13-Boundless
Satu yang ku ingat, pada kesalahan kedua orang ketiga datang pada hari keempat.
Kita seperti lima yang tak genap.--Alya Lee.
..........
Author
Setengah menggerutu Dean berputar-putar menunggu seseorang di depan rumah nya. Hell, sekarang sudah pukul 07:45 dan Rama sama sekali tak menunjukan batang hidung nya.
Matahari sudah tidak lagi bersembunyi, cahayanya sudah menembus jendela-jendela rumah pagi ini.
Oh iya.
Rama sedang sakit. Kemaren kan dia bonyok. Dean mengutuki diri sendiri sudah setengah jam menunggu tapi tak ada hasil. Gosh.
Dean segera berjalan ke depan perumahan berniat memcari ojek atau angkutan umun, apapun yang bisa mengantar nya ke sekolah tepat waktu. Bajaj juga tak apa-apa.
TIN. TIN.
Bunyi klakson motor sangat kencang, apakan Dean menghalangi jalan? Tidak sama sekali, dia berjalan di pinggir trotoar.
"Buruan naik," suara nya sangat familiar bagi Dean.
Dean menoleh, "Rama? Lo sekolah?" Lalu di jawab anggukan kecil oleh Rama.
"Nggak nggak! Lo masih sakit. Lo nggak boleh sekolah!"
"Lebay." Jawab Rama santai dari atas motor. "Sekarang udah jam 07 kurang 10 menit. Lo mau ikut gue apa nggak?"
"Nggak! Lo ga boleh sekolah dulu ih! Muka lo masih bonyok gitu."
Rama menyalakan mesin motor. "Pertama, bonyok nggak bonyok gue tetep kece. Kedua, Ini tuh biasa buat anak cowok. Ketiga, alasan gue maksain sekolah gue pengen belajar ekonomi." Bohong. Alasan Rama sebenar nya adalah ia ingin mengantar Dean pulang.
Dean memutar mata, "ck. Ekonomi? Sejak kapan lo suka?"
"Buruan atau gue tinggal. Lagian lo taukan?" Dean mengangkat alis tanda bertanya balik. "Jam segini pasti macet banget, dan gue yakin pasti sam--"
"Ya, ya, yaaaa" Dean akhir nya menaiki Ninja merah itu.
"Pegangan dong. Gue ngebut soal nya." Dean mendengus, kemudian melingkarkan lengan nya di perut Rama. Di jarak sedekat ini Rama bisa mencium aroma stroberi dari tubuh Dean.
Wangi dan menenangkan. Dean yang rambut dan baju nya dulu selalu bau matahari, yang kaki nya selalu ditarik-tarik dengan paksa di halaman belakang rumah, kini sudah berubah. Dia sudah bisa merawat diri sendiri. Tanpa bantuan seorang ibu atau pun keluarga. Termasuk Rama.
Entah kenapa dalam posisi seperti ini membuat Rama nyaman. Posisi yang seharus nya biasa. Tapi kali ini membuat jantung nya berdetak lebih cepat. Jika setiap pagi harus seperti ini, mungkin akan memperpendek umur Rama.
Rama sangat merasa beruntung Dean duduk di belakang, sehingga gadis itu tak dapat melihat wajah Rama yang memerah.
..........
Bu Heni sedang menerangi pelajaran ekonomi dengan serius. Membuat semua murid tegang. Dan aneh nya waktu menjadi sangat lama di pelajaran ini, seolah sang waktu tak mau berkerja sama dengan para murid. Dean rajin mengecek jam dinding di belakang kelas. Pukul 09:45.
15 menit lagi istrahat.
"Mel, nanti lo mau jajan apa?"
"Kayak nya siomay deh."
"Yaudah gue juga ah."
Dean kembali mengecek jam dinding. 09:48. Bah! Dari tadi baru lewat 3 menit?
Dean mencoret-coret buku, memainkan pulpen, mencari kesibukan sendiri. Biasa nya kalau seperti itu waktu terasa lebih cepat. Dean pun mengecek jam dinding lagi. 09:52.
Anak perempuan itu mulai frustasi sendiri. Dan dia memilih untuk meletakan kepala di atas meja. Tidur sebentar mungkin lebih baik.
"Itu yang di pojok kenapa? Lagi sakit neng?" Suara Bu Heni.
Otomatis seluruh kelas menoleh ke arah Dean, membuat Dean sebagai pusat perhatian. Dengan cepat Dean menggeleng sambil nyengir kaya orang bego. "Engga bu."
Rama mengok ke belakang, "lo sakit?"
"Laper gue." Dean memasang muka melas. Kemudian Rama tersenyum miring sambil membalik badan.
TETT. TETT.
Yeeee! Dean yakin sekarang pasti teman teman nya sedang bersorak gembira di dalam hati nya masing-masing. Andai kata hati bisa di dengar, pasti kelas ini akan ramai tak se-sepi sekarang.
Saat Bu Heni masih asik dengan papan tulis yang penuh, Rama berdiri dari kursi nya di ikuti dengan Heru dari belakang, membuat semua orang termasuk Bu Heni memberi tatapan 'kenapa?'
Tapi Rama dan Heru menghiraukan tatapan itu keluar kelas.
Setelah kejadian itu, Bu Heni berjalan ke arah meja, membereskan perlengkapan mengajar. "Baiklah, silahkan istirahat."
Woah. Kalimat itu membuat anak kelas yang tadi nya tidur mendadak bangun dan ceria. Sungguh ajaib bukan?
Amel dan Dean yang dari tadi sudah kelaparan langsung berlari ke kantin, seperti biasa mereka membagi tugas. Dean memberi siomay dan Amel mencari meja.
Setelah mendapat 2 piring siomay dan 2 gelas es teh mereka berdua makan dengan lahap. Saking lahap nya belepotan. Kedua perempuan itu emang berantakan.
"Gue makan di sini ya?"
Belum sempat Amel dan Dean menjawab, sepiring nasi goreng dan jus mangga mendarat di meja. Mereka berdua lantas menoleh melihat siapa yang berani-berani nya seperti itu.
"Kenanth?" Suara Amel terdengar ragu-ragu.
"Hai. Gue boleh makan disini kan?" Kenanth tersenyum sangat. Tampan.
"I--iya silahkan." Wajah Amel terlihat memerah. Lihatlah Amel langsung blushing hanya karena sebuah senyuman.
"Gue Kenanth, temen nya Dean." Kenanth memasukan suapan ke 3 nya.
"Gue Amel."
Dean berdehem. Merasa sebagai obat nyamuk disini. "Kayak nya kalian kenalan nya nanti aja deh. Soal nya kalo makan gue butuh ketenangan gitu."
Ajaib. Amel yang biasa nya akan protes kali ini langsung diam. Begitu saja. Tanpa meminta imbalan apapun.
Dan, Kenanth. Nasi goreng nya sudah habis. Dean tidak bisa membayang kan secepat apa dia memakan nya. Dalam waktu kurang dari 10 menit sepiring nasi goreng itu sudah habis. Hebat.
"Gue duluan ya." Amel dan Dean lalu mengangguk.
"Hati-hati ya Ken." kata Amel sambil berdadah tak lupa dengan senyuman manis khas Amel.
Kenanth membalas dadahan Amel. "Oh iya. Dean jangan lupa nanti pulang bareng gue ya." Kenanth berlalu meninggalkan Amel dan Dean di kantin.
BYURRR.
Es teh yang sudah berada di mulut Amel berpindah ke wajah Dean. Ergh. Dengan pasrah tanpa komentar apapun Dean mengambil tisu di kantong baju lalu mengelap wajah nya yang basah. Amel melotot sambil menepuk-nepuk dada nya.
"Lo? Sama Kenanth? Pulang bareng?" Nada suara Amel bukan seperti orang bertanya, malahan seperti orang mengejek.
"Yup."
"Uhukk uhukk." Amel menarik gelas es teh yang masih ada di tangan Dean. Untung Dean sabar.
"Lo pasti bercanda kan?" Amel bertanya sambil mengelap bibir sisa muncratan nya.
"Ngapain gue bercanda?" Dean memasang mimik bingung. "Bukan salah gue lagi lo keselek, malahan gue jadi korban." Dean memamerkan anak rambut yang agak basah karena muncratan Amel.
"Jangan bilang, lo suka lagi sama Kenanth." Tanya Dean.
"Dih apaan?" Amel kembali berlagak sok cantik khas nya, sambil mendongak kan dagu. "Gue cuma kagum doang sama dia. Bukan suka. Gue ingetin, suka sama kagum itu beda."
"Yayaya. Serah. Gue pusing sama omongan lo. Terus kenapa?"
Amel menegakan badan, lalu menatap mata Dean lekat-lekat mencari sesuatu di dalam nya. "Lo yakin, cuma temenan doang sama Rama?"
"Iya lah. Kenapa emang?"
"Lo nggak ada rasa gitu sama dia?"
"Enggak."
"Sama sekali?"
"Iya." Dean menyipitkan mata, sekarang gantian Dean yang memberikan tatapan mengintimidasi. "Tunggu. Maksud nya apaan sih?"
"Enggak. Gapapa. I'm fine." Amel nyengir, menampilkan sebuah gingsul di gigi nya.
"Bohong."
"Bener. Nggak ada apa-apa Deee."
"Bohong! Pasti ada apa-apa!"
"Enggak!"
"Bohong!"
Amel mendengus. "FINE! Lo emang nggak mau kalah ya De!"
Sementara dari sebrang meja Dean masih memberikan tatapan mengintimidasi kepada Amel.
"Berhenti natap gue kayak gitu!" Oke. Kali ini Dean merubah ekspresi nya menjadi lembut. Ralat menjadi ramah.
"Jadi gini, menurut film yang gue tonton. Kalo cewek sama cowok sahabatan mereka nggak akan bisa selama nya jadi 'sahabat'."
Sebelum protes karena Dean tidak mengerti apa maksud nya, buru-buru Amel melanjutkan kalimat nya. "Maksud nya, kayak salah satu di antara mereka pengen lebih dari sekedar sahabat. Kayak pacaran, nikah bareng, kaya gitu deh. Ya semacem friendzone lah. Wait, apa jangan jangan Rama suka sama lo lagi De? I know it! Ya Rama suka sama lo..."
Dean tidak berkomentar apapun mendengar Amel yang terus nyerocos. Sok tahu sekali Amel. Bahkan kalau Rama naksir Dean seharus nya Dean sudah tahu dari dulu. Rama emag baik sama Dean, kerena sejarah mereka, karena apa yang terjadi pada Gilang, dan juga Dian ikut pergi. Jadi, sisa mereka berdua. Karena itu, dia baik. "Lo tau banget kenapa Rama baik, mel."
"Nggak. Gue nggak tau, sumpah." Amel meneguk es teh Dean. "Gue nggak tau alasan kenapa Rama mau nemenin lo kapan pun, siap di telpon lo kapan aja, mau nganter dan jemput lo kemana aja, bahkan rela begadang saat lo sakit. Gue nggak bisa nemuin alasan yang berarti untuk itu."
Dean terkekeh. "Alasan nya karena kita sahabatan, mel."
"Ya, kan bisa aja. Kalo misalnya Rama suka sama lo? Atau tiba-tiba dia ngelamar lo?."
"Apaan sih? Kok lo jadi dangdut gini?" Dean berdiri dari bangku kantin. "Gue sama Rama tuh cuma sahabat. Dan selama nya bakalan tetep sahabat. Lo sih kebanyakan nonton film."
"Siapa yang tau takdir orang nanti nya sih De?"
"Tau ah." Dean pergi meninggalkan Amel yang masih duduk manis di bangku kantin.
Dean ingin cepat-cepat pulang sekolah. Ingin pulang bersama Kenanth. Ingin cepat-cepat bertemu lagi. Ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama Kenanth. Rencana nya pulang sekolah sekarang Dean ingin mengajak Kenanth mampir di kedai eskrim sebentar. Entah apakah Kenanth mau atau akan menolak.
"Mau enggak nya itu urusan nanti. Yang penting gue udah usaha." Batin Dean.
..........
Aroma asap rokok dan sisha tercium jelas di caffe ini, membuat paru-paru sesak bagi siapa saja yang tidak terbiasa dengan benda berasap itu. Anak laki-laki itu sengaja memilih meja di dekat jendela. Agar ia bisa memandangi hujan yang turun pada sore ini. Memandangi setiap bulir air hujan yang jatuh ke bumi. Caffe ini terasa sangat dingin, percampuran antara pendingin ruangan dan udara yang memang sedang dingin.
Rama membisikan sebuah harapan. Lalu menghisap rokok nya dalam-dalam, kemudian menghembuskan asap nya, menghisap lalu menghembuskan lagi. Pikiran nya tetap kepada gadis kecil yang selalu di temani nya beberapa tahun ini. Faktanya tadi Dean menolak pulang bersama Rama, dia lebih memilih untuk pulang bersama Kenanth.
"Ma, liat deh itu Deandra kan?" Salah satu teman Rama membuyarkan lamunan nya.
"Gila. Bareng cowok man."
"Lo lagi marahan sama dia?"
Rama menghembuskan rokok, dan membiarkan asap nya membubung di atas mereka. "Mana sih anjing?"
Salah satu teman Rama menunjuk jendela ke arah parkiran, yang jelas-jelas ada dua orang anak sma yang masih memakai seragam sekolah memakan eskrim sambil berlari-lari di bawah hujan. Yang perempuan terlihat sangat bahagia dan yang laki-laki ikut tertawa bermain di bawah hujan.
Melihat peristiwa itu, hati Rama seperti tersayat belati. Perih dan sakit. Peristiwa itu terlalu menyayat hati.
Karena kejadian itu, Rama menyadari satu hal. Perasaan yang berkali-kali ia elak, kini terjawab.
Dia menyukai Dean.
"Lo kenapa sob? Nyesel liat Dean sama orang lain?" Kalimat itu membuat pandangan mata Rama berpindah.
"Maksud lo apaan hah?"
"Lo suka kan sama Dean? Dan lo baru sadar sekarang," Kata seorang laki-laki bernama Dio. "Ternyata lo tuh bukan cuman payah dalam pelajaran. Tapi juga payah tentang perasaan."
"Maksud lo apaan njing?" Rama menggertakan rahang nya dan memukul meja. Membuat semua tamu di caffe itu menoleh kearah nya.
Dua orang anak laki-laki yang duduk di sebelah Rama ikut berdiri, memegang tangan Rama yang sudah mengepal kan sebuah bogeman.
Dio terlihat tenang di sebrang meja melihat tingkah Rama yang emosional. "Santai sob. Nggak semua bisa di selesain pake otot." katanya santai.
"Iya Ma, selow aja kaya di pulau, santai kayak di pantai." Heru menimpali.
"Hasil identifikasi gue, lo emang suka sama Dean." kata Dio.
Rama melumat puntung rokok nya ke asbak, lalu tersenyum miring. "Sok tau. Tai.?"
"Rama. Gue tau lo ganteng, mantan lo banyak. Tapi, apa lo sadar mantan-mantan lo itu mutusin lo gara-gara lo lebih perhatian dan punya banyak waktu buat Dean."
"Karena gue sama Dean itu sahabatan." Rama berusaha meyakinkan diri sendiri. Matanya menatap ke luar jendela masih kepada anak perempuan yang tertawa itu. Akankah Dean melihat Rama disini? Akankah Dean merasakan kehadiran Rama? Pasti tidak.
"Bukan," Dio mengambil rokok dari dalam bungkusan kotak lalu menyalakan apinya. "Gue nggak pernah liat lo sedih pas putus sama mantan lo. Tapi gue sering liat lo sedih pas betantem sama Dean."
Rama menyerngitkan dahi nya, ia hanya membeo.
"Kayak sekarang. Gue yakin, lo pasti kesel banget liat mereka?" Dio menunjuk Dean dengan dagu nya. "Mata lo nggak bisa boong. Jelas-jelas lo cemburu." Mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Dio, Rama merasakan sesuatu yang menggumpal di dalam hati nya.
"Terus gue harus gimana?"
"Lo harus berani bilang. Masalah reaksi Dean nanti nya, itu urusan belakangan."
Rama terdiam. Ia menatang parkiran yang sudah kosong. Tidak ada Dean, seperti nya dia sudah pulang.
Seandainya, saat ini Rama yang mengantar Dean pulang. Seandainya, Rama yang melihat Dean tertawa lepas dibawah hujan. Seandainya, Rama berani menyatakan perasaan itu.
Seandainya, Rama bisa mengulang waktu. Menghapus semua kata 'seandainya' dari semua bahasa di dunia.
Pasti semua akan terjadi seperti kemauan manusia. Tak ada tangis dan cinta pertepuk sebelah tangan di dunia
Seandainya...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top