4. Cahaya Senja Untuk Latif

Sudah tiga tahun ini aku selalu berkunjung ke tempat ini. Tempat yang aku duduki sekarang masih sangat berarti untukku.

Dulu, aku dan dia selalu menghabiskan senja sore di bukit ini. Setiap kami pulang sekolah, kami menyempatkan untuk berkunjung ke sini. Semilir angin sore yang sejuk juga pandang ilalang yang indah membuatku selalu merasa tenang jika berada di sini.

Senja sudah mulai menghitam. Sekarang waktuku untuk pulang ke rumah dengan matic kecil pemberian ayah.

Tak selang lama aku sampai di rumah. Jika dihitung mungkin sekitar empat kilo meter jarak bukit dari rumahku.

"Baru pulang nak? Tumben jam segini baru nyampai? Bukannya kuliah pagi?" Tanya Ibu beruntun ketika aku berpapasan di ruang tamu.

"Sudah dari tadi kok bu. Hanya saja kakiku mengajak berkunjung ke bukit itu," jawabku seadanya.

"Memangnya kamu sudah mengingat Latif?"

"Cuma bayang-bayang dia saja bu," jawabku lesu.

"Mungkin Latif masih di Jerman bersama keluarganya. Kamu yang sabar ya nak. Jika memang jodoh gak bakal kemana kok," kata ibu menyemangati.

"Terima kasih bu." Kataku lalu memeluk ibu. Jika sudah teringat padanya, aku hanya bisa bercerita pada ibu.

Aku melepaskan pelukanku dari ibu. "Cahaya mandi dulu ya bu."

"Ya nak. Sehabis mandi ke bawah ya. Ibu sudah memasakkan makanan untukmu."

Aku mengangguk. "Baik bu." Jawabku lalu pergi ke kamar mandi. Sepertinya mandi dengan aroma Lavender cukup menenangkan fikiranku saat ini.

Aku mengerjapkan mataku. Sudah berapa lama aku ketiduran di kamar mandi? Aku sampai lupa jika ibu menyuruhku untuk makan. Aku segera membasuh badanku dengan air bersih lalu membersihkan bekas air dengan handuk.

Aku berpakaian lalu segera menuju ke bawah. "Maaf bu, Cahaya tadi ketiduran di kamar mandi," ucapku sambil tersenyum.

"Kebiasaan. Ya udah sana makan. Ibu sudah memasakkan makanan untukmu," kata ibu sambil membuka tudung saji.

"Makasih." Jawabkku dengan mengambil nasi serta lauk pauknya. Makan malam ini aku di temani ibu, yang katanya sudah makan duluan. Jadi agak merasa bersalah waktu ibu mengajakku makan tapi aku malah ketiduran di kamar mandi.

Selesai makan malam di temani ibu aku tidur. Hari ini sungguh capek setelah sehari praktek dan pergi ke bukit itu.

----------------

"Ayo Cahaya. Sedikit lagi kamu bisa!" teriak temanku dari arah penonton. Hari ini di kelasku diadakan chaleng oleh salah satu dosen pengajar. Katanya meredam stres sebulan sekali di rutinitas kesibukan. Aneh? Memang begitulah dosenku satu ini sampai satu kelas memujanya karena cara mengajarnya berbeda dengan dosen yang lain.

"Ok. Stop." Kata dosen sebagai wasit.

"Ya. Pemenangnya Cahaya. Mari kita beri applaus buat Cahaya. Cahaya mari sini." Suruh dosen sambil bertepuk tangan.

Aku maju ke depan. Dosen memberiku tiga ratus ribu rupiah.

"Wah bisa traktir es kita-kita nih," ucap salah satu temanku ketika melihat aku menerima uang dari dosen.

"Ya nih. Udahlah kantin esnya kita booking aja nanti," seru teman cowok dari arah belakang.

"Kasih applaus lagi untuk Cahaya karena memenangkan chaleng ini." ucap dosen memberi tepuk tangan lagi.

"Ok. Saya kembali ke ruangan. Silahkan ke kantin." Kata dosen mengakhiri sesi mengajarnya seraya pergi.

Sesudah dosen pergi, semua teman-teman mengerubungiku. Aku ingin keluar kelas tetapi jalanku tidak bisa leluasa. Aku bingung dengan maksut mereka ini.

"Ada apa sih kok pada ngrubungin aku? Bukannya minta traktir es di kantin?" Tanyaku bingung.

"Emang ini kita lagi antisipasi kalau aja kamu kabur Ya" kata salah satu suara cowok. Ya ampun aku kira apa sampai mereka mengerubungiku seperti ini.

"Gak.... Gak.... Aku gak bakal pergi kok," jawabku mempercayakan.

----------------

Selesai meneraktir es teman-teman aku ingin segera pulang. Aku mengendarai matic ku tapi entah kenapa jariku malah menyetirnya ke bukit itu.

Ketika sampai aku memarkirkan motorku ke salah satu tempat yang biasanya aku pakai untuk memarkir. Ketika hampir sampai ke bukit itu dari kejauhan aku melihat siluet yang sepertinya asing untukku. Aku berjalan agak pelan agar tak mengganggu orng itu.

Ketika aku seperempat hampir sampai orang itu menolehkan kepalanya ke belakang. Dia tersenyum padaku. Aku bertanya, siapakah dia hingga tahu bukit ini? Apakah dia Latif yang tersenyum ketika melihatku akan menuju ke tempat duduknya? Atau tempat ini sudah di ketahui banyak orang sehingga tempat ini sudah tidak menjadi tempat kenanganku? Entahlah aku tak tahu.

Orang itu masih melihatku dengan tersenyum. Aku tidak memandangnya. Aku duduk di sampingnya, tatapanku masih tertuju pada senja sore yang tak bisa luput dari ingatanku ini.

"Ternyata kamu masih mengingat tempat ini." Ucapnya melihat senja yang menjulur di ufuk barat. Aku menolehkan kepalaku padannya lalu mengernyit tak tahu apa maksutnya. Dia melihatku dengan bingung.

"Apakah kamu lupa denganku?" Tanyanya kini yang menatapku dengan terluka.

"Maaf. Tapi aku tak ingat apa-apa. Kamu siapa ya" tanyaku yang dihadiahi tatapan kecewa penuh arti.

"Kau tak ingat aku meskipun sekarang sudah berhadapan denganku?" Tanyanya dengan ekspresi sedih.

"Maaf. Sungguh aku tak tahu siapa kamu." Jawabku yang masih mencerna mencari titik terang ingatanku yang hilang.

"Aku Latif. Apa sekarang kamu tak ingat aku?" Katanya masih dengan ekspresi sama. Aku tercengang. Apakah benar dia Latif. Latifku yang hilang tak ada kabar? Ahh, apa aku terlalu tapi entahlah sepertinya ini hanya mimpi sesaatku saja.

"Benarkah kau Latif? Latif Mogyara?" Tanyaku antusias untuk membuktikan jika ini benar terjadi, bukan mimpi.

"Ya. Aku Latif Mogyara. Apa sekarang kau ingat aku?" Tanyanya dengan meyakinkan. Apa aku benar orang, jika dia Latif Mogyara?

"Tunggu," kataku memberi jeda. Aku memukul lengannya. "Kamu jahat." Kataku lalu memandang seja sore ini.

"Aku jahat kenapa?" Tanyanya bingung.

"Kamu kemana aja?" Tanyaku balik.

"Aku sekarang di sini. Kamu kenapa tidak menghubungiku selama tiga tahun ini?"

Aku diam.

"Kamu marah sama aku? Atau kamu sudah memiliki orang lain?"

Aku menolehkan kepalaku kearahnya. "Tidak." Hanya itu yang mampu ku keluarkan pada waktu ini. Aku bingung mau menjelaskan dari mana.

"Terus?" tanyanya sambil menatap senja.

Aku menatapnya lekat. Menghebuskan udara yang agak menyesakkan. "Tiga tahun lalu aku kecelakaan yang berakibat lupa pada ingatanku. Aku hanya mengingat orang yang aku sayang dan tempat yang bersangkutan. Aku tidak ingat mereka pergi kemana dengan siapa. Pada kecelakaan itu aku hanya mengingatmu duduk bersamaku di sini. Bahkan ayahku meninggal pada kecelakaan itu aku tak ingat."

Latif melihatku dengan tatapan sedih setelah kuakhiri cerita itu. Dia memelukku. "Maafkan aku," katanya. Aku senang senjaku yang menghiasi sore tetap akan menghiasi soreku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top