25-Boundless
Rasanya dijauhin kamu ternyata lebih sakit, ya. Dari pada dijauhin Dian. --Deandra Avilla.
..........
Author
Sekarang jarum pendek jam dinding sudah berada di antara angka empat dan lima dan langit pun sudah berwarna jingga, tetapi para murid kelas XII tetap setia berada di kelas masing-masing dengan buku cetak tebal yang berisi contoh kumpulan soal Ujian Nasional. Sebagian murid hampir frustasi karena sudah terlalu lama berkutat dengan soal-soal tak bertuan itu, berharap agar buku itu cepat-cepat diberi nyawa supaya bisa mengerjakan nya sendiri tanpa menyusahkan manusia bumi terutama para peserta UN, bukanya semakin siap untuk menghadapi UN malah semakin malas karena frustasi dengan penjabaran soal-soal sialan.
Dean sedang menganalisis soal Bahasa Indonesia yang super duper susah! Rambut nya yang tadi diikat seperti buntut kuda kini sudah bergeser beberapa cm ke sebelah kanan, baju nya sudah kusut, dasi nya kendur, kerah nya naik sebelah, dan sepatu nya sudag dibuka sebelah, alasan nya karena panas.
Dengan segala kegagalan Dean menutup buku tebal itu memiringkan kepala di atas nya, menatap punggung anak laki-laki yang duduk di depan nya. Pakaian nya masih bersih, rambut nya sudah agak berantakan, dan dia terlihat sedang serius
Dia serius memainkan iphone nya.
Dean menggelengkan kepala, tidak percaya dengan kelakuan sahabat nya, Rama. Bagaimana bisa? Ujian Nasional sudah di depan mata tapi ia masih bisa sesantai ini? Dean ingin menegurnya, memperingati nya, mengajari nya matematika, anak perempuan itu ingin sekali, sangat. Namun keinginan nya selalu ia tahan.
Sejak hari itu, siang itu, pembicaraan itu, semua terasa asing, semua beda, semua kosong, hitam, dan bisu.
Keadaan berbalik, hanya dengan sebuah pengakuan tulus atau karena perasaan yang nyatanya tidak bisa ditutup-tutupi membuat dua manusia yang sangat dekat menjadi dua orang yang sangat asing. Bahkan untuk sekedar saling bertukar senyum pun terasa canggung. Untuk bertukar senyum rasanya beda, tidak selepas dulu.
Rama seperti menjauhi, menghindar secara perlahan tapi pasti, dan semenjak itu Dean menyadari satu hal.
Ternyata dijahui Rama semenyakitkan ini, it's hurt.
Dean mulai mengutuki diri sendiri, apa benar gue yang egois? Bahkan saat itu Dean bingung harus melakukan apa selain menyangkal, dan Dean kembali terbayang-bayang oleh rasa bersalah, dengan sepenuh hati dan tekad yang kuat ia memberanikan diri.
"Pokok nya gue harus ngomong sama Rama, harus!" Kata Dean.
..........
"Rama." Teriak Dean dari ujung koridor.
Orang yang dipanggil pun segera menghentikan langkah nya memberi aba-aba kepada teman-teman nya agar pulang lebih dulu, Rama sengaja tidak berbalik badan ia sengaja menunggu Dean menghampirinya.
Yang ditunggu-tunggu pun datang sambil berlari rambutnya sudah digerai, "Hai."
"Eh, hai." Balas Rama ragu-ragu ia menggaruk belakang daun telinganya yang tidak gatal.
Sepanjang perjalanan Hening.
Hening.
Entah lapangan yang semakin jauh atau waktu yang terasa semakin lama. Tapi situasi ini sangat menyebalkan, dua orang manusia yang selalu terfikir satu sama lain namun saling bungkam ketika bersama, banyak sekali hal yang ingin diutarakan keduanya.
Termasuk Rama kenyataan yang membuatnya harus terpisah dengan Dean dalam jangka waktu yang sangat lama, takdir yang tidak bisa dielak dan perintah yang harus dikerjakan. Lusa ia harus pergi meninggalkan Indonesia, meninggalkan kenangan yang tidak pernah mati dan meninggalkan Dean sendirian.
Rama sudah berusaha sekuat tenaga memohon kepada Mira agar ia tidak diikut sertakan dalam perpindahan ini, namun apalah daya, siapa yang bisa melawan kemauan Mira? Rama berfikir mungkin ini adalah jalan yang sudah ditentukan Tuhan, sebuah isyarat agar ia mundur dari kenyataan sial 'cinta bertepuk sebelah tangan' Rama juga harus bahagia, ia harus berpindah, dan kembali memohon kepada asap-asap yang membuhung. Sepatah harapan yang dipenuhi asa.
Rama menegok kesebelah kiri membuat langkah Dean terhenti, "Gue minta maaf De, maaf."
"Yaelah, lo nggak salah ma."
Mereka pun berjalan bersama menuju lapangan, disana hanya tersisa beberapa motor bahkan mobil yang tadi ada belasan sudah pergi. Memang Pelajaran tambahan kali ini agak lama dan mengharuskan semua muridnya pulang telat.
Setelah mereka sampai di depan ninja milik Rama, Rama pun menyalakan mesin dan Dean terus berjalan. Rama merasa sangat canggung, bahkan biasanya tanpa diminta sekalipun Dean sudah menaiki motornya duluan.
Rama segera menjalankan motor dan sengaja berhenti di depan Dean memberi aba-aba kepada anak perempuan itu agar segera naik, bukanya naik Dean malah bengong sambil menggelengkan kepala. Dean bukan nya menolak hal baik, ia hanya tidak suka dengan suasana seperti ini. Kaku.
"Kenapa sih? Biasanya juga mau." Rama menatap Dean heran. Yang ditanya hanya menggelengkan kepala.
"Anak cewek ga baik loh pulang sendirian jam-jam segini."
Dean terlihat menimang-nimang jawaban nya, ia ragu dengan tawaran ini, namun satu sisi Dean ingin. Anak perempuan itu rindu.
"Yaudah deh," kata Dean akhirnya.
"Yaudah apa?" Sekarang Rama sudah berdiri di atas ninja nya.
"Iya, pulang bareng."
Tanpa basa-basi apapun Rama langsung menyuruh Dean duduk di belakang nya, mereka berdua seperti menikmati masa-masa seperti ini.
Rama selalu berdoa kepada semesta agar selalu mempersatukan keduanya, menjaga permintaan baik nya.
Dan di belakang ada anak perempuan yang juga rindu saat seperti ini, Dean berharap kepada langit malam untuk menjaga laki-laki di depan nya, hatinya ingin sekali memeluk pinggang Rama yang hanya berjarak beberapa centi namun tangan nya menolak.
Saat itu, Dean sudah menyayangi Rama. Rasa sayang sebagai sahabat. Selebih nya masih abu-abu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top