Bab 28
Aku menempatkan diriku duduk di atas lantai, di depan cermin tinggi yang bisa memantulkan bayangan seluruh tubuhku. Berhubung Ian tidak punya meja rias, aku terpaksa harus memoles wajahku dengan cara lesehan.
"Orang-orang di bawah pada nanyain nggak tadi?" Aku membuka percakapan dengan membuat sebuah pertanyaan sembari memulai makeup-ku.
Posisi Ian agak jauh dariku, dia sedang berada di sofa panjang di kamarnya, mengambil nampan yang tadi kubawa untuknya sebelum kembali berjalan menghampiriku. Seluruh gerak-geriknya masih bisa kutangkap lewat sudut mataku.
"Cuma bang Aulion yang ngelihat gue ngambil tas lo," jawab Ian, ikut duduk lesehan di sebelahku.
Sontak aku menoleh ke arahnya. Telah hadir kerutan di dahiku yang menandakan kebingungan. Rasanya aneh bila kehadiran Ian tidak tertangkap oleh semua mata yang ada di sana.
"Kok bisa?"
Ian sedang memotong-motong daging dan sosis dalam piring. Sepertinya dia akan memakan hasil barbeque-an tersebut. Padahal, seingatku dia tadi menolak dengan alasan sudah makan malam sebelum pulang. Ian memang suka nggak konsisten.
"Siren baru dateng. Jadi, semua perhatian berpusat ke dia. Nggak ada yang nyadar sama sekali kalo gue ngambil tas lo," jelas Ian, yang kemudian memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya dengan kepala yang menoleh ke arahku.
Ah, ternyata Siren datang.
Kuanggukan kepalaku beberapa kali sebelum kembali memutar pandanganku ke cermin dan melanjutkan merias wajahku tipis-tipis hanya untuk sekadar menyamarkan bekas tangisan yang bisa dilihat dengan jelas.
"Dia kapan balik lagi ke Jerman?" Setelah jeda sesaat, Ian kembali buka suara, menghapus sunyi yang sempat mengitari kami. "Bareng bokap nyokap lo apa gimana?"
Aku mengedikkan kedua bahuku. "Nggak tahu gue. Nggak mau tahu juga, sih."
"Udah setua ini, lo sama Siren masih aja jadi musuh bebuyutan," ucap Ian, terselip candaan dalam kalimatnya.
Aku menggembungkan pipiku, berpaling sejenak pada Ian dan membantah dengan kalimat, "Gue sama sekali nggak pernah nganggep dia sebagai musuh gue, tuh."
Ian menyunggingkan senyum kecil. Dia kemudian menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku. "Iya-iya, gue tahu."
Ian memang mengetahui segala hal tentangku-kecuali perasaanku padanya tentunya. Dia tahu betul bagaimana hubunganku dengan Siren sejak dulu, yang tidak pernah akur sama sekali. Alasan dibalik sikap Siren yang memusuhiku pun dia juga tahu.
"Sebenernya gue pengen punya hubungan yang normal sama Siren. Yah ... selayaknya kakak dan adik pada umumnya," gumamku, yang lantas menarik napas panjang setelahnya.
"Dia terlalu keras kepala, Nya."
Aku mengangguk setuju. "Dia selalu nganggep gue sebagai musuh cuma karena gue anak pungut. Egonya terlalu tinggi."
Ian meletakkan garpunya di atas piring sebelum menempatkan satu tangannya di pundakku, memberi tepukan ringan di sana, seolah sedang mentransfer energi untuk menguatkanku.
"Gue yakin sih, Nya, akan ada masa di mana Siren bakal membutuhkan lo, membutuhkan kehadiran lo sebagai seorang kakak," papar Ian, yang kini sudah mengubah tepukannya menjadi usapan-usapan kecil.
"Semo-"
"Kak Ian!" Panggilan yang ditujukan untuk Ian, yang disuarakan dengan lantang berhasil memotong ucapanku yang belum sempat terselesaikan.
Aku dan Ian sama-sama menoleh ke sumber suara dan menemukan Siren di ambang pintu kamar Ian.
Aku masih tahu sopan santun dan selalu membiarkan pintu kamar Ian terbuka bila sedang berada di dalam. Jadi, tak heran jika Siren bisa datang menginterupsi kami secara mendadak.
"Aku dari tadi nyariin Kak Ian, lho," ucap Siren, dengan nada riang yang tak pernah dia berikan padaku sama sekali. Dia lantas masuk ke dalam tanpa dipersilakan. "Kenapa Kakak malah makan di sini?"
Ian mengerutkan dahinya. Terlihat jelas kekagetan yang muncul dalam ekspresinya. "Kamu ngapain ke sini?"
"Mau nyusulin Kakak," jawab Siren, menghentikan langkahnya begitu tiba di depan Ian. Dia lantas mengulurkan tangannya pada Ian. "Yuk, Kak, ke bawah. Nggak baik, lho, perempuan dan laki-laki berdua-duaan di kamar kayak gini. Entar si perempuan disangka cewek nggak bener lagi."
Aku mengembuskan napas panjang dan tak dapat menahan putaran kedua bola mataku. Perkataan Siren barusan tentu saja dilontarkan untuk menyindirku dan secara tidak langsung mengataiku sebagai perempuan murahan.
Segera kupalingkan wajahku dari Ian dan Siren. Makeup-ku pun sudah selesai dan aku buru-buru membereskannya, memasukkan kembali peralatan makeup-ku ke dalam tas.
"Kamu turun duluan aja. Aku nyusul kalo Anya udah selesai." Ian rupanya menolak. Uluran tangan Siren bahkan dibiarkan menggantung begitu saja, tidak disambutnya sama sekali.
"Gue udah siap, kok," sambarku, sambil beranjak berdiri. "Yuk, kalo mau ke bawah." Tanpa memedulikan keduanya, aku langsung berjalan terlebih dahulu.
Masalahku dengan Ian baru saja selesai. Api di hatiku belum sepenuhnya padam, dan aku tak ingin memantiknya lagi. Jadi, lebih baik aku menghindari Siren.
Aku tidak tahu apa yang sedang keduanya lakukan di belakangku. Kutahan kepalaku agar tak menengok ke belakang, tetapi tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki yang berjalan cepat. Rupanya Ian buru-buru menyusulku dan kini dia sudah berjalan menyejajari langkahku, meninggalkan Siren di belakang.
Saat aku berpaling pada Ian, aku menerima lemparan senyum simpul darinya, yang aku sendiri tak tahu apa maksudnya. Namun, aku juga ikut tersenyum meski samar. Merasa sedikit senang karena Ian tampaknya juga menghindari Siren dan lebih memilih untuk bersamaku.
Walaupun tidak dapat melihatnya secara langsung, aku yakin Siren sedang misuh-misuh saat ini, terdengar dari langkahnya yang dientak-entakkan dengan keras.
Sudah dua kali Ian bertemu dengan Siren. Dan dua kali pula dia memilih untuk menjaga jarak.
Untuk yang satu ini, aku tak bisa menampik bahwa aku cukup terkesan dengan sikap Ian. Meski pernah dekat secara romantis dengan Siren, Ian memilih untuk tetap berada di sisiku.
•••
Aku berjalan menuju teras halaman belakang rumah Ian yang sudah dilapisi permadani sebagai alas kami duduk. Dua piring penuh daging dan sosis berada dalam genggaman, baru kuterima dari bang Aulion dan mbak Tiara yang masih sibuk memanggang.
Tak lama Lana menyusul di belakangku, membawa dua buah gelas berisi minuman jelly dingin. Kami pun sama-sama bergabung bersama yang lainnya, mencoba mengikuti obrolan yang sempat tertinggal.
"Jadi gimana, Tan?"
Pertanyaan tersebut datang dari Siren, ditujukan untuk tante Intan. Keningku mengernyit, penasaran dengan konteks dari pertanyaan Siren.
"Tante seneng bangetlah kalo bisa dapet menantu kayak kamu," jawab tante Intan, tampak sangat excited.
Aku mulai paham ke mana arah pembicaraan mereka. Aku yakin Siren sedang melancarkan aksinya untuk menjodohkan dirinya sendiri dengan Ian.
Aku memilih untuk fokus pada makananku, pura-pura tidak mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Bukannya merasa kepedean, tetapi aku yakin sekali jika Siren sengaja mengangkat topik seputar hal itu di depanku. Dari perkataannya saat terakhir kali kami bertemu, aku tahu Siren mengetahui tentang perasaanku terhadap Ian.
"Tapi Kak Ian-nya nggak mau sama aku, Tan," papar Siren, dengan suara lemah yang terdengar seperti dibuat-buat.
"Kalo Kak Siren dijodohin sama Kak Ian, ntar saingan dong sama Kak Anya."
Celetukan Lana sontak membuat kepalaku terangkat. Lana memang suka sekali berbicara asal tanpa berpikir panjang, tetapi yang kali ini membuatku merasa sedikit senang.
"Tuh, Kakak kamu udah sahabatan lama loh sama Ian." Kali ini mama ikut menimpali.
Aku berdeham seraya menegakkan bahuku, daguku sedikit kuangkat. Boleh, dong, merasa sombong di saat-saat seperti ini? Semua orang seolah menegaskan jika akulah yang lebih cocok disandingkan dengan Ian.
"Kan cuma sahabatan, Ma," sanggah Siren. Dia menjaga suaranya tetap stabil, tetapi aku bisa melihat kejengkelan yang terpancar dalam sorot matanya.
"Duh! Ini, kok, malah jadi kayak ngerebutin si Ian, ya." Tante Intan terkekeh.
"Udah terlanjur," kata Lana. "Tuh, orangnya baru muncul. Tanya aja dia lebih milih Kak Anya atau Kak Siren."
Perhatian kami sejenak terpaut pada Ian yang baru kembali dari toilet. Dia tengah berjalan menghampiri kami. Kerutan di dahinya muncul saat semua mata memandang ke arahnya.
"Apa?" tanyanya dengan bingung.
"Kalo disuruh milih, Abang lebih milih Kak Anya atau Kak Siren?" Lana langsung menceploskan pertanyaan tersebut.
Entah kenapa aku mendadak gugup. Pertanyaan Lana bisa saja menjadi racun bagi diriku dan menjatuhkan harga diriku di depan Siren.
"Apaan, sih, pertanyaannya nggak penting banget." Ian memutar kedua bola matanya sebelum duduk dan bergabung bersama kami.
"Jawab aja buruan," paksa Lana.
"Kok Tante jadi ikut penasaran, ya," sela mama.
Ian tampak menghela napas panjang, menatap dengan malas satu per satu orang yang masih memusatkan perhatiannya padanya. Hal itu tak ayal membuat Ian mau tak mau memberitahukan pilihannya.
"Anya."
Dan itulah jawaban Ian. Singkat. Padat. Jelas. Dia lantas bergabung bersama Om Yarim dan papa yang tengah berbincang berdua, seakan mencoba menghindari pertanyaan lanjutan dari kami.
Akulah yang menjadi pilihan Ian. Serta-merta kuembuskan napas lega. Perlahan, senyum hadir dalam wajahku, tetapi sebisa mungkin kutahan agar tak terlalu lebar dan terlalu menampakkan kegembiraanku pada semua orang.
Siren? Dia langsung pamit ke toilet. Mungkin merasa malu karena sudah kalah dariku.
•••
Yuk yuk diramein bab ini. Jangan lupa vote dan komen yang banyak. Dah mulai sepi nih🥲
17 November, 2022
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top