Bab 3

“Kunci mobil lo sini.”

Itu merupakan kalimat pertama Ian begitu kami tiba di parkiran kantor. Tangannya menengadah padaku sambil terus berjalan di sisiku yang tengah menghampiri mobilku.

Aku mengerutkan keningku padanya. “Lo mau nyetir?”

Ian mengangguk.

“Nggak!” tolakku dengan keras. Gila aja ngebiarin si Ian yang habis mabuk-mabukan ini nyetir. Aku masih sayang nyawa. “Big no! Lo masih teler gitu.”

Ian berdecak sembari menggoyangkan tangannya yang masih dalam posisi menengadah padaku. “Udah sini gue aja yang nyetir. Gue udah sadar seratus persen, Nya.”

“Enggak!”

Sekali lagi aku menolak. Walaupun Ian memang sudah kelihatan jauh lebih segar dari yang terakhir kali aku lihat, aku tetap tidak rela membiarkannya menjadi sopirku hari ini.

Kunci mobil yang sedari tadi berada dalam genggamanku pun langsung kudekap di dada, jaga-jaga kalau Ian nekat merebutnya dariku.

“Ck! Bener-bener, ya,” decak Ian.

Dia tertinggal beberapa langkah di belakangku karena aku sengaja mempercepat lajuku untuk menghindarinya.

Aku membiarkan Ian berjalan di belakang. Lebih dulu tiba di mobilku yang terparkir dan buru-buru mengambil posisi di balik kemudi. Tak lama kemudian, Ian juga ikut masuk sambil misuh-misuh. Mulutnya komat-kamit nggak jelas.

“Lagian kenapa, sih, kalo gue yang nyetir. Lebay banget, deh,” pungkasku sembari memutar kedua bola mataku dan mulai menyalakan mesin mobil.

“Nggak enak aja dilihat kalo lo yang nyetir,” balas Ian.

Kutunda sejenak niatku yang tadinya ingin langsung menjalankan mobilku. Memilih untuk berpaling pada Ian yang rupanya juga sedang menatap ke arahku sambil mendekap tote bag-ku yang sempat kulupakan.

“Nggak enak gimana?” Nadaku berubah ngotot.

“Ya nggak enak aja ngebiarin cewek nyetirin cowok.” Ian sama ngototnya denganku.

“Apaan, sih! Nggak usah bawa-bawa gender, deh.”

Kali ini Ian tidak langsung membalas. Dia malah memindahkan pandangannya ke depan dengan kedua mata yang memejam. Lantas, kedua tangannya diangkat seiring dengan hidungnya yang mengambil napas dalam-dalam. Kemudian kedua tangannya bergerak turun bersamaan dengan mulutnya yang mengembuskan napas panjang.

Dilihat dari gayanya, sepertinya dia sedang mencoba meredam emosinya dan berusaha untuk mengalah dalam perdebatan kami yang baru kusadari tidak penting sama sekali.

Ya, ampun! Kalau deket-deket Ian, tuh, bawaannya emang pingin ngomel mulu.

Aku masih memerhatikan Ian. Matanya sudah terbuka, tetapi tidak langsung kembali padaku. Dia malah mengambil ponselnya, mengotak-atik benda tersebut entah untuk apa.

“Oh ternyata lagi dateng bulan,” ucapnya tiba-tiba, tidak nyambung dengan perdebatan kami sebelumnya. “Mens hari pertama kan, Nya?” tanyanya, yang sudah mengubah arah pandangnya kembali padaku.

“Hari kedua,” jawabku dengan ketus, masih tersisa perasaan dongkol padanya.

“Lho, kok lebih cepet sehari, sih?”

“Mana gue tahu,” cetusku. “Nggak jelas banget, sih, malah ngomongin siklus bulanan gue.”

“Iya, Nya, gue emang nggak jelas banget,” kata Ian dengan senyum lebar yang tampak dibuat-buat. “Ya, udah, yuk berangkat sekarang, Yang Mulia.”

Aku berdecak dan untuk yang ketiga kalinya kembali memutar jengah kedua bola mataku. Ian memilih untuk mengalah dan perdebatan kami pun berakhir. Pandanganku sudah beralih dari Ian, fokus dengan kemudiku.

Sepertinya tadi Ian mengotak-atik ponselnya untuk melihat kalender menstruasi yang sengaja diunduhnya untuk mengetahui jadwal siklus bulananku.

Ian memang agak aneh. Katanya kalender itu dia download untuk jaga-jaga agar terhindar dari amukanku yang suka muncul tiba-tiba ketika sedang datang bulan. Lebih tepatnya menghindari berdebat denganku. Katanya, sih, aku jauh lebih galak saat sedang menstruasi. Padahal, aku nggak merasa segalak itu. Memang dianya saja yang berlebihan.

“Jadi, mau gue jelasin yang mana dulu?” tanya Ian setelah sepuluh menit perjalanan hanya diisi dengan keheningan.

Kekesalanku pada Ian sudah mereda. Mood-ku kembali netral. Sempat kutelengkan kepalaku ke arahnya dalam sekian detik, menemukannya yang rupanya sedang menatapku.

Meski pertanyaannya datang secara tiba-tiba, aku dapat menangkap maksudnya. Ian mencoba menjelaskan tentang rasa penasaranku akan alasannya mabuk-mabukan tadi malam. Juga sebungkus kondom dalam tasnya tentunya.

“Alasan lo mabuk-mabukan,” jawabku, sesekali membagi fokusku antara jalanan di depan dan Ian. “Lagi ada masalah atau emang gegayaan doang minum sampe sebanyak itu?”

Di antara dua rasa penasaranku tersebut, aku memang lebih cenderung ingin tahu tentang masalah yang sedang dialaminya. Soal kondom sialan itu bisa kuurus belakangan.

Dari sudut mataku, tampak Ian tengah mendekap tote bag-ku dengan erat. Netranya pun tak lagi berlabuh padaku, memandang jauh ke depan sana. Helaan napas panjangnya juga kudengar cukup keras.

Dari gerak-geriknya saja aku sudah bisa tahu jika Ian memang sedang dilanda masalah yang cukup rumit.

“Ini soal Bunda, Nya.” Aku memasang telingaku baik-baik saat Ian memulai ceritanya. Nada suaranya yang terdengar lirih membuat hatiku ketar-ketir. “Gue kemaren sempet nemenin Bunda ke dokter karena belakangan ini Bunda suka ngeluh sakit. Pas gue tanya, ternyata ada benjolan di payudara kirinya. Dicek, tuh, sama dokter, eh nggak tahunya Bunda kena kanker payudara.”

Kalimat terakhir Ian disuarakan dengan nada getir yang langsung menusuk tepat ke dalam jantungku.

Deg!

Untuk sepersekian detik aku tak dapat merasakan jantungku berdetak. Shock menyerangku bertubi-tubi. Tanpa sadar, aku menginjak rem secara mendadak, membuat tubuhku dan Ian sama-sama terpental ke depan walau tak begitu keras.

“Anya! Hati-hati!”

Teguran dari Ian langsung mengembalikan kesadaranku. Disusul oleh suara klakson yang terdengar bersahutan dari arah belakang.

Segera kujalankan kembali mobilku sambil berusaha tetap fokus pada jalanan di depan. Syukurnya jalanan agak lengang hingga tak terjadi kecelakaan karena kelalaianku. Paling hanya beberapa kendaraan di belakangku yang mungkin pemiliknya sedang memaki-makiku.

“Lo nggak papa, kan?” Ian tampak begitu khawatir setelah insiden barusan. Dia sampai memiringkan posisi duduknya dan menghadap ke arahku sepenuhnya. “Minggir aja dulu, Nya. Berhenti sebentar.”

Aku menggeleng pelan, menolak saran Ian. Kesadaranku sudah kembali seutuhnya walau degup jantungku mulai menggila di dalam sana.

Aku tinggal sendirian di Indonesia selama beberapa tahun. Tante Intan-lah yang selama ini menggantikan peran seorang ibu dalam hidupku. Dia benar-benar sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Jelas aku merasa sangat terpukul tatkala mendengar kabar buruk tentangnya.

Ya, Tuhan! Kenapa harus wanita sebaik tante Intan yang mendapatkan cobaan tersebut?

“Terus Tante sekarang gimana, Yan?” tanyaku.

“Seharusnya besok Bunda dicek lebih lanjut, tapi karena Abang sama Mbak Tiara mau bulan madu ke Amerika, jadi ke dokter lagi entar lusa.”

“Bang Aulion sama Mbak Tiara emangnya belum tahu?”

Ian menggelengkan kepalanya sembari membetulkan posisi duduknya kembali lurus ke depan. “Belum ada yang tahu selain gue sama Ayah. Kata Bunda, Abang sama Mbak Tiara jangan dikasih tahu dulu. Takutnya mereka malah nggak jadi honeymoon.”

Bang Aulion yang kami maksud adalah kakak Ian, anak tertua tante Intan. Sementara Mbak Tiara adalah istrinya. Mereka baru menikah sekitar seminggu yang lalu dan baru akan pergi berbulan madu besok. Mungkin tante Intan tak ingin menghalangi kebahagiaan anaknya dan memilih untuk menyembunyikan penyakitnya untuk sementara waktu.

Aku memaklumi keputusan tante Intan yang satu itu. Tidak ada seorang ibu mana pun yang tega membawa berita sedih di saat anaknya tengah berbahagia.

Aku yakin seratus persen jika bang Aulion dan mbak Tiara pasti akan langsung membatalkan keberangkatan mereka ke Amerika setelah mendengar kabar tersebut. Aku yang bukan anak kandungnya saja merasa begitu terpukul.

Kini, aku sudah tahu alasan Ian mabuk-mabukan separah itu tadi malam. Kendati perbuatannya tak dapat dibenarkan, aku yakin Ian hanya ingin menghapus kesedihannya.

•••

Udah masukin cerita ini ke reading list kalian belum? Kalo belum, hayuk buruan masukin ke reading list kalian biar kisah cinta Ian dan Anya makin tersebar luas xixixi🤭💃

Besok ketemu lagi gak?

Luv luv❤💋

8 Oktober, 2022

Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top