24-Boundless
Aku ingin mencintai mu walau penuh cacat, Rahwana.
Tak peduli cacat itu membawa keburukan atau malah menampilkan hal-hal indah. --Sujiwo Tedjo.
..........
Author
Koridor kelas sudah mulai sepi setelah sebelum nya di penuhi lautan manusia yang haus rasa keingintahuan rengking nya. Ya, hasil TO ke-3 baru saja di tempel setelah bel pulang berbunyi. Jari telunjuk Dean menelisuri setiap digit angka yang terdapat pada kertas hvs putih di papan pengumuman, telunjuk nya berhenti pada nama Deandra Avilla yang berada di urutan 18 tidak terlalu kecil, dan suatu perkembangan karena ia bisa memasuki urutan 20 besar.
"Lo pinter juga ya, nyet?" Rama hanya memperhatikan Dean dari samping.
"Yadong." Dean memindahkan jari telunjuk nya ke kertas yang lain. "Udah urutan ke 50, kok nama lo ngga ada ya?"
51. Ram? De?io Pra?e?tya
"Ini apaan dah?" Dean masih menunjuk-nunjuk tulisan yang penuh tanda tanya itu. "Ram Deio Praetya? Nggak enak banget nama nya?"
Rama mengikuti arah pandangan Dean memperhatikan huruf demi huruf, "Anjir! Itu nama gue?" Dean mengangkat alis, "Sumpah! Rama Delio prasetya nama gue itu, siapa yang berani ganti-ganti nama gue sih?!" Sekarang gantian Rama yang menunjuk-nunjuk kertas itu.
Dean masih mengangkat alis.
"Sumpah bakal gue tuntut orang nya!"
Dean masih mengangkat alis.
"Rese banget nama bagus bagus segala di ganti!"
Dean masih diam melihat Rama yang masih melontarkan sumpah serapah kepada kertas putih tidak bersalah itu.
"Itu mah lo yang kurang tebel ngebuletin huruf nya, bodoh."
"Hah?"
"Lo kurang tebel." Kata Dean sambil meletakan telunjuk nya di depan muka Rama. Membuat Rama menunjuk diri nya sendiri dengan tatapan gue?
Dean menjawab dengan anggukan mantap sambil melangkahkan kaki nya di koridor yang sepi, "Lo ngisi nya pake pensil 2B palsu ya? Yang gopean itu?"
"Anjir, ya enggak lah gue aja beli nya empatribu per-satu biji." Kata Rama yang berada di belakang Dean.
Dean hanya menganggukan kepala. Lalu suasana menjadi hening.
Hening.
Tapi tidak lama.
Sampai Rama membuka mulut berusaha memecahkan keheningan, "Deeee?"
"Hm?"
"Gue mau ngomong."
"Ya ngomong tinggal ngomong, sih."
"Lo berhenti dulu kek."
Tap. Langkah kaki Dean berhenti bergerak lalu anak perempuan itu balik badan dengan tangan yang dilipat di atas dada, "Ngomong apaan sih? Biasanya juga ngomong tinggal ngomong."
Lorong koridor yang sepi membuat kesan dingin pada siapa saja yang melewati nya, suara jam dinding yang entah di letakan dimana pun terdengar jelas.
Rama memperhatikan Dean selama lima menit yang hanya berjarak setengah meter, lalu menggaruk tengkuk nya yang sama sekali tidak gatal. "Gajadi deh."
Dean menatap nya sinis kembali balik badan, "Ambigu lo."
Rama yang merasa aneh mengikuti Dean dari belakang dengan langkah ragu-ragu, melangkah kan kaki melewati koridor, lapangan dan akhirnya sampai ditujuan terakhir yaitu parkiran sekolah. Rama terus berjalan tanpa memperhatikan jalan sampai kepalanya menabrak sesuatu yang keras seperti... tulang.
"Apaan sih?!"
"Eh, eh maaf Dee gue ngga sengaja dah." Rama menepuk-nepuk punggung Dean.
Dean yang merasa terganggu langsung menyingkirkan tangan Rama dari punggung nya, "Sebener nya ngga sakit, tapi gara-gara dipukul pukul malah jadi sakit sumpah! Lo tenaga kuli ya?"
"Anjir." Kata Rama sebelum memasuki parkiran.
..........
Setelah motor ninja berwarna merah itu berhenti di depan rumah berpagar hitam dan anak perempuan yang dibonceng nya turun, Rama mematikan mesin motor. Dan membuat Dean bingung karena biasa nya Rama setelah mengantar pulang tanpa disuruh pun ia akan masuk kedalam rumah Dean atau pulang ke rumah nya sendiri, namun tidak dengan hari ini, Rama tidak melakukan kedua nya ia memilih tetep duduk diatas motor.
"Kenapa?" Tanya Dean.
"Gue mau ngomong." Jawab Rama mantap.
Dean yang berdiri di depan Rama berkacak pinggang, "Ngomong apa dah?"
Rama turun dari motor lalu berdiri bersandar disamping motor itu menyilangkan kedua kaki nya, "Gue mulai dari mana, ya?"
"Yaudah sih dari mana aja, buruan, gue mau makan. Laper."
Rama menatap anak perempuan itu mantap memperhatikan semua anggota wajah nya, dari mulai mata yang bulat, hidung pesek namun pas diwajah nya sehingga terkesan lucu, pipi tirus, dan rambut coklat tua yang cocok dengan warna kulit nya, rambut yang dulu nya bau matahari sekarang menjadi wangi stoberi yang khas sekali.
"Gue suka sama lo."
"Hah?"
"Gue suka sama lo, Dean." Rama menatap bola mata coklat yang menyejukan milik Dean dengan sejuta harapan.
"Sejak kapan lo jadi gini? Yaiyalah lo suka, orang gue cantik." Dean mengguncang pelan bahu Rama sambil terkekeh.
"Gue serius."
Kekehan Dean mengecil dan tangan nya melorot dilengan Rama, "Ma --maksud nya?"
"Gue suka sama lo, ralat, gue sayang sama lo lebih dari sekedar 'sahabat'." Kata Rama dengan penekanan dikata 'sahabat'.
Dean menyergitkan dahi lalu dua detik kemudian dia terkekeh sambil mengusap pipi kanan Rama, "Lo apaan sih? Salah makan ya?" Rama menatap Dean tak percaya, kata-katanya bagaikan belati yang menusuk-nusuk badan nya.
Rama mengambil jari mungil Dean lalu menggenggam nya dengan kedua tangan. "Gue nggak bercanda Dean, gue sayang sama lo, gue serius."
Deg.
Senyuman di wajah Dean menghilang, kata-kata Rama sulit dicerna di otak nya, jantungnya berdebar lebih cepat namun otaknya tidak terima dengan pernyataan Rama. Ia menatap sepasang manik mata hitam legam, matanya tidak menggambarkan apa-apa, begitu tajam menatap Dean. "Lo ngomong apaan sih? Kita ini sahabatan!" Good. Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Dean.
"Tapi gue suka sama lo."
Dean melepaskan pegangan nya, ia memperhatikan dari ujung kaki sampai kepala ternyata sudah banyak yang berubah. Anak laki-laki yang dulu selalu diantar kemana-mana oleh Dean sudah dewasa. Dan menyadari fakta kalau Rama sudah dewasa membuat ia merasa takut.
"Terus mau lo apa? Lo mau kita pacaran? Sayang sayangan? Dua tiga bulan berantem, lo bosen sama gue gue bosen sama lo, terus seminggu kemudian kita putus, kita diem-dieman kaya orang bisu. Lo mau kita kaya gitu?"
Rama menggertakan gigi nya, suasana ini tidak terlalu nyaman untuk kedua nya. "Tapi gue sayang sama lo, Dean."
"Gue juga sayang sama lo Rama, tapi sebagai sahabat, nggak lebih. Kenapa sih lo? Kenapa lo ngebet banget pengen pacaran hah?"
Rama terdiam.
"Lo tulus nggak sayang sama gue?"
Rama menjawab dengan anggukan kecil.
"Lo inget nggak waktu itu lo pernah bilang, kalo yang tulus itu nggak butuh status, terus lo sekarang apa? Lo nggak tulus dong?"
Rama memutar otak masih berjuang menjawab semua pendapat berentet dari Dean yang setiap kalimat nya mampu menusuk tepat di jantung nya memberikan rasa ngilu yang menjalar dibadan nya bercampur sesak, sepertinya paru-paru nya sudah bocor dan tidak manpu mengikat oksigen yang ada dibumi. Rama berdehem sebentar sebelum bersuara ia sedang memastikan supaya suaranya terdengar normal.
"Sekarang gini, waktu lo suka sama Kenanth, inget? Waktu itu lo ngejar-ngejar Kenanth dan gue mati-matian ngejar lo, tuh kan kita sama-sama ngejar?"
"Ohya. Lo tau nggak kenapa lo ngebet banget mau ditembak sama dia? Pasti lo pengen milikin dia kan? Pengen semua orang tau kalo Kenanth itu cuma milik lo, intinya lo pengen itu. Sama kayak gue."
"Soal 'yang tulus nggak butuh status' itu beda lagi. Waktu itu juga gue mikirnya gitu, tapi lama kelamaan gue sadar kalo udah cinta sama orang itu pasti butuh yang namanya status. Butuh kepastian. Dan, kalo ada yang bilang cinta itu nggak harus saling memiliki. Bohong. Faktanya cinta itu pasti ingin saling memiliki."
Hening.
Angin siang yang panas bercampur debu membelai rambut Dean, membuat rambut nya itu menutupin sebagian wajah nya, Dean menunduk ia tidak berani melihat raut wajah Rama. "Kenapa harus gue? Kenapa lo suka sama gue."
"Ini soal hati Dean, mana gue tau."
Dean mengambil sebagian rambut lalu menyelipkan nya dibelakang telinga pandangan nya masih menatap sepatu kumuh milik Rama. "Ya ke--"
"Oke, gue cuma mau ngungkapin perasaan gue doang, gue mau liat respon lo gimana. Dan dengan ini gue simpulin lo nolak gue." Rama menegakkan badan dari senderan motor berjalan selangkah mendekat ke arah Dean, lututnya sedikit di tekuk supaya bisa menatap mata Dean dari bawah.
"Maaf." Suara Dean mengecil bahkan nyaris tidak terdengar, tenggorokan nya sedikit perih saat menelan ludah. Saat tangan Rama menyentuh pundak nya, rasa dingin menjalar keseluruh badan membuat tubuh nya menegang seketika, ia merasa nyaman sekaligus tidak.
"Nggak usah minta maaf." Rama menepuk dua kali pundak Dean dengan lembut, "Yaudah, gue pulang dulu ya? Katanya lo udah laper kan?" Rama berusaha menunjukan lengkungan senyum di bibirnya. Rama menaiki motor dan menyalakan mesin nya, diam ditempat selama beberapa menit kemudian pergi entah kemana.
Dean diam ditempat masih dengan posisi yang sama, ia menatap punggung Rama yang semakin mengecil lalu menghilang di belokan. Rama pergi. Menyadari fakta bahwa Rama sudah pergi membuat hatinya tidak enak. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. Kaki nya sudah lemas dan Dean memilih berjongkok didepan rumahnya, tiba-tiba air matanya jatuh. Ia menangis, ia tak mengerti kenapa ia bisa menangis. Sepertinya malam ini ia akan menghabiskan malam dengan meringkuk diatas tempat tidur, memikirkan perkataan Rama dan berusaha bertidak normal didepan nya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top