokoknya jangan ke mana-mana dulu. Entar biar gue aja yang bawain baju lo ke sini.”

Aku hanya menganggukan kepalaku. Menyadari jika larangan tersebut dilakukan demi kebaikanku.

Meta lantas beranjak ke kamar mandi setelah mengecek ponselnya sejenak. Aku pun turun dari atas ranjang tanpa membangunkan Felsi dan Olinsa yang masih terlelap.

Tujuanku adalah dapur. Tadi malam aku sempat melihat roti tawar di sana. Jadi, pagi ini aku memutuskan untuk membuatkan ketiga sahabatku dan Ian sandwich untuk sarapan.

Perasaanku pagi ini sudah jauh lebih baik meski pikiranku masih belum bisa tenang. Kalau hanya untuk membuat sandwich, aku masih bisa melakukannya dengan baik. Hitung-hitung sebagai balas budi karena sahabat-sahabatku sudah sangat memedulikanku.

Jarak pandangku yang semakin pendek dan dekat dengan dapur membuat manikku bisa menangkap siluet seorang pria yang tengah duduk di mini bar. Sosok itu tentu saja Ian, karena memang hanya dialah satu-satunya lelaki di sini. Lagipula, ini adalah apartemennya.

“Mau ngapain?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Ian saat dia menangkap kehadiranku.

“Bikin sarapan buat mereka,” jawabku, yang hendak berjalan memutari mini bar untuk menuju ke kitchen island.

“Gue udah order sarapan buat kita berlima.”

Pernyataan Ian membuat langkahku terhenti. Aku lantas berbalik dan menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat. “Oh, ya? Order apaan?”

“Bubur,” jawab Ian. “Gue tahu lo sama temen-temen lo doyan makan bubur.”

Aku tak bisa menghalau kehadiran senyum di wajahku. Kedua kakiku kembali kuajak melangkah, tetapi dengan tujuan yang berbeda. Aku menghampiri Ian dan mengambil duduk di sisinya. Posisi kami persis seperti tadi malam.

“Lo nggak tidur, ya?” tanyaku. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat dengan jelas wajah Ian yang tampak kuyu. Kantong matanya pun menggelap.

“Tidur. Sebentar.” Suara Ian memelan di akhir kalimat.

“Beneran?”

Jawaban Ian tidak tampak meyakinkan. Apalagi tadi malam aku kembali duluan ke kamar dan pagi ini aku mendapatinya berada di mini bar dengan posisi yang sama seperti tadi malam. Jadi, ada kemungkinan jika Ian tetap bertahan di sini sampai pagi, bukan?

Ian hanya menganggukan kepalanya dengan senyum simpul dalam bibirnya.

Sejujurnya aku ingin mengulik lebih dalam, tetapi bel apartemen Ian lebih dulu berbunyi hingga membuat suaraku gagal keluar.

“Kayaknya itu orderan sarapan gue.” Ian turun dari atas kursi. “Gue ambil dulu, ya. Bangunin temen-temen lo, Nya, biar kita sarapan bareng,” lanjutnya sebelum beranjak meninggalkanku.

“Siapa, tuh, yang dateng pagi-pagi gini?” Meta hadir tepat setelah kepergian Ian. Dia berjalan menghampiriku dengan wajah penasaran.

“Ian order makanan buat kita.”

Meta tampak menghela napas lega dan ber-oh ria.

Dari raut wajahnya yang kelihatan waswas, aku berspekulasi jika dia berpikir bahwa sosok yang memencet bel apartemen Ian adalah lelaki berengsek itu. Namun, aku tahu betul lelaki sialan itu tidak tahu-menahu di mana apartemen Ian. Jadi, di sini adalah tempat teraman untukku berlindung saat ini.

“Gue bangunin Felsi sama Olin dulu, deh,” ujarku seraya beranjak dari kursi. Sementara Meta sudah menempati kursi yang sebelumnya diduduki oleh Ian.

Setelah mendapat anggukan dari Meta, aku langsung bergegas menuju kamar untuk membangunkan Felsi dan Olinsa agar kami bisa sarapan bersama.

•••

Setelah selesai sarapan, Meta langsung pergi ke apartemenku untuk mengambilkan beberapa pakaian yang akan kugunakan selagi menginap di apartemen Ian. Setelahnya, Meta bersama Felsi dan Olinsa pun pulang.

Tadinya mereka bertiga hendak tetap tinggal di sini, tetapi aku memaksa agar mereka pulang untuk beristirahat sejenak. Aku tahu mereka tadi malam tidak bisa tidur dengan nyenyak. Jadi, lebih baik mereka beristirahat terlebih dahulu dan nanti malam bisa kembali menemaniku di sini.

Kini, aku hanya berdua bersama Ian. Dan syukurlah ini hari minggu sehingga aku tak harus pergi ke kantor.

“Untuk beberapa hari ke depan, lo mending WFH aja, Nya.”

Aku sedang berada di ruang santai dan langsung menengok ke sumber suara begitu mendengar celetukan Ian. Dia baru kembali dari kamar dengan ponselku yang berada di tangannya. Aku memang memintanya untuk mengambilkan ponselku yang sejak tadi malam dalam kondisi mati.

“Hmm.” Aku hanya bergumam singkat untuk menanggapi ucapannya barusan.

Masih belum terpikirkan dalam benakku akan hari-hariku selanjutnya. Aku memang akan mengambil libur selama dua atau tiga hari, tetapi setelahnya aku mungkin akan kembali ke kantor.

Ian dan ketiga sahabatku sama-sama memberi saran agar bekerja dari rumah paling tidak selama dua minggu ke depan. Dan aku masih menimbang-nimbang saran dari mereka. Untuk saat ini, aku hanya ingin beristirahat dengan tenang tanpa memikirkan apa pun.

Ian mengambil posisi tepat di sebelahku yang sedang duduk bersandar di sofa panjang. Dia lalu menyerahkan benda persegi panjang tersebut padaku.

Setelah berada dalam genggamanku, aku langsung menyalakan ponselku. Seperti dugaan di awal, ada banyak notifikasi yang masuk. Termasuk beberapa panggilan tak terjawab dan pesan dari lelaki berengsek itu.

“Aku minta maaf, Nya.”
“Aku khilaf. Aku nggak maksud nyakitin kamu.”
“Aku bener-bener minta maaf.”
“Ayo kita ketemu sebentar. Aku rela sujud di depan kamu sampe kamu maafin aku.”

Kira-kira seperti itulah isi pesan yang lelaki berengsek itu kirimkan padaku. Kendati isi pesannya terdengar penuh penyesalan, aku tetap tidak terpengaruh sama sekali. Yang ada malah membangkitkan amarahku yang sempat surut.

Kutarik napas dalam-dalam saat napasku mulai tak beraturan. Berusaha menormalkan amarahku yang mulai kembali bergejolak. Tanpa basa-basi, aku langsung menghapus pesan-pesan sialan itu dan memblokir nomornya. Saking emosinya, aku bahkan menekan kuat ibu jariku di layar ponselku, seperti hendak menghancurkan benda tersebut.

Sesaat setelah aku selesai memblokir nomor si berengsek itu, ponselku diambil paksa dari tanganku. Dan itu adalah perbuatan Ian. Dia meletakkan ponselku di belakang tubuhnya dan tanpa aba-aba langsung menarikku ke dalam pelukannya.

“Sshh! Ada gue. Lo aman,” bisik Ian seraya mengusap-usap rambutku ketika menyadari ketakutanku kembali hadir.

Tubuhku bergetar karena amarah yang begitu hebat. Namun, aku tetap berusaha untuk tenang dengan menarik dan mengembuskan napas panjang.

“Gue benci banget, Yan. Gue benci banget,” ucapku dengan penuh penekanan di setiap kata yang kuucapkan. Dan hal itu membuat air mataku merembes tanpa dapat ditahan. Sementara kedua tanganku mengepal erat di dada Ian.

Rasa trauma itu kembali muncul, mengingatkanku akan kejadian menakutkan yang menimpaku tadi malam. Kejadian itu membuatku merasa begitu hina dan rendah diri.

Aku menyesal.

Sangat amat menyesali sikap gegabahku belakangan ini.

•••

Heyoo! Gimana Bab ini menurut kalian?

Btw, kalo aku ngelove komen kalian, di kalian notifnya muncul nggak sih?

Seperti biasa, guys, diramein dulu kolom komentarnya. Kalo rame, besok lanjut lagi oghey❤💋

23 Januari, 2023

Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top