Bab 38

Setelah kejadian ini, barangkali akan ada banyak orang yang menertawakanku. Menertawakan kebodohan yang bisa-bisanya kulakukan, yang berhasil mencoreng titelku sebagai sosok perempuan cerdas.

Dulu, aku tidak pernah percaya jika cinta bisa membuat orang cerdas sekalipun menjadi tolol. Dulu, aku selalu berhasil mengontrol perasaanku, menahan diri untuk tidak melakukan hal gila hanya demi memuaskan rasa cintaku pada Ian. Namun, sepertinya aku terlalu meremehkan perasaanku sendiri. Kini aku malah terjebak dalam kebodohan hanya karena cinta.

Pikiranku terlalu pendek. Aku terlalu cepat mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang. Dan di sinilah aku sekarang, berkumpul dengan penyesalan tiada tara.

Rasanya malu luar biasa. Sampai-sampai aku tidak berani mengangkat kepalaku dari dada Ian. Dalam beberapa menit ini, aku masih terus bergelung dalam pelukannya meski air mataku sudah berhenti mengalir.

Aku tak bisa menampik jika pelukan Ian berhasil menyalurkan rasa damai dalam diriku, membuatku melupakan sejenak rasa takutku akan kejadian traumatis yang kualami bersama lelaki berengsek yang namanya enggan kusebut lagi.

“Masih pengen peluk,” lirihku sembari mengeratkan dekapanku di tubuh Ian. Kalimat itu keluar dari mulutku karena Ian hendak mengurai pelukan kami.

Ian hanya bergumam pelan dan mengabulkan permintaanku tanpa pikir panjang. Aku bahkan merasakan dagunya disandarkan pada kepalaku, mencari posisi nyaman. Tangannya pun kembali digunakan untuk mengusap rambutku yang terjuntai sampai ke punggung.

Selain karena malu berhadapan dengan Ian setelah kejadian beberapa jam yang lalu, aku juga masih ingin berada dalam pelukannya. Kuabaikan kedua kakiku yang mulai terasa pegal karena terlalu lama berdiri.

Kruukk kruukk.

Refleks aku meringis dan memejamkan kedua mataku dengan erat saat perutku bersuara. Perutku yang keroncongan sudah pasti terdengar sampai ke telinga Ian. Dan hal itu tentu saja membuatku merasa malu.

Waktunya sangat tidak pas. Merusak suasana tenang dan intim yang sudah mengitari kami sejak beberapa saat yang lalu.

“Laper?” Setelah sekitar satu menit berlalu, pertanyaan tersebut baru keluar dari mulut Ian tanpa melepas dekapan kami sama sekali.

“Hmm.” Aku hanya menjawab dengan gumaman singkat. Juga tak berniat untuk menarik diriku dari pelukan Ian.

“Gue masakin mie mau?”

Beberapa detik sejak pertanyaan tersebut disuarakan Ian, aku memilih untuk diam dan berpikir sejenak. Pasalnya, kalau aku langsung mengiyakan, otomatis dekapan kami akan selesai sampai di sini. Aku sungguh tidak ingin beranjak dari pelukan Ian.

Namun, pada akhirnya aku mengangguk dan perlahan menarik diriku dari dekapan Ian. Perutku yang kelaparan tak bisa ditahan lagi. Aku lebih membutuhkan makan saat ini.

“Mau gue masakin mie atau order makanan aja?” tanya Ian, yang kini sudah saling pandang denganku. Tangannya berpindah merangkum wajahku, menghapus sisa-sisa air mata di kedua pipiku dengan ibu jarinya.

“Masak mie aja.”

Okay. Ayo!” Ian menggandeng tanganku dan kami sama-sama berjalan menuju dapur.

Setibanya di dapur, Ian langsung mengarahkanku untuk duduk di mini bar. Sementara dia mengambil posisi di depan kompor, membelakangiku.

“Lo udah laper banget, Nya?” Ian berpaling sejenak ke arahku.

“Lumayan, sih.”

“Sabar, ya. Gue masaknya cepet, kok.” Dan dia kembali membelakangiku setelah mendapat anggukan singkat dariku, mulai sibuk dengan masakannya.

Ian memang tidak pandai memasak, tetapi kalau disuruh masak mie instan, dia jagonya. Mie instan yang dimasaknya bukan hanya mengandalkan bumbu yang sudah tersedia, tetapi dia memiliki bumbu racikannya sendiri. Jadi, rasanya tidak perlu diragukan lagi.

Selagi menunggu Ian memasak, aku tak henti memandanginya. Kendati hanya bisa melihat punggungnya, netraku benar-benar tak beralih dari sosoknya yang kadang sibuk ke sana kemari untuk mengambil beberapa bahan masakan.

Barangkali sudah lewat seminggu sejak pertemuan terakhir kami. Aku pikir, hari itu menjadi hari terakhir aku berkomunikasi dengan Ian karena aku sudah memutuskan untuk mengakhiri persahabatan kami. Namun, takdir memutarbalikkan semuanya. Ian kini kembali. Mengambil kembali perannya sebagai sosok sahabat untukku.

Dia kembali datang dalam hidupku. Menyelamatkanku dari keberengsekan seorang lelaki yang hampir menjadi suamiku.

Dia kembali. Memberikan sebongkah ketenangan dan melindungiku dari rasa traumatis yang menakutkan.

Rupanya aku masih membutuhkan sosok Ian dalam hidupku. Sosok sahabat yang sangat memedulikanku dalam kondisi apa pun.

Aku berharap, hubungan kami setelah ini akan kembali seperti semula.

“Udah selesai?” tanyaku saat melihat Ian yang sedang mengambil mangkuk dari rak piring.

Ian mengangguk tersenyum. Dia lantas memindahkan hasil masakannya dari dalam wajan ke mangkuk yang berada dalam genggamannya. Setelahnya, dia menghampiriku, mengambil duduk di sisiku dan meletakkan mie instan tersebut di hadapanku.

Hmm ... aromanya nikmat sekali.

“Selamat makan,” ucap Ian, sambil menaruh sendok dan garpu di dalam mangkuk tersebut.

“Lo nggak ikut makan?”

Ian menggeleng. “Gue kenyang. Lo abisin aja.”

Aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku dan mulai menyantap mie instan buatan Ian dengan antusias.

Seperti dugaanku di awal, rasanya tak perlu diragukan lagi. Enak sekali. Perpaduan antara mie instan yang enak dan aku yang sedang kelaparan membuat mie instan tersebut ludes hanya dalam hitungan menit.

“Kayaknya lo bener-bener kelaperan, ya,” celetuk Ian dengan kekehan di akhir kalimat.

Aku mengunyah terlebih dahulu suapan terakhir dalam mulutku sebelum menyahuti Ian. “Banget.”

Ian mendengkus geli. Dia bangkit berdiri, mengacak-acak rambutku sekilas sebelum mengambil mangkuk yang sudah kosong untuk kemudian dibawanya ke bak pencuci piring.

Thanks ya, Yan,” ujarku setelah dia kembali duduk di sampingku. Aku lantas meneguk habis air mineral yang tersisa setengah gelas lagi.

Ian hanya manggut-manggut dengan senyum tipis yang muncul di bibirnya.

“Maafin gue ya, Nya.” Tiba-tiba Ian berucap demikian setelah hening sekitar dua sampai tiga menit.

Aku tahu ke mana arah pembicaraan Ian setelah ini. Tanpa sadar aku menunduk sembari menggigit bibir bawahku. Memilih diam karena terlalu bingung harus memberi tanggapan seperti apa.

Telingaku mendengar suara deritan. Rupanya Ian tengah menggeser kursinya agar lebih dekat denganku saat aku mengangkat kepalaku. Posisi kami kini saling berhadapan. Ujung kedua lutut kami pun sudah saling bersentuhan saat Ian kembali duduk di kursinya.

Aku menelan ludahku tatkala Ian membawa kedua tanganku ke dalam genggamannya. Pandangan kami saling bertaut. Matanya begitu lekat menyorot ke arahku, membuatku seketika dilingkupi kegugupan. Kegugupan yang entah hadir atas dasar apa.

“Gue sebenernya sadar, Nya.” Ian tampak menarik napas panjang terlebih dahulu sebelum melanjutkan perkataannya. “Sadar kalo lo punya perasaan lebih ke gue.”

Saraf-saraf di tubuhku rasanya seperti disambar oleh listrik bertegangan tinggi usai mendengar ucapan Ian. Kedua mataku sampai melotot secara refleks. Dan rahangku hampir menyentuh lantai saking lebarnya mulutku menganga.

Kurasakan Ian meremas pelan tanganku yang masih berada dalam genggamannya. Bisa kurasakan dia juga memiliki kegugupan yang sama denganku. Sayangnya, aku tak bisa menanggapinya sama sekali. Lidahku terasa kelu hingga mulutku tak bisa menyuarakan kalimat apa pun. Begitu pula dengan otakku yang tak bisa diajak berpikir.

Sekali lagi manikku menangkap gerakan Ian yang secara terang-terangan menarik napas panjang, seakan-akan sedang berusaha menenangkan dirinya sendiri.

“Maafin gue, Nya,” ucapnya kemudian. “Maaf karena selama ini gue selalu berusaha menghindar. Maaf atas sikap gue ke elo waktu itu. Maaf udah bikin lo sakit hati. Dan maaf karena gue gagal ngelindungi lo dari cowok berengsek itu.”

Aku masih terdiam membisu dengan mulut yang masih terbuka lebar, mendengarkan dengan saksama kalimat Ian yang hanya berisi permintaan maaf.

Entah untuk yang ke berapa kalinya, Ian kembali mengambil napas dalam-dalam dan menatapku semakin lekat. “Gue sadar kalo selama ini gue terlalu pengecut. Gue selalu denial kalo gue juga punya perasaan yang sama kayak lo.”

Lanjutan kalimat Ian membuat tubuhku makin membeku di tempat. Sambaran petir itu kembali menyerangku, kali ini lebih dahsyat.

Jadi, Ian juga memiliki perasaan lebih dari seorang sahabat padaku?

“Kejadian buruk yang menimpa lo tadi bikin gue sadar kalo gue nggak bisa ngelepas lo sama cowok lain. Gue nggak mau ngelihat lo terluka, Nya. Dan gue sadar, satu-satunya cara untuk menghindari hal itu adalah dengan menjadikan lo sebagai milik gue.”

Aku menyerah. Otakku tak bisa mencerna lebih banyak lagi. Pembahasan ini terlalu mengejutkan bagiku. Aku butuh waktu untuk berpikir.

•••

Guys! Maaf ya bikin kalian nunggu lama. Tiap mau nulis tuh ada aja hambatannya, dan baru bisa sekarang😭😭

Untuk Ian's Voice, kayaknya nggak jadi aku lanjut, deh. Mau nyelesaiin yang di Wattpad dulu. Dikit lagi kelar kok ini👌

Masih semangat kan nunggu akhir kisah Ian dan Anya?

Berhubung Bab 39 udah aku tulis setengah jalan, jadi kemungkinan besok aku bakal update lagi. Yuk yuk diramein dulu kolom komentarnya❤💋

22 Januari, 2023

Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top