3-Boundless
Ada yang menjaga jarak sebab tau di dekatnya hanya sesak. --unknow.
..........
Author
Sekarang jam dinding sudah menunjukkan pukul 14:05 dan seluruh murid sudah ngacir entah kemana, ada yang pulang, main bola di lapang, nongkrong di kantin, dan ada juga yang mojok di UKS. ew!
Tinggal dua manusia yang sedang berada di ruang kelas XII IPS1 mereka adalah Rama dan Dean.
Dean sedang sibuk menyalin catatan ekonomi karena ia tak sempat mengikuti pelajaran itu, sedangkan Rama hanya diam memainkan iPhone nya, entah apa yang dia lihat tapi dia sangat serius memainkan nya
"Anjir lo nonton bokep ya?" tanya Dean dengan penuh selidik.
"Sok tau." jawab Rama tanpa menoleh lawan bicara.
"Ngaku aja lo! Gue hafal banget kelakuan elo, Ma."
"Apaan sih, nih liat gue ngapain." Rama menjawab dengan sangat tenang, dia memperlihatkan layar iPhone kepada Dean.
"Lo motoin semua catetan eko?"
"He'eh"
"Anjir kenapa lo nggak ngasih tau? Tau gitu sih gue tulis di rumah, elah." Tangan Dean berhenti menulis kemudian menutup pena hitam.
"Emang lo nanya?"
"Ya enggak sih."
"Yaudah di rumah aja nulis nya, nanti malem ngerjain bareng. Ayo pulang." Rama beranjak dari kursi menarik lengan Dean dari meja.
Dean cepat-cepat memasuk kan buku cetak dan alat tulis yang berserakan di atas meja ke dalam tas, "sabar kek, beres beres dulu. Emang lo mau kemana dulu?"
"Gue mau langsung latihan basket, tapi gue mau nganterin lo pulang dulu."
"Oh," Dean menutup resleting depan tas, "nggak usah lo langsung aja, gue bisa naik angkot."
"Engga, gue takut lo kenapa-napa."
"Gue udah gede ya ampun."
"Lo masih bocah. Ayo pulang." Rama menarik tangan Dean, setelah menuruni tangga, melewati koridor dan lapangan, sampailah pada tempat parkir.
Rama mengambil motor dan Dean sudah menunggu di depan parkiran. Rama memang tidak pernah berubah, dia selalu memperlakukan Dean seperti putri---si tuan putri---tuan putri dari negri pink yang selalu suka dengan warna pink, yang apa apa harus ada Rama, kemana-mana Rama harus ikut, jika Dean kenapa-napa pasti Rama sangat khawatir. Malahan Rama lebih mencemaskan keadaan Dean sekarang melebihi siapapun. Termasuk papah dan kakak nya.
"Lama lo." Cibir Dean yang sudah duduk miring di jok motor.
"Ngantri kali, lo pikir yang ngambil motor gue doang?"
"Ya siapa tau."
Rama menarik gemas segenggam rambut Dean, tidak terlalu keras namun cukup sakit.
"Is kebiasaan deh."
"Abis nya lo rese kaya facebook komen mulu."
"Serah gue, mulut mulut gue."
Rama tak menghiraukan sama sekali perkataan Dean, ia menyalakan mesin motor lalu berangkat menyusuri jalanan, melewati cafe, salon, starbucks dan beberapa toko di sepanjang jalan, dan sampailah di sebuah perumahan ternama lalu dia masuk mencari rumah berwarna abu abu dan sampai!
Dean turun dari motor. "Sana latihan basket. Yang lama ya!"
"Oke siap." jawab Rama cuek dari atas motor.
"Yaudah sana bye!" Dean berkata se-cuek mungkin meninggalkan Rama yang masih di depan pintu pagar.
"Jangan kangen sama gue." Rama berteriak, tidak begitu kencang. Tapi percayalah itu dapat terdengan tetangga nya. Kebiasaan si Rama sih emang, tapi plis malu maluin woi.
"Lo tuh setan! ih jibang." (Jiji Banget) Teriak Dean dari dalam rumah.
"Sun nya belom nih."
"Najis."
Lalu terdengar suara tawa khas Rama yang renyah, dan suara motor yang lama kelamaan volume nya mengecil dan menjauh.
..........
Pukul 09:47 pm.
Dean masih anteng memakan beberapa camilan sisa di kulkas yang di beli beberapa minggu lalu untuk menonton film bersama Rama, mata nya tak lepas dari layar besar tertempel di tembok yang sedang menampilkan film. Dia berada di ruang keluarga.
Bukan.
Mungkin lebih tepat bekas ruang keluarga.
Karena ruangan ini sudah di rubah Dean menjadi markas nya bersama Rama, tempat bermain playstation, makan, bercerita hal-hal aneh, mengerjakan pr bersama, dan hal lain nya. Karena bagi Dean keluarga nya hanya satu. Rama.
Ruangan yang cukup luas ini lama sekali tak menyaksikan sebuah keluarga berkumpul, tertawa bersama karena hal kecil adalah pemandangan yang jarang sekali. Mungkin tidak pernah disaksikan di ruang ini.
Dean merasa bosan.
Sangat bosan, hanya ada dia dan pembantu di rumah seluas itu. Ayah, ibu, kakak? Hell, Ayah Dean sudah hampir empat tahun belakangan jarang bahkan tak pernah pulang ke rumah, dia terlalu sibuk dengan segala perkerjaan atau mungkin dengan istri baru.
Kakak Dean juga sama, terlalu sibuk dengan perkuliahan dan pikiran gila yang dengan baik dia tanam di kepalanya, pemikiran gila seperti itu sudah mendarah daging, membuat Dean gerah ingin memenggal kepala nya. But, Dean nggak sejahat itu kok.
Ibu Dean? She was gone. Dia sudah lama pergi, membiarkan Dean tumbuh tanpa bantuan seorang ibu. Kadang Dean iri kepada teman nya yang selalu di ambilkan rapot oleh ibu nya, bukan pembantu. Di bawakan bekal masakan seorang ibu, bukan pembantu. Belajar bersama ibu, bukan guru les. Dean iri.
"Si Rama mana sih?" Dean berbicara untuk diri sendiri.
Ya, seharus nya si Rama sudah datang sejak beberapa jam lalu. Tapi sekarang Rama sama sekali belum datang, Perut nya sudah lapar.
Cacing cacing sudah meminta jatah makan malam. Padahal tadi dia hanya memesan nasi goreng di depan perumahan, nggak terlalu jauh dan Rama naik motor. Tapi kenapa lama?
"Makanan datang tuan putri." Great! Panjang umur.
Dean menggeleng geleng kepala tak percaya Rama se-watados (wajah tanpa dosa) itu.
"Anjir lo lama banget, gue sampe lumutan." Tangan Dean ke arah meja mengambil piring dan sendok yang sudah di siapkan dari beberapa jam lalu.
"Hehe maap De." Rama nyengir menampilkan deretan gigi putih nya, tangan nya mengeluarkan dua bungkus nasi goreng.
"Kenapa lama?"
"De lo yang pedes kan?"
"Iya, tadi kenapa lama?"
"Pedes banget nggak? Gue pengen ngerasain ya." Rama menyendok nasi goreng spesial yang ada di piring Dean tanpa menunggu jawaban.
"Is lo kenapa lama?"
"Anjir ini pedes banget De, yakin maag lo ga akan kambuh?"
"Rama ih kenapa?"
Pak. Bantal kursi mendarat di kepala Dean membuat sedikit terhuyung ke kanan. Dean menggeser badan.
"Is kebiasaan! Orang nanya malah di pukul!"
"Ya lagian lo dari tadi kenapa kenapa kenapa mulu. Kenapa apaan sih?"
"Lo kenapa tadi dua jam cuma beli nasi goreng?"
"Ngantri." kata Rama sambil menyuapkan nasi goreng.
"Boong!"
"Suer Deeeeeeee." Tangan Rama diangkat membentuk simbol peace.
"Mana ada yang ngantri sampe dua jam."
"Ada. Bukti nya gue."
"Boong!"
"Lo nggak percaya sama gue?"
"Enggak!"
Rama membuang kasar napas nya menghentikan aktivitas makan nya sejenak.
Rama berusaha memikir kata-kata yang tepat. "Yadeh. Tadi di depan rumah ada mobil bonyok (bokap nyokap), jadi gue mampir sebentar buat ketemu mereka."
Dean menegang, namun tubuh nya melemas jantung nya seakan berhenti beberapa detik pikiran nya menjalar kemana mana. "Oh."
Dean ber ohhh ria.
Lalu menghentikan makan sejenak, tetapi nasi goreng favorit nya mendadak terlihat sudah tidak menarik di makan. Perut nya kenyang padahal Dean baru makan seperempat nya.
"Apa kabar om Dave sama tante Mira?" God. Kalimat itu keluar begitu saja.
Itu bukan pertanyaan. Itu hanya formalitas belaka. Sekedar basa basi.
"Mereka selalu baik," Rama tersenyum di ujung kalimat nya, mata nya menatap iris mata coklat milik Dean seakan akan berkata mereka-benar-benar-baik.
"Syukur deh kalo gitu," Dean benar benar tidak mood makan lagi, "Gue kenyang ma, mau ke atas."
"Eh makan dulu, lo makan kaya kucing tau ga?"
Dean berdiri. "Gue kenyang ah."
"Makan dulu De, sisa nya banyak banget, mubazir tau."
"Yaudah taroh di dapur nanti di angetin lagi." Teriak Dean dari tangga.
"De ih makannnnn."
Tak ada jawaban.
"De ih makan buruan keburu dingin."
Tak ada jawaban.
"De, gue abisin ya?"
Masih tak ada jawaban.
Sepertinya Rama harus turun tangan. Rama akhirnya membawa sepiring nasi goreng sisa ke atas.
Tanpa mengetuk pintu Rama masuk ke kamar Dean, di lihat nya Dean sedang duduk menghadap jendela kamar yang memperlihat kan jalanan komplek, sudah sepi dan gelap. Sertinya orang orang cukup lelah dengan rutinitas sehari hari mereka mimilih tidur lebih awal dari biasa nya.
"De makan dulu." Rama memasuki kamar Dean.
"Gue nggak laper, lo aja sana."
"Makan dulu ih bodo." Rama sudah duduk di samping Dean, meletakan piring di atas kasur yang cukup untuk dua orang.
Dean membalik badan tanpa melirik Rama sama sekali tangan nya hanya memainkan sendok yang jelas menimbulkan suara, Dean tak niat makan.
"Makan. Kenapa malah di mainin?" Rama sudah mulai bosan melihat tingkah Dean.
"Di bilang kenyang gue."
"Makan apa lo? Angin?"
"Is."
"Sini lah gue suapin biar cepet." Rama merebut piring dari tangan Dean lalu menyendok nasi memberikan kepada Dean.
"Makan yang banyak biar ndut, lagian kalo lo sakit nanti gue juga yang repot."
"Ghue udhah ghendhut bhegho." Dean berusaha bicara padahal mulut nya penuh dengan nasi goreng.
"Kebiasaan. abisin dulu baru ngomong." Rama menyuapkan sesendok penuh nasi goreng.
"Anjir, sabar dong! Ini belum gue telen." Dean menunjuk mulut nya yang penuh nasi goreng.
"Lagian lama ngunyah doang."
Dengan kesabaran ekstra Rama berhasil menyuapkan setengah piring nasi goreng, walaupun tidak habis tak apa apa lah.
"Udah ah, makan malem malem bikin gendut tau."
"Yaudah sih gapapa."
"Nanti gue jelek."
"Emang udah jelek."
Dean tak menghiraukan ucapan Rama yang semakin hari semakin mengesalkan, dia berbaring di kasur menghadap jendela. Sekarang Dean benar bnar ngantuk.
Rama meletak kan piring di atas kasur lalu menyelimuti sebagian tubuh Dean.
"Good night monyet." kata Rama setelah mencium kening Dean.
Itu biasa. Bukan kah mencium kening tanda rasa sayang?
"Songgong." Dean melempar boneka berbentuk teddy bear kecil pas mengenai dada Rama.
Rama mengelak ke arah kasur tanpa sengaja tangan kiri nya menyenggol piring nasi goreng, tanpa terelakan nasi itu sudah tumpah di kasur Dean.
"AH DEAN."
"DIH KOK GUE? KAN ELO YANG NYENGGOL."
"BODO LO YANG BERESIN!"
"DIH?!!!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top