Bab 18
"Mama sama papa kamu pulangnya kapan, Nya?" Tante Intan membuka percakapan di antara kami.
Aku masih berada di rumah tante Intan. Setelah meninggalkan Ian yang katanya hendak mandi, aku kembali berada di dapur untuk memilih lauk yang akan kubawa pulang berdua bersama tante Intan.
"Minggu depan, Tan. Sebelum tahun baru udah di Indo."
"Seru, dong. Tahun barunya jadi rame."
Aku mengangguk dengan senyum yang merekah lebar. "Syukur banget mama sama papa bisa pulang, Tan. Soalnya akunya juga nggak bisa kalo harus nyusulin mereka ke Jerman."
Awal tahun nanti, memang ada banyak rencana yang harus terselesaikan dan membuatku jadi sangat sibuk. Oleh sebab itu, aku belum bisa ambil cuti untuk sekadar liburan atau mengunjungi orang tuaku di Jerman.
"Kayaknya seru deh, Nya, malam tahun baru nanti ajakin mama sama papa kamu ke sini. Kita barbeque-an bareng. Udah lama juga Tante nggak ngumpul bareng mereka," usul tante Intan.
Aku menarik kursi di meja makan sebelum mendudukinya, memerhatikan tante Intan yang dengan telaten membungkus beberapa lauk untukku. "Boleh, tuh, Tan." Aku menyetujui.
Keluargaku dan keluarga Ian sudah bertetangga sejak lama. Mama dan tante Intan juga merupakan teman sekolah. Jadi, mereka memang cukup dekat satu sama lain.
"Ntar bilang sama mama, Nya. Acaranya di sini aja biar nanti kalian tinggal dateng sebagai tamu."
Aku mengangguk dengan semangat. "Aman, Tan. Ntar Anya bilang ke mama sama papa." Kuacungkan ibu jariku pada tante Intan di akhir kalimat. Tak lupa pula menerbitkan cengiran lebar di bibirku.
"Andai aja Tante punya anak cowok satu lagi yang sifatnya mirip Aulion, Tante pasti bakal langsung jadiin kamu menantu Tante."
Cengiranku perlahan sirna. Cukup tertegun dengan ucapan tante Intan yang tiba-tiba membahas hal itu.
"Kalau dijodohin sama Ian, Tante agak kasihan sama kamu," tambahnya.
Kalimat lanjutan tante Intan tak pelak mengundang tawaku. Ian memang selalu jadi bahan roasting-an keluarganya karena memang sifatnya sendiri yang paling berbeda di antara saudara-saudaranya yang lain.
"Tapi Anya nggak masalah," cicitku, berusaha melontarkan kalimat tersebut sepelan mungkin sambil tetap mengarahkan pandanganku pada tante Intan.
Segala pergerakan tante Intan terhenti seketika. Dia yang masih dalam posisi berdiri sontak menunduk untuk menatapku. Tampak seutas senyum simpul hadir dalam wajahnya yang penuh kehangatan sebelum mengambil duduk di sampingku.
Aku sempat melarikan netraku ke sekeliling ruangan sambil menggigit bibir dengan gugup. Hanya ada aku dan tante Intan di sini. Jadi, aman bagiku untuk mengungkapkan dengan jujur apa yang kupendam selama ini. Toh, tante Intan juga sudah tahu jika aku menaruh hati pada Ian.
Tante Intan menggeser kursinya agar kami saling berhadapan. Tangannya lantas menarik kedua tanganku untuk digenggamnya dengan lembut.
Dari sorot matanya yang menatapku dengan lekat, aku tahu tante Intan ingin berbicara serius denganku. Seketika jantungku mempercepat ritme degupannya. Ini pertama kalinya aku akan membicarakan tentang perasaanku pada Ian kepada orang lain.
"Udah sebesar apa, Nya?" Tante Intan memulainya dengan sebuah pertanyaan. Dia terlihat sangat lembut dan tak mencoba mengintimidasiku.
Aku menarik napas panjang dengan kepala yang menunduk sejenak. "Nggak tahu, Tan. Tapi udah bertahun-tahun lamanya dan rasanya masih tetap sama," jawabku yang sudah kembali membalas tatapan tante Intan.
"Kamu nggak berniat untuk jujur ke Ian?" tante Intan meremas pelan tanganku di akhir kalimat.
"Anya ... takut."
"Terus mau sampai kapan kamu memendam semuanya sendiri, Nya?"
Kembali kutarik napas panjang-panjang, mencoba melegakan dadaku yang tiba-tiba terasa sesak. Kemudian aku hanya menggeleng, tak bisa menemukan perkataan yang tepat untuk kusampaikan pada tante Intan.
Aku masih terlalu bingung.
"Perlu bantuan Tante?"
Dengan cepat aku menggeleng. Aku tidak ingin melibatkan siapa pun dalam hal ini. Kendati masih belum bisa menemukan keputusan yang tepat tentang langkah yang akan kuambil selanjutnya, aku ingin semuanya kulakukan seorang diri.
Kali ini gantian tante Intan yang menghela napas panjang. Dia lantas melepas genggamannya di tanganku dan bangkit berdiri.
"Sini." Tante Intan merentangkan kedua tangannya padaku, memberi isyarat agar aku segera masuk ke dalam pelukannya.
Senyum tak dapat kutahan kehadirannya. Segera aku bangkit dan langsung membalas dekapan tante Intan yang berhasil membuat sebagian beban di kedua pundakku seolah menghilang.
"Tante jadi pengen bikin anak cowok lagi deh, Nya, biar bisa dijodohin sama kamu," gurau tante Intan sambil mengusap lembut punggungku.
Aku terkekeh. Terhibur dengan candaan tante Intan yang membuat tubuhku bisa kembali rileks.
Sepertinya tidak salah aku menceritakan tentang perasaanku pada tante Intan-walau tak begitu detail. Dia bisa memahamiku sepenuhnya tanpa menghakimiku sama sekali.
•••
"Udah mau pulang, Nya?"
Aku baru saja keluar dari rumah tante Intan dengan menenteng dua kantung plastik di tanganku saat Ian menginterupsiku dengan sebuah pertanyaan.
Aku berbalik, menatap Ian yang tampak jauh lebih segar sambil memakai sandal.
"Muka lo jelek banget, Yan, sumpah." Aku tak bisa menahan tawaku saat menelusuri wajah Ian yang masih kelihatan bengkak.
Ian berdecak kesal sembari mengambil alih kantung plastik yang sebelumnya kugenggam. "Bodo amat. Besok juga udah ganteng lagi gue," ketusnya.
Aku masih melanjutkan tawaku, yang tentu saja bikin Ian makin misuh-misuh. Dia lantas berjalan lebih dulu menuju mobilku dengan niat untuk membantuku membawa lauk yang tadi dibungkus tante Intan untuk kubawa pulang.
Ian sok gentleman banget. Padahal, aku bisa membawanya sendiri karena bobotnya juga tidak berat-berat amat.
"Mobil lo besok jangan lupa diservis," ucap Ian ketika dia sedang meletakkan kantung plastik tersebut di bangku penumpang bagian depan.
Aku tak langsung masuk ke dalam mobil, memilih untuk berdiri di belakang Ian terlebih dahulu sampai dia selesai. "Iya. Kalo gue nggak sibuk tapi," jawabku dengan santai.
Ian kembali berdecak. Dia lantas menutup pintu mobil setelah dua kantung plastik tersebut sudah berada di dalam dan kembali berhadapan denganku.
"Iya-iya. Entar gue yang bawa mobil lo buat diservis," ucapnya sambil mengacak-acak rambutku dengan gemas.
Aku menunjukkan cengiran lebar dan memasang wajah tanpa dosa melihat Ian yang kadang bisa sepeka ini.
Aku memang paling malas mengurusi mobilku dan pernah tertipu juga karena salah memilih tempat servis hingga membuat harganya melonjak jadi dua kali lipat. Ian tentu saja memarahiku pada saat itu. Dari kejadian itu, pada akhirnya Ian mengambil alih urusan servis-menservis mobilku untuk dikerjakannya.
"Ya udah, gue pulang, ya," pamitku kemudian.
Ian menganggukan kepalanya. "Hati-hati. Langsung pulang. Jangan keluyuran ke mana-mana, entar lagi magrib. Kalo udah sampe apart langsung kabari gue."
"Iya-iya, Bawel," sahutku dengan senyum tipis dan kemudian langsung masuk ke dalam mobil sambil melambaikan tanganku pada Ian.
Mesin mobil sudah kunyalakan, tetapi aku tak langsung tancap gas karena merasakan ponselku bergetar, menandakan adanya pesan masuk.
Aku memilih untuk memeriksa ponselku terlebih dahulu. Notifnya bersumber dari ponsel pribadiku, yang berarti pesan tersebut berasal dari keluargaku atau teman dekatku. Dan benar, satu pesan datang dari mama.
Mama:
Kak, besok Siren pulang ke Indonesia. Tolong jemput dia di bandara, ya.
Aku membaca sederet pesan tersebut dengan saksama sembari mengembuskan napas panjang. Lantas, kubalas pesan mama, mengiyakan perintahnya meski aku tidak yakin Siren—adikku-mau kujemput atau tidak.
•••
Guys, kalian udah follow akun KaryaKarsa ku belom, nih?
Sama kayak Sweet Partner, aku juga mau upload potongan-potongan cerita ini dari sudut pandang Ian. Jadi, yang gak terungkap di sini, bakal dijelasin di sana.
Tapi tenang aja, guys. Kalian gak wajib baca yang nanti bakal aku upload di KaryaKarsa, kok. Yang di sana, tuh, buat yang mau-mau aja dan penasaran gimana suara hati Ian xixixi
Yuk follow akun KaryaKarsa ku dulu💃
Ketemu lagi besok kalo bab ini rameeee❤💋
24 Oktober, 2022
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top