Bab 26
Annyeong🌸
Hari ini kita ketemu lagi dengan Ian dan Anya! Silakan ambil posisi ternyaman kalian sebelum baca bab ini, karena bab ini dua kali lebih panjang dari bab-bab sebelumnya💃
Jangan lupa vote dan komen yang buaanyaaakkk!!
Selamat membaca❤
•••
Sesuai dengan rencana yang sudah disusun jauh-jauh hari, di malam tahun baru ini, aku mengajak mama dan papa untuk barbeque-an di rumah tante Intan. Mama dan papa yang sudah lama tidak berkumpul dengan keluarga Atmaja tentu langsung menerima ajakanku meski pagi tadi mereka baru tiba di Indonesia.
Malam tahun baru bertepatan dengan malam minggu. Besok libur. Tentu saja sejak sore tadi jalanan sudah dipadati oleh berbagai macam kendaraan. Tempat-tempat hiburan pun tak luput dari lautan manusia.
Hampir seluruh manusia di muka bumi ini selalu excited menyambut tahun baru. Termasuk aku, yang sudah membuat resolusi untuk tahun depan.
Sejujurnya Andra mengajakku keluar bersamanya di malam tahun baru ini. Katanya akan asyik kalau dia membawaku untuk menyaksikan pertunjukan kembang api. Sayangnya, aku sudah lebih dulu membuat janji dengan tante Intan dan terpaksa harus menolaknya.
Setelah tiga hari yang lalu kami melakukan kencan pertama, aku dan Andra sudah mulai menanjaki tahap saling memberi kabar. Meski tak bisa chatting atau telepon secara intens karena pekerjaan yang cukup sibuk, kami tetap menyempatkan untuk bertukar kabar.
Sejauh ini, tak ada masalah sama sekali dengan Andra. Pendekatan kami berjalan dengan lancar tanpa gangguan dari siapa pun, termasuk Ian.
Ya, saat aku sedang makan malam bersama Andra, Ian tidak beranjak dari posisinya. Dia tidak menghampiriku sama sekali meski chat-nya datang bertubi-tubi selama aku dinner.
Betapa bersyukurnya aku pada saat itu karena Ian tidak merusak momen kencan pertamaku dengan Andra.
Keesokan harinya, Ian juga tidak muncul di hadapanku sama sekali. Aku bahkan tahu dari tante Intan kalau dia sedang ada tugas di luar kota dan sampai saat ini belum kembali. Kayaknya, sih, dia ngambek gara-gara chat berbentuk keponya itu tidak kutanggapi sama sekali.
Sampai detik ini, aku belum ada berinteraksi dengannya lagi. Belasan chat yang kukirim ke dia pun tak kunjung mendapat balasan.
Ngambeknya Ian kali ini agak parah sepertinya. Tapi biarlah, nanti juga baik sendiri. Ian, kan, otaknya kadang suka korslet nggak jelas.
“Ian pulangnya kapan, Tan?” Aku bertanya pada tante Intan saat sedang membantunya menyiapkan beberapa bumbu untuk bakaran kami nanti.
Sejak sore tadi, aku dan keluargaku memang sudah berada di rumah tante Intan. Saat ini, para perempuan sedang menyiapkan tetek-bengek untuk barbeque-an di dapur—kecuali Lana yang sedang asyik menonton acara musik K-Pop di ruang santai. Sementara para pria berkumpul di halaman belakang rumah.
“Katanya lagi di jalan, Nya.”
“Sombong banget Si Ian, Tan, nggak ada ngabari aku sama sekali,” aduku dengan bibir yang mengerucut.
Tante Intan terkekeh. “Pasti lagi ngambek, tuh, sama kamu.”
Aku mengangguk semangat, menyetujui ucapan tante Intan masih dengan wajah yang memberengut.
Ngambeknya Ian memang sangat khas sekali sampai-sampai orang-orang di sekitarnya mudah untuk menebaknya.
“Ngambek-ngambekan mulu. Udah kayak orang pacaran aja.” Mbak Tiara yang sedang memotong-motong bawang ikut menimpali, memberi senyum jailnya padaku.
Aku menggembungkan pipiku. Sedikit malu dengan celetukannya mengingat ucapan tante Intan tempo hari yang mengatakan jika mbak Tiara pun sudah tahu tentang perasaanku pada Ian.
“Sahabatan selama itu sama Ian, apa kamu nggak ada perasaan lebih, Nya?”
Nah! Kali ini gantian mama yang bertanya. Pertanyaan yang terdengar sangat polos atau mungkin mama memang sudah mengetahuinya dan melemparkan pertanyaan tersebut sebagai bentuk dari sindirannya.
Gara-gara pengakuan tante Intan waktu itu, aku jadi skeptis, overthinking terhadap orang-orang terdekatku yang juga berkemungkinan mengetahui tentang perasaanku pada Ian tanpa kusadari.
“Biasa aja, Ma,” jawabku, berdeham di akhir kalimat.
Jawabanku sontak membuat tante Intan dan mbak Tiara memandangku dengan senyum geli, seakan-akan sedang menertawakanku yang kembali berbohong.
Wajahku pasti sudah semerah tomat saat ini.
Malu banget.
Aku pun menunduk dalam-dalam supaya mama tak menyadari perubahan raut wajahku yang tak bisa dikendalikan ini. Kalau saja tidak ada tante Intan dan mbak Tiara, mungkin aktingku di depan mama akan sempurna.
“Siren nggak ke sini, Sin?”
Aku mengembuskan napas lega saat tante Intan mengajukan pertanyaan tersebut untuk mama. Setidaknya mama tak akan lagi membahas seputar hubunganku dengan Ian.
“Nanti nyusul kayaknya, Mbak. Dia lagi ketemu temen-temennya dulu.”
“Kemaren aku sempet ketemu Siren, Bun. Makin cantik aja itu anak. Badannya bagus banget, kayak model,” imbuh mbak Tiara.
“Duh! Bunda jadi makin pengen ketemu Siren, nih.”
Aku senang, sih, mama tidak lagi membahas soal aku dan Ian, tetapi kalau topik selanjutnya yang sedang mereka bahas adalah Siren, aku juga malas mendengarnya.
Serius, aku tidak dendam sama sekali dengan Siren, tetapi kejadian di bandara waktu itu masih menyisakan kejengkelan tersendiri dalam diriku.
Aku tidak masalah kalau Siren ikut barbeque-an di sini, tetapi alhamdulillah kalau dia tidak datang.
•••
Kami baru memulai bakar-bakaran selepas magrib. Suara letusan kembang api mulai terdengar bersahutan. Komplek perumahan tante Intan yang biasanya sepi, mendadak ramai karena suara kembang api di mana-mana.
Beberapa piring steak sudah tersaji. Para orang tua makan terlebih dahulu. Sementara aku kebagian membuat minuman dingin yang dicampur dengan berbagai macam jenis jelly atas permintaan Lana.
Bang Aulion masih setia di depan grill. Kali ini gantian sosis dan bakso-baksoan yang dibakarnya. Sedangkan mbak Tiara membantu mengolesi bumbu. Sesekali menghapus peluh yang menempel di dahi sang suami.
Di mana pun dan kapan pun, pasangan suami istri yang satu itu memang selalu terlihat mesra. Tak malu mengumbar kebucinan mereka di depan banyak orang.
Bikin iri saja.
Tak berselang lama, Ian muncul. Wajahnya tampak lelah dan dia tidak seheboh biasanya. Hanya menyalami mama dan papa sambil basa-basi sekadarnya. Melirikku pun tidak walau kutahu dia menyadari keberadaanku di sini.
Ngambeknya Ian kali ini benar-benar sudah masuk ke level yang paling rupanya.
“Ian pamit dulu ya, Om, Tan.”
Kepalaku sontak terangkat saat mendengar suara Ian yang hendak berpamitan. Kupikir dia akan bergabung bersama kami.
“Si Ian mau ke mana lagi, Na?” Aku menyenggol lengan Lana sambil menatap lurus ke arah Ian yang menjauh dari halaman belakang.
Lana mengedikkan bahunya. “Mandi kayaknya, Kak.”
“Tumben banget ya dia nggak heboh.” Mataku masih terpaut pada Ian sampai punggungnya menghilang dari pandanganku. “Biasanya kalo lagi kumpul gini, dia kan suka nimbrung sana-sini.”
“Bang Ian beberapa hari ini emang lebih pendiem, lho, Kak. Aku aja sampe ngeri lihatnya.”
“Lagi kenapa, sih, dia?”
Aku memang sudah mengetahui dua penyebab yang mungkin menjadi alasan Ian jadi pendiam seperti itu. Barangkali Lana tahu alasan lainnya.
“Kalo aku kurang tahu, sih, Kak. Sebenernya lebih ke enggak peduli, sih.” Lara nyengir di akhir kalimat.
Aku berpaling padanya, mendengkus geli sambil geleng-geleng.
Nggak heran, sih. Anak-anaknya tante Intan gengsinya memang setinggi langit. Kecuali bang Aulion yang masih mau menampakkan sedikit kepeduliannya pada adik-adiknya.
Mungkin waktu sudah berlalu selama satu jam sejak kepulangan Ian. Perutku bahkan sudah kenyang menyantap hasil bakaran bang Aulion yang berkolaborasi dengan mbak Tiara, tetapi Ian tak kunjung kembali.
Apa dia selelah itu, ya, sampai enggan bergabung dengan kami?
Namun, selelah-lelahnya Ian, kalau ada acara barbeque-an di rumahnya, dia pasti tidak akan mengurung diri di kamar.
“Mau dibawa ke mana, Tan?” Pertanyaan tersebut spontan keluar dari mulutku saat menemukan tante Intan yang sedang membawa nampan berisi hasil bakaran dan segelas minum ke dalam rumah.
Tante Intan menghentikan langkahnya sejenak, berbalik memandangku sembari menjawab, “Mau dianterin ke kamar Ian, Nya. Capek banget dia kayaknya.”
Buru-buru aku bangkit dari dudukku. “Biar Anya aja, Tan,” tawarku seraya menghampiri tante Intan.
Tak ada penolakan dari tante Intan. Nampan tersebut pun sudah berpindah tangan padaku. Dan aku segera berjalan, naik ke lantai dua untuk menghampiri Ian.
Aku pernah bilang kalau Ian kadang suka bikin kesal, tetapi kalau dia jadi pendiam seperti ini, aku malah tidak nyaman. Suasananya jadi berbeda dan asing.
Tadinya aku berniat untuk langsung menerobos masuk ke kamar Ian begitu sampai, tetapi mood-nya tampak berantakan dan sepertinya itu bukan ide yang bagus untuk saat ini. Alhasil, kuketuk pintu kamarnya sebanyak tiga kali.
“Masuk!”
Suara Ian terdengar dari dalam, langsung mempersilakanku untuk masuk.
“Hai, Baginda Raja. Saya membawa makanan yang sangat nikmat ini untuk Yang Mulia,” celetukku, dengan bahasa yang dilebih-lebihkan tatkala kakiku sudah menapak di kamarnya. Sekaligus berusaha mencairkan suasana karena kami sudah beberapa hari ini tak saling berinteraksi.
Ian sedang duduk bersila di atas sofa panjang di dekat jendela kamarnya saat aku masuk. Di pangkuannya ada laptop yang tengah menyala.
“Besok libur, lho, masih aja kerja,” tambahku, sambil berjalan menghampirinya.
“Kan biar kayak elo, Nya. Workaholic,” balas Ian, dengan senyum tipis di sudut bibirnya.
Ada sedikit kelegaan dalam diriku ketika Ian membalas celetukan asalku dengan hal yang sama.
Sepertinya dia memang sedang kelelahan.
“Nih, makan.” Kuletakkan nampan berisi makanan yang kubawa dari bawah di tengah-tengah sofa. Sementara aku menjatuhkan bokongku di sebelahnya.
“Ntar aja, deh.” Ian memindahkan nampan tersebut ke atas nakas sebelum kembali membawa laptopnya ke dalam pangkuannya. “Gue udah makan tadi pas jalan pulang ke sini.”
Aku mendecih seraya mengambil bantal sofa untuk kupeluk. “Gaya banget, sih. Biasanya semua-muanya juga di-hap,” balasku, yang sudah mengubah posisiku menjadi miring menghadap ke arahnya, menyandarkan pinggangku pada lengan sofa.
Ian menggeser duduknya agar lebih dekat denganku. “Kalo ngomong sembarangan banget.” Dia mengacak-acak rambutku. “Gue nggak serakus itu, ya. Enak aja.”
Aku mengerucutkan bibirku sembari membetulkan rambutku yang berantakan.
“Lo kenapa nggak pernah bales chat gue, sih. Sombong banget,” gerutuku, mengangkat topik yang cukup membuatku uring-uringan sejak kemarin.
Sorot Ian kembali berlabuh pada layar laptop di depannya. “Lagi ngambek gue sama lo,” jawabnya terang-terangan.
“Kenapa, hah?”
“Menurut lo?”
Aku tidak tahan untuk tak melempar bantal sofa dalam pelukanku pada Ian. Alhasil, benda tersebut mengenai wajahnya dan mendarat di atas laptopnya.
“Mana gue tahu lo ngambek gara-gara apa. Dikira gue cenayang apa,” sebalku.
Ian malah terkekeh. Diambilnya bantal sofa dari atas laptopnya sebelum kembali melemparkannya padaku meski tak sekuat lemparanku padanya sebelumnya.
“Cowok yang kemaren dinner sama lo siapa?”
Nah! Ini dia salah satu topik yang barangkali menjadi salah satu alasan Ian ngambek denganku. Dia akhirnya angkat bicara mengenai hal itu. Rasa keponya sepertinya memang belum habis.
“Calon pacar gue,” jawabku dengan percaya diri.
Sudahlah. Lebih baik mengungkapkannya secara jujur pada Ian. Toh, cepat atau lambat dia juga akan mengetahuinya.
“Itu cowok yang waktu itu kenalan di club?” Ian kembali memfokuskan netranya pada laptop, hanya sesekali melirikku lewat ujung matanya.
Aku mengangguk. “Huum.”
Tampak helaan napas panjang keluar dari mulut Ian sebelum kepalanya kembali menoleh padaku sepenuhnya. “Lo yakin sama dia?”
“Kenapa emangnya?” Aku balik bertanya, dengan sebelah alis yang terangkat.
“Udah gue bilang kalo kenalan sama cowok jangan di night club, Nya. Kebanyakan dari mereka nggak ada yang bener.”
Ian mulai lagi.
“Terus menurut lo, cowok yang bener itu gimana emangnya?” tantangku.
“Pokoknya bukan cowok yang lagi deket sama lo sekarang. Dari mukanya aja gue udah tahu kalo dia itu player.”
“Sama dong kayak lo.”
Embusan napas panjang kembali meluncur deras dari mulut Ian. Sepertinya mulai habis kesabaran menghadapiku. “Sama. Makanya gue berusaha menjauhkan lo dari cowok-cowok kayak gue gini.”
“Kalo misalnya cowok-cowok kayak elo malah bikin gue nyaman gimana?” Aku masih terus memancingnya, sembari berusaha untuk tetap berada di jalur yang waras.
“Cuma nyaman sesaat, Nya.”
“Sok tahu!” sergahku, sinis. “Buktinya gue nyaman sahabatan sama lo selama ini.”
“Ya karena kita cuma sahabatan, Anya. Nggak lebih.” Ian terlihat gregetan.
“Kalo gue pengennya lebih gimana?”
Okay, sepertinya kewarasan dalam otakku mulai bergeser.
Pupil Ian melebar, jelas terlihat kaget dengan kalimatku barusan.
“Lebih gimana maksud lo?” Aku tahu Ian paham betul dengan ucapanku sebelumnya. Dan aku tetap diam sampai dia kembali berbicara. “Dengerin gue ya, Anya,” Dia menyingkirkan laptopnya dari atas pangkuannya, menggeser posisi duduknya dan miring menghadapku. “gue udah berkali-kali bilang kalo cowok-cowok modelan kayak gue ini nggak pantes bersanding sama lo, termasuk gue. Kenapa? Karena dengan diri lo saat ini—Anya yang cerdas dan sukses—lo bisa dapetin laki-laki terbaik di dunia ini.”
“Anggap aja gue bisa dapetin laki-laki terbaik di dunia ini, tapi kalo gue maunya tetep sama cowok-cowok kayak lo gimana?” Ucapanku kali ini terdengar sedikit ngotot.
Calm down, Anya.
Jangan sampe mulut sialan ini malah nggak bisa direm dan ngungkapin semuanya ke Ian.
Tahan dulu.
Ian menggeleng-gelengkan kepalanya, tampak tak habis pikir dengan pertanyaanku yang mungkin dianggapnya konyol.
“Nggak. Nggak mungkin. Yang ada value lo bisa ilang, Nya.”
Kutarik napas dalam-dalam bersamaan dengan emosi yang meluap dalam dadaku. Kupasang wajah datar sambil menatapnya lekat-lekat. “Gue heran, deh, kok lo bisa berpikir sejauh itu tentang gue tanpa pernah mikirin gimana sudut pandang gue selama ini. Cuma gue yang bisa nentuin pantes enggaknya seorang laki-laki untuk bersanding sama gue.”
“Terakhir kali lo pacaran, gue udah ngelarang lo buat ngejauhi mantan sialan lo itu, kan? Tapi apa? Lo tetep lanjut. Dan ujung-ujungnya lo diselingkuhi.” Ian mulai mengungkit-ungkit masa laluku, membuat emosiku semakin menggelegak. “Itu udah membuktikan omongan gue barusan.”
Aku mencoba menelan semua emosiku dalam satu tarikan napas. “Itu namanya proses, Yan.”
“Tapi gue udah ngingetin lo berulang kali.” Ian menaikkan suaranya. “Gue nggak mau lo disakiti sama laki-laki mana pun, Nya. Gue nggak bisa lihat lo menderita cuma karena laki-laki.”
“Lo juga salah satu laki-laki yang masuk ke dalam hidup gue.” Kujeda sejenak kalimatku hanya untuk menelan ludah. Perasaanku makin campur aduk. “Apa lo nggak pernah mikir kalo mungkin lo juga pernah nyakiti gue?” Suaraku melemah di akhir kalimat saat merasakan tusukan panas di kedua mataku.
Ian terdiam. Mengerjap beberapa kali sambil terus menatapku dengan gamang.
“Pernah nggak, Yan?” Aku menegaskan kembali. “Gue tanya, pernah nggak?” Dan aku berteriak padanya bersamaan dengan sebulir air mata yang jatuh begitu saja.
Ian terkesiap. Matanya membulat dan air mukanya mulai dipenuhi kecemasan, tetapi dia tetap diam, seolah bingung denganku yang tiba-tiba meledak-ledak seperti ini.
“Kayaknya lo bener.” Dengan kasar aku menghapus air mata di wajahku. Tak lupa menarik napas panjang untuk melegakan dadaku yang seperti terhimpit di antara dua batu besar. “Gue nggak bisa lagi terus-terusan terjebak sama lo. Kita udah sama-sama dewasa dan bisa menentukan jalan hidup kita masing-masing, termasuk soal pasangan. Jadi, gue rasa kita nggak perlu saling bergantung lagi. Lo urusi kehidupan lo sendiri, dan gue juga. Jangan saling mencampuri urusan masing-masing.”
Itu menjadi kalimat terakhirku untuk Ian. Kusudahi pembicaraan kami begitu saja.
Tak peduli dengan responsnya, aku langsung beranjak pergi meninggalkannya. Tetapi sial, setelah keluar dari kamarnya, air mataku malah berjatuhan dengan deras.
•••
Gimana menurut kalian bab ini? Ada kah yang ikut emosi juga?🤭
Btw, kayaknya setelah ini aku bakal nulis Ian's Voice dulu di KaryaKarsa. Ketemu di sana dulu ya, guys💋
10 November, 2022
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top