21-Boundless
Menggantung harapan tinggi sebeb disana hidup diujung. Lalu mematikan ekspetasi ketinggian, sebab disana orang berjatuhan. --Dedo.
.........
Author
"Hah? Lo nembak gue Kenanth, dan gue mau." Dean ngotot dengan pendapat nya sendiri.
"Biar gue jelasin deh, lo dengerin aja jangan motong omongan gue."
Seperti perintah Dean diam saja mendengarkan penjelasan Kenanth, ia tak mengomel apalagi protes yang bisa ia lakukan hanya mendengar.
"Gue suka sama lo itu pas kelas 10 De, dan gue makasih banget lo adalah orang yang udah bikin gue berubah kayak gini you know lah maksud gue, dan gue yakin lo bakal nolak kalo gue nembak lo pas waktu itu." Kenanth mengekhiri perkataan nya dengan senyuman miris.
Dean menelan ludah, ia merasa kerongkongan nya kering.
"Tau darimana kalo gue bakal nolak?" Ucapnya.
Kenanth menggaruk tengkuk yang tidak gatal lalu mengangkat bahu. "Nggak tau juga sih."
"Tapi sekarang gue suka sama lo, nggak usah bahas yang dulu-dulu."
"Tapi gue udah punya pacar Dean."
Seperti tersambar petir tubuh Dean kaku ditempat, ia merasakan dada nya berdenyut nyeri, sakit, sesak memenuhi rongga dada. Setiap denyutan mewakili perasaan nya.
"Lo kenapa segala nyatain perasaan kalo itu dulu, dan sekarang lo liat, gue baper."
"Gue kan udah bilang kalo gue nggak ngomong kayak ada yang nganjel, makanya gue bilang. Dan lo nggak usah baper, kita bisa temenan."
"Temenan nggak seburuk itu kok Dee."
Dean melirik Kenanth.
"Percaya sama gue. Ohya lagian yang suka sama lo lho."
Dean membuang nafas seharus nya ia tak sepede itu supaya tidak sesakit ini jika mengetahui kenyataan, ia tidak tertarik sedikit pun dengan perkataan Kenanth. Dean tidak setuju dengan pernyataan Kenanth, temenan nggak seburuk itu tapi kenyataan nya perasaan menginginkan lebih dari sekedar teman.
"Dee kita temenan kan? Lo masih mau nemenin gue makan kan?" Suara Kenanth terdengar lagi setelah lima menit terjebak dalam keheningan.
"Iya."
"Oke makasih Deandra!" Kenanth mencubit gemas pipi kanan Dean, sebelum ia pergi Kenanth berkata, "Tentang orang yang suka sama lo, lo nggak penasaran?" Dean menggeleng.
Tangan Kenanth mendarat di pundak Dean lalu menepuk nya dua kali, "Yaelah, walaupun lo nggak mau tau gue kasih tau clue nya aja ya?"
"Siapa?"
"Look around and you will see."
Clue macam apa itu? Dean menatap punggung Kenanth yang semakin lama mengecil, pergi, meninggalkan Dean sendirian disini. Gadis itu mengutuki atas kepedean-nya, ia sudah mempertaruhkan harga diri sebagai seorang perempuan tapi hasilnya? Ditolak. Menyedihkan. Sepertinya Tuhan belum mengizinkan nya untuk merasakan Cinta.
Dean berjalan keluar dari halaman belakang, angin seakan memgikuti nya dari belakang, saat ia berada di lorong koridor ada sebuah tangan menariknya.
"Yah ditolak yah."
Dean cepat menoleh kearah sumber suara, ternyata Rama. Sial. Kenapa bisa bocah itu tau? "Apaansih ambigu."
"Yah ngelak yah, kacian yang abis ditolak cupcupcup." Rama memberikan ekspresi yang susah ditebak, tetapi dari nada suaranya ia mengejek Dean. Dean semakin kesal dibuatnya, anak perempuan itu malu. Ketauan ditolak.
"Lo nggak jadi pulang? Apa... lo ngikutin gue, huh?"
"Kalo gue ngikutin lo kenapa?"
"What the fuck! Gue nggak mau ketemu lo lagi ahhh." Dean mendorong tubuh Rama menjauh, mendapat perlakuan seperti itu Rama spontan mundur dua langkah memberi tatapan lo-kenapa? Kepada Dean.
"Gue malu bego! Ih jangan liatin gue kayak gitu."
Rama terkekeh, "Lo punya malu? Bukanya urat malu lo udah putus ya?"
"Anjir."
Dean berjalan keluar koridor dengan langkah kaki besar besar, maksudnya agar lebih cepat. Dean tau pasti Rama mengikutinya dari belakang.
Disinilah mereka berada di tengah lapang yang sudah sepi karena hari mulai sore, saat kedua kaki Dean berhenti bergerak otomatis langkah Rama ikut terhenti. Dean melipat tangan nya di dada sebelum berbalik badan. "Lo pernah ditolak nggak?" Tanya Dean.
Rama berjalan beberapa langkah mensejajarkan posisi nya, "Enggak."
Dean mengusap wajahnya lalu menghela nafas, "Mampus, malu gue."
"Lagian lo kan cewek, kenapa ngejar? Harusnya lo tuh nunggu aja. Cewek kodratnya bukan mengejar tapi dikejar." Rama berlalu meninggalkan Dean beberapa langkah dibelakangnya. Sekarang gantian Rama yang berada didepan, sambil berjalan sepertinya mereka berdua menerka-nerka isi kepala lawan bicara nya masing-masing.
Sampai Dean merasa ada sesuatu yang janggal melintas dipikiraan nya, "Ma?"
Hanya dengan satu kata laki-laki yang berada di depan nya langsung berbalik badan dan berkacak pinggang. "Kenapa?"
Dean yang berjarak satu meter dengan Rama berdiri sambil melipat tangan di dada, menyipitkan matanya memberi tatapan yang intens, "Perasaan lo jarang cerita tentang cewek ke gue deh? Apa lo mulai nggak tertarik sama cewek?"
"Maksud lo, gue gay?"
"Maybe."
"Gila lo! Dasar korban sinetron! Gue masih doyan cewek kali." Rama bersungut-sungut menjawab pertanyaan Dean, Rama tidak terima disebut gay, dia masih normal, 100 persen normal. Toh ia lagi suka sama Dean kan?
Dean mencibir masih tetap berpandangan dengan Rama, "Jadi lo masih suka cewek? Lo suka sama siapa? Kasih tau gue dong!"
"Rahasia."
"Anjir sok rahasia rahasiaan sama gue. Tembak dong kalo suka mah?" Kata Dean masih di tempat yang sama, masih berjarak satu meter, sambil memperhatikan gestur tubuh Rama yang kelihatan agak... Gugup?
Hening.
Sebentar.
Rama mengalihkan pandangan ke ring basket diujung lapangan lalu bergeser ke langit-langit yang masih cerah lalu turun ke anak perempuan didepan nya, menatap manik mata coklat nya, ia berusaha agar nada suaranya normal. "Biar apa nembak?"
"Biar pacaran."
"Biar apa pacaran? Biar dapet status?" Rama diam sebentar menunggu lawan bicaranya menjawab, namun lawan bicaranya hanya diam, bosan menunggu akhirnya Rama membuka mulut, "Gue suka sama dia tulus dan gue nggak butuh status."
Dean memiringkan kepala ke kiri dan diikuti Rama mereka saling berpandangan. Bosan kaya orang bego cuma liat-liatan akhirnya Rama merentangkan tangan nya di udara.
"Ayo pulang."
****
"Anjir lo apaan sih... AWW KAMPRET SAKIT BEGO!" Dean berusaha berdiri lalu merapikan seragam yang berantakan. Sedangkan Rama hanya tertawa melihat sahabat nya jatuh, ia bahagia sahabatnya kesakitan. Sekarang mereka ada didepan rumah Dean, mereka berencana malam ini akan belajar dengan sungguh sungguh mengingat sebentar lagi sekolah akan mengadakan TO pertama kira-kira minggu depan. Itu adalah berita terburuk untuk kelas XII tapi tidak bagi kelas X dan XI mereka bahagia karean itu salah satu tanda bahwa liburan beruntun akan menantinya di depan sana. Tidak untuk Rama.
"Goodbye holiday and welcome to exam!" (Rama ngomong nya sambil nangis darah tapi keluarnya batu gitu)
Rama membuka kenop pintu dan memperlihatkan seorang wanita berumur dua puluh tahunan sedang duduk manis di kursi ruang tamu.
"Kakak?"
Wanita yang dipanggil kakak itu pun menoleh kearah Dean, Dean ingin sekali berlari kemudian memeluk wanita itu, tetapi jika ia melakukan sekarang pasti sangat tidak baik, ia pun berjalan kearah kursi lalu duduk dihadapan nya Rama mengekor di belakang.
"A-- ada apa kakak kesini?"
Kakak nya garis miring Dian tersenyum yang makna nya sulit di tebak. "Kamu udah besar ya?"
Dean diam. Ia memperhatikan kakak satu satunya, Dian. Sudah lama sekali ia tak pernah melihat nya, rambut nya sekarang pendek sedagu, deang mata yang seperti mata kucing di sapu dengan eyeshadow coklat tipis, eye liner yang melekuk keluar di ujung mata, dan maskarabm yang disapukan dengan sangat rapih. Hidungnya mancung dan agak mencuat keatas sehingga tanpa berusaha pun ia sudah terlihat angkuh, wajahnya polos hanya terlihat pipi tirusnya yang diberi sedikit blush on, dan bibir tipis nya diberibsentuhan lipstik merah menyala, yang sering dipakai oleh para perempuan yang memiliki kepercayaan diri tinggi. Berbeda denga Dean yang sehari-hari hanya menggunakan lipblam tipis rasa stoberi. Mereka memang jauh berbeda.
"Apa saya bisa berbicara sekarang?" Ucap Dian tanpa ekpresi.
"Si-- silahkan."
Tidak lama bibi datang dengan membawa nampan yang berisi 3 gelas minuman.
Dian menegakan badan dan melipat tangan di pangkuan, "Saya mau memberitau tentang acara pertunangan saya."
Rama dan Dean berpandangan, "Kapan?"
"Untuk tanggalnya saya belum tau, yang pasti secepatnya." Dian mengarahkan pandangan nya ke seluruh ruangan, "Rumah ini banyak berubah ya?" Lanjutnya.
Dean tidak tau kemana arah pembicaraan nya, buru-buru mengambil teh yang di hidangkan, lalu menyesapnya cepat. Nggak peduli panasnya yang membakar lidah. Rama melirik lalu berdehem.
"Di Bandung acaranya?" Suara Rama terdengar. Rama geram melihat tingkah orang disekitarnya seperti sama-sama baru kenal, mereka seperti orang asing yang baru bertemu. Canggung.
Dian menganggukan kepala, "Kalo kalian mau datang silahkan, kalau tidak juga tidak apa-apa, saya mengerti." Katanya dingin dan dari kalimatnya menunjukan ia nggak membutuhkan kehadiran Dean di acara itu, "Kalo sudah ditentukan tanggalnya nanti saya beritau." Lanjutnya ia mengambil tas kulit di atas meja sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan itu.
"Baik, tapi kayaknya aku nggak bisa dateng kak, semoga acaranya berjalan lancar " Teriak Dean, saat kakak nya sudah membuka kenop pintu. Kakaknya tidak bergeming dengan teriakan Dean ia tetap melanjutkan langkah nya.
Tak lama setelah pintu tertutup Rama berlari keluar, entah apa yang akan dilakukan nya berdua dengan Dian, Dean tidak peduli. Anak perempuan itu terlalu muak dengan segala macam urusan keluarga yang berbelit-belit. Terserah Dian masih menggagapnya ada atau mati. Nyatanya sampai sekarang ia masih bisa hidup tanpa keberadaan nya.
Kamu harus tau, kamu bukanlah segalanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top