Bab 25
Jam tujuh malam aku tiba di sebuah restoran yang menjadi tempat pertemuanku dengan Andra. Tadinya dia hendak menjemputku, tapi kurasa lebih baik jika kami pergi sendiri-sendiri untuk kencan pertama ini.
Seperti niatku di awal, aku tidak memberi tahu Ian perihal kencanku dengan Andra. Sejak awal, dia secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada Andra hanya karena kami bertemu di kelab malam. Daripada ribet, lebih baik aku menyimpannya seorang diri. Setidaknya untuk saat ini.
Kakiku langsung melangkah memasuki restoran begitu selesai memarkirkan mobil. Ada banyak orang yang sudah mengisi meja di sini. Malam kamis hampir sama ramainya dengan malam minggu.
Mataku mengedar, berkeliling mencari-cari keberadaan Andra yang katanya sudah lebih dulu sampai.
Ini adalah kencan pertamaku setelah bertahun-tahun lamanya. Jujur, aku agak gugup karena sudah tak pernah lagi menjalin hubungan yang cukup intim dengan pria mana pun selain Ian.
Tak ingin terlihat terlalu mencolok, aku hanya memakai pakaian semi formal yang biasanya kupakai ke kantor. Yah ... lagipula aku juga sudah pernah bertemu dua kali dengan Andra sebelumnya, jadi kurasa aku tidak perlu terlalu berlebihan meski pertemuan kali ini dilabeli dengan titel kencan.
Setelah berjalan beberapa langkah, mataku akhirnya menangkap sosok Andra. Dia duduk di bagian ujung, dekat jendela dan sedang melambaikan tangannya padaku.
Senyumku merekah lebar bersamaan dengan kakiku yang langsung berjalan menghampiri Andra.
“Hai!” Aku menyapanya dengan riang.
Senyum Andra sama lebarnya dengan milikku. Dia turut bangkit dari duduknya untuk menyambutku. Buru-buru bergeser hanya untuk menarik kursi dan mempersilakanku duduk.
“Silakan,” ucap Andra dengan suaranya yang terdengar begitu lembut.
“Thanks.” Kujatuhkan bokongku di atas kursi tersebut.
Kendati belum merasakan feel yang cukup dalam terhadap Andra, sikapnya barusan berhasil menarik perhatianku dan sedikit menaikkan ritme jantungku.
Andra berjalan kembali ke kursinya dan duduk di hadapanku. Dia lantas memanggil pelayan untuk mulai memesan.
“Aku baru pertama kali datang ke sini,” ujar Andra, berkata jujur sambil melihat-lihat buku menu yang ada di tangannya. “Kamu ada rekomendasi makanan yang harus kumakan di sini?”
Aku mendongak, berpaling sejenak dari buku menu untuk menatap Andra yang juga sedang melabuhkan maniknya padaku.
“Uhm ...,” Bibirku sedikit maju, tengah berpikir makanan apa yang cocok untuk Andra. Pertemuan kami di sini memang atas usul dariku. “Kamu suka pedes, nggak?”
“Nggak terlalu, sih.”
“Sebenernya yang paling enak di sini, tuh, sambelnya, sih.”
Andra mengangguk-anggukan kepalanya. “Boleh, deh, aku coba. Makannya dikit-dikit aja entar.”
“Beneran?”
Kepala Andra kembali mengangguk. Bibirnya pun kembali menyunggingkan senyuman.
Aku lantas menyebutkan pesanan kami pada waitress yang sedari tadi berdiri di sisi meja untuk mencatat pesanan kami.
“Kalau setelah ini kamu sakit perut, jangan salahin aku, ya,” ucapku, melempar lelucon pada Andra setelah waitress pergi.
Andra terkekeh. “Paling aku minta kamu buat jadi dokterku.” Dia mengerling di akhir kalimat.
Gantian aku yang tertawa.
“Jadi, kegiatan kamu belakangan ini apa aja, Nya?” Pertanyaan Andra datang bersamaan dengan pelayan yang menyajikan minuman kami di atas meja.
“Kerja doang, sih,” jawabku, bergidik seraya mengaduk minumanku dengan sedotan.
“Terdengar sangat workaholic sekali, ya,” sahut Andra, dengan kekehan tipis di akhir kalimat.
Aku menyedot minumanku terlebih dahulu sebelum melayangkan cengiran lebar pada Andra. “Sebenernya nggak yang workaholic banget juga, sih. Tapi aku emang nggak ada kegiatan lain selain kerja.”
“Kalo gitu, mulai sekarang aku bakal ngasih kamu kegiatan lain selain kerja.”
Aku menaikkan sebelah alisku. “Apa itu?”
“Ngasih perhatian ke aku,” ungkapnya secara blak-blakan.
Terdengar cheesy, tapi aku tetap tak bisa menahan tawaku. Cukup terhibur dengan gombalan recehnya itu.
“Gimana? Mau nggak?” Andra menaik-turunkan alisnya.
Kuhentikan tawaku secara perlahan, kemudian memiringkan kepalaku dan menatapnya cukup lekat. “Boleh dicoba kayaknya.”
Andra terkekeh. “Aku tunggu, lho, ya.”
Pelayan kembali muncul di meja kami, membawakan pesanan kami yang cukup banyak karena kami memang memesan beberapa side dish, seperti sayuran, kol goreng, dan lain-lain.
“Enak banget wanginya,” kata Andra.
“Rasanya juga nggak kalah enak,” sahutku, dengan pandangan yang berbinar melihat berbagai jenis sambal yang tersaji di atas meja. Hmm ... rasanya air liurku sudah hampir menetes.
“Aku pikir kamu nggak doyan makan masakan Indonesia kayak gini.”
Aku menaikkan pandanganku ke arah Andra. “Kenapa gitu?”
Andra balas menatapku sembari mencuci tangannya pada wadah berisi air yang disediakan. “Soalnya kamu kelihatan kayak wanita elegan gitu.”
Aku mendecih geli. “Elegan dari mananya.”
“Dari cara kamu berbicara, berpakaian, pokoknya kamu kelihatan berkelas banget,” jawab Andra, menghujaniku dengan pujian bertubi-tubi.
“Masa, sih? Orang-orang malah ngelihat aku sebagai sosok yang sederhana.”
“Sederhana dengan cara yang elegan,” tukasnya dengan sungguh-sungguh.
Pandanganku masih bertaut pada Andra. Bibirku pun kembali mengukir senyum dan hampir melepas tawa akan ucapannya barusan.
Pertemuan kami sebelumnya hanya memakan waktu singkat. Tak banyak obrolan yang bisa kami bicarakan. Berbeda halnya dengan sekarang. Tak pelak kusadari jika Andra cukup menyenangkan. Dia pandai merangkai kalimat yang membuat lawan bicaranya jadi tersipu. Untungnya aku masih bisa menahan diri hingga tidak cepat baper.
Kesenanganku sempat terjeda berbarengan dengan senyum yang perlahan lenyap dari bibirku. Tiga meja di depanku, ada Ian yang tengah duduk sambil menatapku secara terang-terangan.
Andra yang sedang menceritakan pengalaman lucunya di depanku sudah tak lagi kusimak dengan baik. Ayam penyet milikku pun untuk sesaat tak lagi tampak menyelerakan. Padahal, niatnya setelah ini aku akan langsung menyantapnya.
Beberapa saat netraku berlabuh pada Ian, aku merasakan ponselku bergetar. Buru-buru kuambil benda tersebut dari dalam saku celana.
Sebenarnya aku sudah bisa menebak jika yang baru saja mengirimiku pesan adalah Ian. Sebab, untuk sesaat dia sempat menunduk dan mengetikkan sesuatu di ponselnya sebelum kembali padaku.
Ian:
Sama siapa?
Benar.
Itu memang Ian.
Aku sungguh tak menceritakan perihal kencanku pada Ian. Saat aku pamit pulang dari apartemennya, aku pun membuat alasan lain. Benar-benar tak menyinggung soal Andra sama sekali.
Lalu, bagaimana bisa Ian berada di sini?
Apa ini terjadi secara kebetulan?
“Nya?”
“Anya!”
Aku tersentak saat Andra menyentuh pelan lenganku, menyadarkanku dari lamunan singkatku.
“Kenapa?” tanyanya, dengan kening berkerut dan raut yang menampilkan kekhawatiran.
Aku menggeleng, memberinya senyum tipis sebelum memasukkan ponselku ke dalam tas tanpa membalas pesan dari Ian.
“Maaf, ya,” ucapku tak enak hati.
Walau masih terlihat penasaran, Andra tetap mengangguk dan menyuruhku untuk segera menyantap makananku.
Sesaat, kularikan kembali pandanganku pada Ian. Dia masih menyorot lekat ke arahku. Kali ini sambil menunjuk-nunjuk ponselnya yang sudah diangkat sejajar kepalanya, memberi kode padaku untuk membalas pesannya.
Aku memutar kedua bola mataku. Berpaling dari Ian dan memilih untuk mengabaikannya.
Semoga saja dia membiarkanku kencan dengan tenang bersama Andra.
•••
Semoga Ian gak gangguin Anya ya wkwk
Skuy ramein kolom komentarnya seperti biasa. Kubutuh semangat yang banyak dari kalian🔥🔥
Mudah-mudahan besok bisa ketemu lagi❤💋
8 November, 2022
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top