10-Boundles
It too hurt.--Deandra Avilla
..........
Author
"Rama lagi mandi om." Dean tersenyum. Lagi-lagi berusaha tersenyum. Dan Om Dave hanya mengangguk.
Terjadi keheningan lagi.
Atmosfer di rumah ini begitu sesak dan sempit. Udara nya juga sangatlah dingin bercampur dengan aroma tanah. Menusuk-nusuk masuk kedalam pori-pori kulit. Membuat merinding siapa saja yang berada di sana.
Dean kembali menatap lamat-lamat wajah tante Mira. Wajah yang dulu pernah Dean anggap sebagai ibu nya sendiri, keluarga kedua. Sekarang berubah Dean merasa bahwa mereka adalah kerabat jauh yang datang untuk bertamu.
Wajah tante Mira tidak banyak berubah. Seperti biasa nya dia terlihat cantik dan sangat apik.
Lihat saja di usia nya yang sudah berumur dia tetap memperhatikan penampilan, rambut yang sudah mulai memutih ditata dengan rapih menggunakan sanggul, ujung mata nya sudah menampilkan beberapa kerutan, kulit pipi nya mulai kendur, tatapan matanya kosong. Menatap lurus ke arah meja. Bibir nya tanpa ekpresi. Dingin dan kaku. Mati. Tante Mira seperti orang mati.
Dean tersadar bahwa tiga tahun ini batin nya di siksa oleh orang yang udah mati. Orang yang memilih mati.
"Rama kebiasaan ya? Dari dulu mandi nya lama." Kata om Dave memecah suasana yang membuat Dean tercekik. Om Dave berkata dengan tangan yang di letakan di atas sandaran sofa.
Dean jadi teringat, dulu sewaktu mereka main ber-4. Om Dave suka membacakan beberapa cerita dengan duduk seperti 'itu' sambil meminum kopi dan memakan camilan yang di buat tante Mira. Sedangkan mereka ber-4 duduk di bawah mendengarkan serius setiap kata yang keluar dari mulut om Dave.
"Iya om."
Selang beberapa menit. Tampak seorang anak laki-laki berbaju abu-abu dan celana selutut berjalan menuju arah mereka. Rambut nya masih basah dan sangat tercium aroma maskulin khas cowok dari tubuhnya.
"Ayah, ibu, udah lama?" Rama agak berbungkuk mengambil tangan om Dave dan tante Mira untuk di cium. Kemudian Rama memilih duduk si samping Dean.
"Enggak kok." Jawab om Dave. Bohong. Jelas saja mereka sudah lama di ruangan ini.
Untuk kesekian kali nya suasana hening lagi.
Karena tak tahan dari kecanggungan ini Dean angkat bicara, "Apa kabar om tante?"
Tante Mira menoleh ke arah Dean, melihat Rama yang sudah ada di samping nya. Seolah-olah baru sadar akan kehadiran Rama. "Ya, kami baik. Apa kabar Dian dan papah mu?"
"Dian dan papah masih di Bandung tante."
Di balas dengan anggukan lagi oleh tante Mira.
"Kamu tidak menyusahkan anak saya, kan?" Suara tante Mira yang dingin dan tanpa ekpresi nyaring terdengar.
Kata-kata itu membuat Dean dan Rama saling berpandangan.
"Ma--maksud nya?"
"Kamu pasti mengerti Dean. Kamu sudah terlalu sering menyusahkan saya!"
Sialan. Sialan.
Dean menggigit bibir bawah nya tanpa sadar dari tadi dia menahan napas. Dean mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini.
"Kamu sudah dewasa Dean. Seharus nya kamu bisa menjaga diri sen--"
"Bu. Cukup." Rama memotonng kalimat tante Mira. Dean merasa tangan Rama mengenggam tangan Dean.
"Diam Rama!"
Helaan napas kasar terdengar dari om Dave, raut wajah nya berubah menjadi tidak nyaman.
"Apa kamu sadar kamu terlalu seri--"
Dean benar-benar muak dengan semua percakapan ini. Percakapan yang mengarahkan diri nya sebagai 'tersangka'. Dean tak mau mendengar nya lagi.
No more.
"Maaf kan saya jika terlalu sering menyusahkan anda. Sebisa mungkin saya tidak menyusahkan anda lagi." Tatapan tante Mira tajam, menatap Dean dari atas sampai bawah. Sepertinya dia tidak suka karena Dean memotong kalimat nya.
Dean kembali menahan nafas dan menghembuskan nya saat tante Mira menjawab, "Bagus," dan "Syukurlah kalau kamu sadar."
Dean berdiri. Reaksi dadakan itu membuat mereka bertiga kaget.
"Dean pergi dulu," dengan mengumpulkan keberanian dari dalam diri Dean berani menatap tante Mira mata yang kosong dan dingin, "Sekali lagi saya minta maaf."
Lalu Dean pergi meninggalkan ruangan terkutuk itu. Dean benar-benar tidak ingin lagi berada di antara 'mereka'. Tanpa sadar air mata sudah terjatuh di pipi mulus nya.
Dean terus berlari menuju rumah nya. Memilih untuk menangis di teras rumah. Menatap hitam nya langit malam. Bercerita kepada alam betapa rapuh nya dia sekarang.
..........
Selang lima belas menit Dean melihat mobil berwarna hitam berjalan melewati rumah nya. Dean hafal itu mobil milik mereka kemudian Dean merasa seseorang menarik tubuh nya kedalam pelukan. Dia Rama. Pasti Rama.
Dean membiarkan air mata itu luruh kata-kata tak pantas dari mulut tante Mira masih terngiang di telinganya. Mulut nya tak berhenti mengumpat, dia benar-benar marah.
"Udah De, cengeng banget sih." Kata Rama, suara isakan Dean semakin kencang.
Dean membiarkan tangis nya berubah menjadi raungan keras, membiarkan gumpalan emosi itu keluar, semakin erat Dean membiarkan tubuh nya dalan pelukan Rama. Membiarkan nya menahan tulang-belulang yang rasa nya sudah patah, membiarkan kaus Rama yang sudah mulai basah, membiarkan tangis nya pecah saat itu juga.
"Apa kecelakaan itu murni gara-gara gue?" Suara Dean terdengar agak serak, akibat menangis.
Rama mengusap rambut Dean, seperti ayah kepada anak nya, "Shh, engga Dean, itu takdir."
Dean melepaskan pelukan itu, menyenderkan punggung di tiang teras rumah, merasakan sentuhan-sentuhan angin malam. Yang nggak lebih dingin dari pada rumah Rama. Terbesit sebuah pertanyaan yang sudah lama membuat Dean penasaran,
"Ma?"
"Hm?"
"Kenapa nggak ikut pergi?"
Rama menyergitkan dahi nya membuat dua alis tebal milik nya bertautan, bingung dengan pertanyaan Dean, "pergi? Lo marah sama gue?"
Buru-buru Dean menggelengkan kepala. "Enggak ma, enggak sama sekali."
"Terus?"
"Kenapa lo mau ngurusin gue? Nemenin gue? Lo kasian sama gue?"
Rama tergelak. "Kasian? Kenapa gue mesti kasian?" Tangan Rama merangkul bahu Dean.
"Terus kenapa?"
"Ya... Gue mau aja."
Dean menatap mata hitam Rama lamat-lamat. "Semua itu pasti ada alasan nya Rama."
"Tapi apa lo harus tau alasan nya apa?"
Dean mengangguk.
"Karena gue mau. Gue nggak mau liat lo nangis kayak gini mulu Dean," Rama menatap langit malam yang gelap dengan taburan beberapa bintang dan bulan yang terlihat kecil dari sini. "Dan kalo lo tanya kenapa gue nggak mau liat lo nangis, gue nggak tau jawaban nya."
"Sekarang gini deh," Rama mengusap lembut pipi kanan Dean yang basah menghapus sisa-sisa air mata, "lo berhenti nangis dong De, gue nggak mau liat lo nangis."
"Lo liat ke langit deh." Rama memandang langit lalu di ikuti oleh Dean. "Udah?"
Dean menggangguk mantap.
"Apa yang lo liat."
"Hitam."
"Hah, apaan yang item?"
"Langit nya."
"Seharus nya bukan itu yang lo liat, ya walaupun bener langit nya item." Tangan Rama menunjuk langit ke arah bintang bintang. Entah bintang malam ini lebih banyak dari pada biasa nya. "Lo liat ada bintang nggak?"
"Liat. Kenapa?"
"Lo tau nggak artinya apa?" Belum sempat Dean menggeleng Rama sudah melanjutkan kalimat nya, "Bulan dan bintang di ciptain sebagai pengingat, bahwa di saat yang paling gelap pun masih ada harapan."
Dean mengangkat sebelah alis, bingung dengan pemikiran absurd Rama.
"Oke oke lo pasti nggak ngerti kan? Abaikan yang gue omongin."
Dean kembali bersender pada pundak Rama. "Ma, lo tau nggak?"
Sekarang gantian Rama yang menggeleng.
"Fakta nya adalah, gue nggak bisa liat bintang. Semua nya item."
"Lah kenapa?"
"Gue nggak pake kacamata."
"Si bego." Rama mencubit gemas pipi Rama.
Mereka berdua pun tertawa di bawah langit malam. Melupakan semua kesedihan hari ini.
Yang penting sekarang mereka bersama. Bersama Dean, Rama merasa lebih baik begitu pun sebalik nya. Tak peduli apapun masalah yang telah menimpa gadis nya, Rama tetap setia. Setia berada di samping nya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top