14-Boundless

Do you ever just see ur friends getting really close with other people?

Make u less important to them and u get this really deep ache in ur heart and everything just hurt.--Rama Delio.

..........
Author

Beberapa minggu ini Dean dan Kenanth semakin dekat. Mereka selalu pulang bersama, berangkat bersama, kemana-mana selalu bersama, bahkan Dean lebih memilih Kenanth di banding Rama. Mereka semakin dekat, dan kedekatan mereka membuat orang lain patah hati.

Ya. Itu membuat Rama merasa nggak berguna sama sekali. Kehadiran nya seolah tidak berarti.

Rama merebahkan badan di sofa rumah Dean. Sudah dua jam ia menunggu kedatangan gadis itu, dan faktanya gadis itu belum juga pulang. Rasa bosan menyeruap di dalam pikiran Rama.

Ceklek.

Terdengar decitan pintu. Bersamaan dengan langkah kaki seseorang.

"Abis dari mana?" Suara Rama yang begitu dingin membuka percakapan antara mereka berdua.

"Abis dinner bareng Kenanth." Dean memasang mimik penuh bahagia, matanya yang tadi menatap wajah Rama turun kebawah. "Lo masih pake seragam? Udah lama ya?"

Tak ada jawaban dari Rama. Anak laki-laki itu hanya membenarkan posisi duduk nya dan mengeluarkan iphone dari saku celana nya. Memainkan iphone nya tanpa melirik sama sekali ke arah Dean.

Dean yang tadi ingin ke dapur mengurungkan niat nya. Ia pun duduk di sofa putih sebrang meja. Menunggu anak laki-laki di hadapan nya membuka mulut.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Dua menit.

Masih tak ada jawaban.

"Engg.. Lo udah lama ya?" Nada suara Dean sedikit ragu-ragu. "Lo marah gara-gara nungguin gue lama ya?"

Di sebrang meja, Rama hanya mengangkat alis. Lalu memainkan iphone nya lagi tepat di depan wajah nya. Membuat Dean tidak bisa melihat wajah Rama.

Dean menelan ludah. Kerongkongan nya terasa sangat kering. Ia mengambil botol minum di dalam tas dan meneguk nya sampai habis. Membiarkan botol itu tetap terbuka dan membiarkan nya tetap kosong. Seperti hati Rama yang sekarang kosong.

"Oh god!" Desis Dean pelan. Dean mulai mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan Rama. Sebelumnya Rama tidak pernah seperti ini. Sangat dingin dan kaku. "Seharus nya lo bilang dulu kalo mau ke rumah, biar nggak nungguin lama kayak gini."

Tangan Dean memainkan botol minum yang sudah kosong. Kelakuan Rama kali ini membuat Dean sangat gerah. "Emang lo nungguin dari jam berapa? Lama banger ya?"

Rama yang tadi tidak menghiraukan Dean, mulai melirik nya. Iphone nya di letakan di meja memperlihat kan alis nya yang sedikit berkerut, bingung. Rama memperhatikan sahabat nya, sampai Dean sadar dan mengangkat wajah. Membuat mata mereka saling bertemu.

Ujung bibir Dean tertarik keatas membentuk bulan sabit. Dean tersenyum, namun rasanya ini sangat canggung namun matanya tidak menampakan ekpresi apapun. Sedangkan Rama hanya berkedip dengan wajah yang datar.

Suasana ini sangat canggung.

Dean menyenderkan punggung nya di sofa, menarik nafas dalam-dalam lalu berbicara, "Lo kenapa sih? Sejak kapan lo jadi bisu kayak gini?" Senyuman canggung di wajah Dean sirna.

"Udah kenyang makan bareng Kenanth?" Akhirnya, akhirnya, Rama membuka mulut. Rama menurunkan kakinya dan menegakkan posisi duduk nya.

Dean tertegun. Kenapa harus soal Kenanth?

"Kenapa soal Kenanth?" Dean menggigit bibir bawah nya.

"Karena gue nggak suka liat lo sama Kenanth."

Dean menegakkak tubuh dan mencondongkan badan ke arah meja supaya bisa lebih dekat ke Rama. "Kenapa?"

"Ya karena gue nggak suka."

"Tuh bahkan lo nggak bisa ngasih tau alasan nya." Dean berkata dengan nada senormal mungkin.

"Pokok nya gue nggak suka liat lo berhubungan sama Kenanth. Apalagi. Pacaran."

Dean menyatukan jari tangan nya di atas meja, ia merasa udara di ruangan ini semakin dingin. "Kenapa? Kenapa kalo gue pacaran sama dia?" Dean menatap Rama baik-baik. "Katanya, cinta itu bukan dosa yang harus di tolak. Jadi, kenapa gue haru --"

"Gue peduli? Nggak. Pokoknya gue nggak suka."

Dean berusaha mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Rama. Saat Dean berhasil ia merasa sesuatu mengganjal di dalam dada nya. Dean berdiri nyaris meninggalkan ruangan itu, namun tangan Rama berhasil mencegah tubuh ceking Dean. "Sejak kapan kita saling ngelarang buat deket sama orang lain? Bahkan gue nggak pernah ngelarang lo deket sama siapa pun. Rama." Kata Dean dengan intonasi yang lebih kencang.

Rama berjalan hilir mudik sambil mengacak rambut nya frustasi, matanya menatap Dean. Benar-benar menatap nya. "Lo nggak tau De. Gue kenal sama Kenanth bukan sehari dua hari. Tapi 3 tahun." Rama mengendurkan dasi yang terasa semakin memcekik nya, padahal dia tidak pernah mamasang dasi terlalu kencang. "Gue cuma nggak mau lo kenapa-napa."

Dean merasa sesuatu yang aneh pada Rama. Dean melihat kilatan emosi di mata Rama. "Kemaren lo sakit gara-gara siapa? Gara gara Kenanth kan? Iya?" Sura Rama meninggi, nyaris membentak. Dean kaget. Sebelum nya Rama tidak pernah membentak nya. "Norak banget emang. Udah tau bawa mobil masih hujan-hujanan."

"Lagian besok nya dia langsung anter gue berobat kok, gue juga udah sembuh." Suara Dean sangat pelan dan agak bergetar di ujung nya. Mata Dean sudah mulai panas, tetapi dia menahan air mata agar tidak terjatuh.

"Apa?" Tanya Rama tidak percaya. "Lo masih belain dia?" Suaranya hampir melengking sekaligus serak karena emosi. Jawaban Dean membuat jantung Rama seperti naik ke kerongkongan.

"Lo sadar nggak sih nilai lo semakin turun gara-gara dia?" Lanjutnya.

"Lo kenapa jadi marah nggak jelas gini sama gue? Cuma gara-gara Kenanth?" Dean mulai merasa air mata mengambang di permukaan mata nya. "Kalo misal nya lo nggak suka, fine gue bisa jauhin dia. Lo nggak usah berlebihan kayak gini." Lanjutnya, dengan berusaha mendongak ke atas sambil menyapu sudut mata.

Rasa dingin mulai terasa menjalar di punggung Rama, entah kenapa dia mulai merasa salah.

Rama merasa sangat berlebihan. Ia benar-benar tidak dapat menahan emosi itu. Perdebatan ini berlandaskan rasa suka, dan kecemburuan. Namun Rama menyembunyikan rasa itu agar tidak mendominasi.

"Lo udahkan marah nya? Sekarang lo bisa pulang. Gue cape. Mau tidur." Kata Dean.

"De, gue cuma mau bilang." Rama memegang pundak Dean sambil menepuk nya pelan. "Lo tuh kayak orang yang lagi jalan. Tapi nggak pernah nengok kanan-kiri. Jadi nggak tau di sebelah nya ada orang nggak."

Dean hanya menatap Rama. Aneh. Secepat itu kah emosi nya reda?

Dean hanya diam, nggak tau harus bilang apa. Rama membalik badan, setelah beberapa saat, terdengar suara pintu terbanting.

Dan, Rama menghilang.

Akhir nya, Rama pun pergi.

****

"Ternyata lo bego banget ya? Sumpah lo bego banget!" Kata Dio sambil menyeruput kopi nya yang masih panas. Dio adalah salah satu teman tongkrongan Rama berbeda sekolah tapi masih satu angkatan, dia adalah salah satu teman Rama yang bisa di ajak untuk pergi (nongkrong) selarut ini.

"Demi apapun lo itu bego baget, ma!" Dio geleng-geleng kepala. "Jujur, kalo cewek gue ujug-ujug (tiba-tiba) marah gitu gue juga jadi kesel sendiri." Katanya, setelah Dio dengan senang hati mendengar cerita Rama.

"Terus gue harus gimana?"

"Cara lo salah Ma. Seharus nya lo nggak marah-marah kayak gitu. Kenapa lo jadi lemot gini sih soal cewek? Biasa nya kan lo jadi pakar cinta?" Dio mengambil rokok yang ada di tangan Rama, belum sempat Rama menyalakan api nya rokok itu sudah berpindah kepemilikan.

"Anjir. Untung gue lagi butuh nasehat lo."

Dio terkekeh. "Lo seharus nya cari waktu yang pas buat nyatain perasaan. Jangan buru-buru. Tunggu moment yang pas. Sekarang, lo minta maaf aja dulu ke Dean."

"Caranya?"

Dio geleng-geleng kapala sambil tertawa keras, "Lo itu lucu banget, sumpah. Lo yang sahabatan sama Dean dari kecil, lebih tau Dean daripada gue, terus, kenapa lo masih nanya sama gue?"

Rama berdiri dari duduk nya, berniat untuk meninggalkan tempat itu. Karena percakapan ini tidak begitu berguna bagi Rama. Berniat meninggalkan Dio sendirian yang sudah mati-matian ia suruh untuk datang ke tempat itu, pastinya dengan embel-embel traktir kopi.

"Mau kemana?"

"Pulang."

"Anjir. Gue belum kelar ngomong." Dio merubah posisi duduk nya. "Oh ya, satu lagi. Ini point paling penting dari omongan gue. Lo jangan terlalu ngekang Dean. Gue yakin dengan adanya lo yang selalu di samping Dean, pasti Dean bakal ngerasa batapa penting nya lo buat dia."

"Dan, mungkin Dean akan jatuh hati sama lo. Maybe bukan sekarang. Tapi suatu hari,"

"Jadi, semangat kaka! Ini awal perjuangan!" Dio mengedip kan matanya dengan tampang sok imut, membuat Rama bergidik geli.

"Najis."

Rama pergi meninggalkan tempat itu, menaiki ninja merah nya, mengendarai motor nya kemana pun angin membawa nya, merasakan dingin angim malam yang menusuk-nusuk setiap inci kulit nya.

Masih sama, masih dengan perasaan yang sama. Perasaan yang sudah berkali-kali ia elak. Kini semakin mendominasi dirinya.

Suka pada sahabat sendiri? Apakah itu salah?

Rasa nya, semakin lama ia memendap perasaan itu semakin sakit. Semakin lama ia memendam perasaan itu semakin mamaksa untuk keluar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top