Bab 29

Karena tak bisa memenuhi permintaan Andra untuk menghabiskan waktu bersama di malam tahun baru, aku memutuskan memberikan waktuku di hari ini untuk Andra. Hanya hari ini aku free seharian sebelum besok kembali bergelut dengan pekerjaanku yang menumpuk.

Ketertarikanku pada Andra memang belum muncul seratus persen. Masih terselip rasa malas tiap kali hendak menghabiskan waktu bersamanya, tetapi aku cepat-cepat menghapus pemikiran itu. Kalau terus-terusan seperti itu, aku tidak akan pernah bisa mendapatkan jodoh.

Aku memang tak bisa menampik jika aku masih mengharapkan berakhir menjalin hubungan lebih dari seorang sahabat dengan Ian, tetapi sudah bertahun-tahun lamanya, hubunganku dengannya tetap jalan di tempat. Tidak ada kemajuan meski Ian selalu mendeklarasikan aku sebagai prioritas dan dia selalu berada di sampingku dalam kondisi apa pun.

Setelah dipikir-pikir, perkataan Ian memang ada benarnya. Kendati belum berniat untuk menikah dalam waktu dekat, aku tetap harus mencoba menjalin hubungan percintaan dengan seorang lelaki. Butuh waktu lama bagiku untuk menyeleksi sosok lelaki yang benar-benar cocok denganku. Jadi, mau tak mau aku harus mencoba untuk tetap melakukan pendekatan dengan Andra.

Berbeda dengan kencan pertama kami, kali ini aku membiarkan Andra menjemputku, tetapi aku tetap memintanya untuk menungguku di lobi. Aku merasa kami belum terlalu dekat, jadi dia tak perlu tahu nomor unit apartemenku.

Pukul sepuluh pagi aku baru selesai mandi. Masih dengan bathrobe yang membungkus tubuhku, aku duduk di meja rias untuk melakukan ritual skincare-an.

Di sela-sela kegiatanku yang tengah memoleskan sunscreen di seluruh wajah, ponselku berdering, menandakan adanya panggilan masuk. Segera aku beranjak dari posisiku, berjalan menuju ponselku yang kuletakkan di atas nakas.

Andra is calling.

Panggilan dari Andra, dan aku langsung menjawabnya setelah menempelkan ponselku pada telinga.

“Halo?” Aku menyapa lebih dulu.

“Hai, Anya. Udah siap-siap belum?”

Bibirku mengulas seutas senyuman kala mendengar nada suara Andra yang begitu bersemangat. “Ini lagi siap-siap.”

“Oke-oke. Entar aku jemput satu jam lagi, ya?”

Aku menganggukan kepalaku walau kutahu Andra tak bisa melihatku, tetapi aku juga turut mengiyakan pertanyaannya sebelum kami menyudahi panggilan singkat tersebut.

Andra hanya ingin memastikan kalau kami jadi pergi hari ini. Dia yang terdengar begitu excited dengan pertemuan kami, entah kenapa membuatku juga ikut bersemangat. Energinya menular meski hanya lewat panggilan suara.

Setelah meletakkan kembali ponselku ke tempatnya semula, aku melanjutkan kegiatanku yang tertunda sejenak. Skincare sudah meresap di wajahku, dan aku pun segera memakai pakaian yang sudah kupilih sejak bangun pagi tadi.

Sama seperti kencan sebelumnya, kali ini aku juga tidak ingin terlihat terlalu heboh. Aku ingin yang simpel-simpel saja dengan memakai kulot highwaist dan blouse lengan panjang.

Tubuhku sudah dibungkus dengan pakaian lengkap, aku pun kembali ke meja rias. Kali ini untuk memberi polesan makeup pada wajahku.

Aku baru selesai meratakan cushion di seluruh wajahku saat bel apartemenku berbunyi. Dengan kening yang berkerut, aku segera bangkit dari meja rias, menghentikan sejenak makeup-ku yang belum terselesaikan.

Tatkala mengintip sosok tamu yang menekan bel apartemenku lewat door viewer, aku menemukan Ian di sana. Sudah tidak heran jika Ian bisa muncul tiba-tiba di apartemenku karena dia sudah menempati hunian barunya yang terletak dua lantai di atas unitku.

Ian kembali memencet bel, tampak tak sabar. Aku berdecak sembari membukakan pintu untuknya.

“Nggak sabaran banget, sih,” sungutku langsung begitu berhadapan dengannya.

“Lo kelamaan bukain pintunya,” sanggah Ian. Dia langsung menerobos masuk ke dalam apartemenku tanpa repot-repot menungguku untuk mempersilakannya masuk.

Ck! Ian memang suka seenaknya.

“Udah sarapan belum?” tanya Ian, yang sudah menghentikan langkahnya dan berbalik, menungguku menutup pintu.

“Udah,” jawabku, sambil melirik kantong plastik yang dijinjingnya.

“Kok udah, sih? Gue bawain lo bubur ayam kesukaan lo, nih.” Ian mengangkat kantong plastik tersebut sejajar dadanya, menunjukkan bubur ayam yang dibawanya.

“Ya mana gue tahu kalo lo bakal bawain sarapan buat gue.” Aku memutar kedua bola mataku.

“Kan hari minggu, Nya. Gue tahu lo biasanya selalu sarapan di jam segini.” Ian masih membuat pembelaan. “Lo mau ke mana?” Aku gagal menyuarakan omonganku saat Ian kembali berucap. Dia tampak memerhatikanku dengan lekat dari atas ke bawah.

“Mau pergi gue,” jawabku sekenanya, yang lantas kembali berjalan menuju kamar untuk melanjutkan makeup-ku. Kalau terus berbincang dengan Ian, bisa-bisa aku terlambat dan gagal tampil sempurna di hadapan Andra.

“Ke mana?” Ian rupanya menyusulku. Dia mengambil duduk di pinggir ranjang, menatap lurus ke arahku yang duduk membelakanginya, yang masih sibuk di depan meja rias.

“Mainlah. Gue butuh refreshing. Otak gue udah panas karena kebanyakan kerja.”

“Iya. Ke mana?” Ian tampak tak puas dengan jawabanku.

“Kepo!” hardikku seraya memutar kepalaku ke belakang hanya untuk memberi juluran lidahku pada Ian.

Padahal, aku bisa langsung bilang ke Ian kalau aku akan pergi kencan dengan Andra, tetapi entah kenapa otak dan mulutku tidak bisa diajak bekerja sama. Terasa sulit bagiku untuk memberitahukan hal itu pada Ian.

Ian mendengkus pendek, terlihat mencoba bersabar menghadapiku. “Sama siapa? Felsi, Meta, Olinsa, atau temen-temen kantor lo?”

“Pokoknya gue nggak akan pergi sendirian.” Aku makin berbelit-belit.

“Sama Andra?”

Tanganku yang sedang bertugas menggambar alis seketika terhenti saat mendengar tebakan Ian.

Ikatan di antara kami sepertinya memang sudah sekuat itu. Meskipun aku terus berkelit, Ian tetap akan mengetahuinya. Alhasil, mau tak mau aku mengajak kepalaku untuk membuat anggukan, mengiyakan pertanyaan Ian.

“Mau nge-date lagi?”

Aku berdeham pelan dan mulai kembali melanjutkan menggambar alisku. Sekali lagi aku hanya mengangguk untuk menjawab Ian.

Ada jeda yang cukup panjang di antara kami. Ian berhenti bertanya, tetapi tak juga membuka suara. Keheningan yang cukup pekat tak pelak membuatku berbalik dan mendapati Ian yang tengah memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong.

Saat aku hendak menegurnya, netra Ian tiba-tiba saja berpaling padaku dan membuat niatku urung. Dia lantas menerbitkan seutas senyum tipis dalam bibirnya.

“Ya, udah. Have fun, ya,” ucapnya seraya beranjak dari posisinya dan berjalan menghampiriku. “Gue balik, deh. Kalo ada apa-apa, jangan lupa kabari gue.” Dia sempat memberikan tepukan ringan di kepalaku sebelum berjalan meninggalkanku.

Aku tak bisa berkata apa-apa sehingga tak ada respons yang kuberikan pada Ian. Hanya sorotku saja yang terus berlabuh padanya sampai akhirnya tubuhnya tak lagi tampak dalam pandanganku.

Kuembuskan napas panjang sembari memutar kembali tubuhku menghadap cermin rias. Kutatap pantulan wajahku di sana, yang terang-terangan menunjukkan kekecewaan.

Ini aneh.

Padahal, aku yang ngotot meminta Ian untuk tak mencampuri urusanku—terutama soal hubungan yang sedang kujalin dengan Andra. Namun, saat Ian tak lagi melarangku, aku malah merasa kecewa, seolah-olah Ian tak lagi peduli padaku.

Aku menggeleng kuat, mencoba menepis pemikiran-pemikiran dalam kepalaku yang sangat tidak rasional.

Ini yang aku inginkan.

Aku tidak seharusnya merasa kecewa.

•••

Mari kita siap-siap move on dari Ian yaa, biar Anya ada temennya🤭🤭

Seperti biasa, guys, jangan lupa ramekan bab ini. Vote dan komen yang banyak ogheyyy

Ketemu lagi besok kalo bab ini rame❤💋

20 November, 2022

Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top