Takdir 9. Terlambat

Ketika mendapati satu pesan masuk ke akun Instagramnya, Elice menyadari bahwa ia belum melakukan semuanya. Ia mungkin sudah menukar nomor ponselnya, tapi ia melupakan hal yang serupa dengan akun sosial medianya.

Maka setelah Elice membaca pesan yang sama dari orang yang sama pula, ia pun dengan segera menghapus akunnya. Tidak hanya Instagram, alih-alih juga Facebook dan Twitter.

Kumohon, Ariel. Antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Jadi, jangan pernah hubungi aku.

Itu tentu saja tidak Elice katakan langsung pada Ariel. Hanya berupa harapan yang ia lirihkan dalam hati.

"Kau sudah selesai?"

Suara Widuri membuat Elice menoleh. Pada pintu kamarnya yang membuka dan menyilakan untuk sang ibu melihat ke dalam. Mendapati bahwa putrinya masih sibuk berkemas. Tampak dari beberapa pakaian yang menyebar di atas tempat tidur.

Elice menggeleng. "Mungkin sebentar lagi," jawabnya. "Ternyata aku memiliki barang yang lebih banyak dari yang aku pikirkan."

Semula Elice mengira mengemas barang-barangnya akan menjadi hal yang mudah untuk dilakukan. Tapi, ternyata malah sebaliknya. Dan itu membuat ia geleng-geleng kepala. Sepertinya ia membutuhkan waktu yang lebih panjang lagi.

"Setiap wanita memang selalu begitu. Tak jarang kita mengeluh karena tidak memiliki gaun, tapi nyatanya justru gaun adalah pakaian yang mayoritas memenuhi lemari."

Perkataan Widuri membuat Elice tertawa tanpa sadar. Ia menyisihkan setumpuk pakaiannya ke sisi tempat tidur. Memberikan tempat bagi dirinya dan sang ibu untuk duduk di sana. Mungkin ia perlu menarik napas sejenak. Pinggangnya lumayan terasa pegal.

"Dan Mama bagaimana? Sudah selesai?"

"Berkemas?" tanya Widuri yang langsung disambut anggukan Elice. "Tentu saja sudah. Di usia ini tidak banyak perlengkapan yang Mama miliki."

Lagi-lagi, Elice tertawa. Dan itu membuat Widuri tertegun untuk beberapa saat. Sepertinya ia menyadari bahwa ada yang berbeda pada putrinya.

"Rambutmu bagus."

Namun, Widuri tahu. Bukan karena warna rambut yang berbeda itu yang membuat Elice tampak lain di matanya. Entah bagaimana mengatakannya, hanya saja Widuri jelas menyadari hal tersebut. Ia melihat Elice yang tampak lebih ringan dari biasanya.

Walau belum bisa Widuri katakan Elice kembali lagi seperti Elice lima bulan sebelumnya, tapi ia bisa merasakan perbedaannya. Entah apa penyebabnya, ia tidak tahu. Hanya saja Widuri berterima kasih. Untuk apa pun atau mungkin siapa pun yang membantu Elice mendapatkan senyumnya kembali, ia mensyukurinya.

Karena ketika Widuri mendapati Elice berinisiatif untuk mengajaknya pindah, ia yakin. Elice sudah menentukan masa depannya. Yaitu, melangkah kembali. Berusaha untuk meninggalkan masa lalu gelap itu.

Elice meraba rambutnya. Tersenyum dan mengangguk setuju.

"Aku jadi menyesal. Seharusnya dari lama aku mewarnainya."

Widuri turut menyentuh rambut Elice. Merasakan kehalusannya dan melihat lebih dekat lagi. Seolah ingin menuntaskan rasa penasaran matanya akan warna baru rambut sang putri.

"Memang begitulah penyesalan. Terlambat kita sadari."

Elice membenarkan hal tersebut. Ada banyak hal yang membuat ia menyadari bahwa penyesalan memang selalu datang setelah semua terjadi. Setelah semua telah terlewati.

"Tapi, aku harap keputusanku kali ini tidak membawaku ke penyesalan berikutnya."

Ada harapan yang tersemat dalam ucapan Elice. Ia berdoa di dalam hati. Agar kenekatan yang ia ambil tidak akan membuat kehidupannya dan Widuri semakin terpuruk. Kalau itu sampai terjadi, entahlah. Elice pikir ia tidak akan bisa bertahan lagi. Ia yakin ia pasti akan menyerah.

Widuri meraih tangan Elice. Membelainya dan menggenggamnya dengan lembut. Menarik Elice untuk melihat pada sang ibu.

"Tidak apa-apa. Menyesal sekali atau dua kali, itu tidak apa-apa," ujar Widuri menenangkan. "Selama kita masih ada hari esok, semua akan baik-baik saja."

Sekarang memang hanya itu yang Elice miliki. Harapan akan hari esok dan Widuri yang tetap menerima dirinya bahkan setelah penghinaan yang telah ia berikan. Dan di sanalah Elice merasakan beban yang sebenarnya. Ia tidak ingin melakukan kesalahan yang sama. Ia harus memastikan hal tersebut.

"Karena kita pergi mendadak ..."

Widuri menarik napas dalam-dalam. Lantas matanya melihat ke sekitar kamar Elice. Walau pada kenyataannya, ia tak hanya mengamati ruangan itu. Alih-alih rumah yang telah ia tempati lebih dari tiga puluh tahun lamanya. Semua kenangan manis dan pahit terekam di dalam sana. Termasuk memori terakhit bersama dengan sang suami.

"... sepertinya rumah kita belum mendapatkan pemilik dalam waktu dekat."

Elice tahu rasa berat yang sebenarnya menggelayuti Widuri. Tapi, ibunya menahan itu. Hanya saja betapa pun ia mencoba untuk menutupinya, Elice sadar.

Kali ini Elice yang balik menggenggam tangan Widuri. Ia tersenyum saat sang ibu melihat padanya.

"Kita tidak perlu menjual rumah ini, Ma."

"Tidak perlu?"

Elice mengangguk. "Mungkin suatu saat nanti kita akan kembali. Siapa yang tahu bukan?" tanyanya tanpa menunggu jawaban sang ibu. "Saat kita kembali, aku yakin. Tidak akan ada tempat lain yang lebih tepat untuk kita datangi selain rumah ini."

"Tapi---"

Menjual rumah itu adalah pilihan Widuri. Karena jelas kepindahan mereka membutuhkan uang yang tidak sedikit. Uang dari penjualan itu bisa menjadi pegangan hidup mereka untuk beberapa saat.

"Tenang, Ma. Percaya padaku."

Dengan cepat Elice memotong perkataan Widuri. Ia menatap mata sang ibu dan berusaha meyakinkannya.

"Ini harta terakhir yang Papa tinggalkan untuk kita. Dan kita akan menjaganya sebisa kita."

Karena ketika Widuri akhirnya pergi dari kamar Elice, maka pintu itu menutup. Memberikan kesempatan bagi Elice untuk menarik laci di meja riasnya. Ada satu kotak perhiasan di sana. Berisikan satu set perhiasan mewah yang terdiri dari kalung, anting, dan juga cincin. Yang tampak berkilau ditimpa cahaya lampu.

Itu adalah hadiah ulang tahun yang Ariel berikan padanya. Sekitar delapan bulan yang lalu. Waktu yang sepertinya tepat untuk menjadi pemicu atas semua kekacauan itu.

Menarik napas dalam-dalam, Elice yakin bahwa dirinya memang harus melenyapkan semua jejak Ariel di dalam kehidupannya. Termasuk bila itu menyangkut hadiah super mahal yang pernah ia dapatkan. Dengan potongan berkelas dan berlian berharga, tentu saja tidak sedikit uang yang akan Elice dapatkan.

Mungkin itu terkesan memalukan. Menjual barang pemberian pria yang sekarang ia benci sebagai pegangan memulai kehidupan baru. Tapi, Elice mengesampingkan hal tersebut. Bagaimanapun juga itu lebih masuk akal baginya ketimbang membiarkan Widuri melepaskan satu-satunya harta peninggalan Prastowo.

Dan tentunya, Elice tidak akan salah mengira bahwa uang hasil penjualan perhiasan itu mampu membuat mereka bertahan. Karena setidaknya lima ratus juta rupiah masuk ke rekening banknya beberapa hari selanjutnya.

Keesokan harinya, Elice dan Widuri menatap rumah mereka untuk yang terakhir kalinya. Tempat di mana nyaris semua kehidupan mereka selama ini berlangsung. Tempat yang akan mereka tinggalkan sebentar lagi.

Elice sudah menyerahkan rumah itu pada orang terpercaya. Sebatas dikontrakkan adalah jalan akhir untuk keduanya. Dengan perpanjangan melalui persetujuan kedua belah pihak di tiap tahunnya. Bagi Elice itu adalah pilihan yang tepat.

Membuang napas panjang, Elice merengkuh Widuri. Ia tahu perasaan ibunya sangat berat kala itu. Tapi, ia pun merasakan hal yang sama.

"Ma."

Widuri berpaling. Melihat pada Elice dengan mata yang sedikit berembun. Tapi, ia tampak tabah. Tidak mengatakan apa-apa selain tersenyum. Dan mereka kemudian pergi. Dengan taksi yang langsung membawa mereka menuju ke bandara. Tepat sepuluh menit sebelum satu mobil berhenti di depan rumah itu.

Masuk ke dalam seri sedan dan dibalut warna apline white, mobil itu jelas merupakan kendaraan mewah untuk masyarakat kelas atas. Hal yang lebih dari cukup untuk memberikan informasi cuma-cuma bahwa pemiliknya bukanlah orang sembarangan. Dan kenyataannya memang begitu.

Adalah seorang pria yang turun dari sana. Bertubuh tinggi dengan rambut pirang gelap. Mengenakan stelan jas mahal yang begitu pas di tubuhnya yang proporsional. Ia tampak melangkah seraya melepas kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya. Mendekat pada pagar rumah itu. Melihat pada tulisan yang terpampang di sana.

Rumah dikontrakkan. Silakan hubungi 0811 0123 456.

Pria itu sontak memejamkan mata. Rahangnya mengeras dalam desakan gemuruh yang membuat dadanya terasa sesak seketika.

Elice, kumohon. Jangan lakukan ini.

Karena ketika geraman itu tak mampu ia tahan, ia mengeluarkan ponselnya. Tapi, ia mendapati bahwa tak ada satu pun yang bisa ia lakukan. Nomor Elice telah berganti. Sosial medianya pun telah lenyap. Dan satu-satunya harapan baginya untuk bisa menemui wanita itu, hilang. Tepat ketika ia mengetahui bahwa Elice dan ibunya telah pergi. Tanpa ada yang tahu ke mana.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top