Takdir 8. Penggalan

Berbicara mengenai Pacific Energy, tentu saja itu berarti membicarakan nilai seharga lebih dari seratus triliun rupiah. Benar-benar angka yang tidak sedikit bukan? Dan seharusnya, hanya dengan melihat deretan angka nol itu saja sudah cukup membuat mata Garett bewarna hijau. Tapi, apa? Nugroho malah mendapati hal yang sebaliknya. Ia justru melihat bagaimana Garett yang sama sekali tampak tidak peduli dengan betapa besarnya perusahaan yang bisa jatuh ke tangannya itu. Sungguh tidak masuk akal.

Pacific Energy, seperti namanya, ini adalah perusahaan yang berpusat pada pengadaan energi dalam skala besar. Korporasi yang berdiri tegak di bidang penambangan batu bara dan memiliki kantor pusat di Jakarta. Sudah memiliki tiga anak perusahaan dan semakin memantapkan diri sebagai perusahaan pertambangan yang memiliki nama besar. Maka tentu saja bukan hal yang mengherankan bila perusahaan itu memberikan polemik yang tidak main-main di antara anggota keluarga.

Nugroho tahu dengan pasti. Menjalani hidup selama ini dalam keadaan yang tidak damai adalah satu-satunya alasan paling kuat mengapa hingga setelah empat tahun berlalu dari meninggalnya Adipura, Garett tetap tidak ingin menerima harta warisannya. Ia tidak ingin harta itu membuat dirinya kembali merasakan kegaduhan yang selama ini ia hindari. Tapi, perkataan Nugroho membuat Garett tertegun.

"Aku yakin, Nyonya pasti akan senang bila melihat putra yang ia besarkan dengan penuh perjuangan berada di titik tertinggi."

Menyedihkan, tapi perkataan itu menancap dengan kuat di benak Garett. Bahkan ketika pada akhirnya Nugroho telah pergi dari ruang kerjanya, ia mendapati suara itu terus mengiang di telinganya. Berulang kali.

Menyadari hal tersebut, Garett kemudian tersenyum muram.

"Sepertinya Pak Nugroho tahu dengan pasti panah apa yang bisa ia luncurkan."

Karena Garett lantas mendapati dirinya yang tertarik ke masa lalu. Di mana kehidupan yang berat itu membuat ia dan Nurmala nyaris seolah tidak bisa hidup lagi. Dibiarkan hidup berdua saja. Tanpa ada suami yang benar-benar menjadi suami lantaran status wanita pilihannya yang tidak sederajat.

Begitulah. Hingga pada akhirnya, mengenyahkan pandangan keluarga besar, Dayanti bertindak setelah suaminya meninggal. Bagaimanapun juga, ia merindukan sosok mungil seorang cucu. Yang nahas hanya bisa ia dapatkan dari Nurmala.

Tak apa, begitulah pikir Nurmala kala itu. Lagipula hati wanita mana yang tidak akan luluh ketika ada bocah berusia lima tahun yang memanggil dirinya 'Oma' dengan ekspresi mungil? Tidak ada sepertinya. Termasuk di dalamnya adalah Dayanti. Dan tidak butuh waktu lama bagi dirinya untuk jatuh cinta pada pesona Garett.

Hanya saja Garett bisa menyadari dengan jelas bahwa kehadiran dirinya tetaplah asing di keluarga Hardiyata. Beberapa orang dengan jelas menunjukkan sikap rendah padanya. Dan itu adalah makanan sehari-hari baginya. Yang harus ia telan walau ia tak suka.

"Kau sudah pulang?"

Ketika menjelang malam itu Garett pulang, ia mendapati hal seperti biasanya terjadi. Ada Nurmala yang menyambut kedatangannya. Membuka sepasang tangannya dan memberikan satu pelukan singkat pada putranya itu.

Garett memberikan ciuman samar di pipi sang ibu.

"Baru saja," jawab Garett. "Apa makan malam hari ini?"

Mengikuti langkah kaki putranya, Nurmala yang masih tampak segar di usianya yang sudah menginjak angka lima puluh dua tahun itu menjawab.

"Ada sapi lada hitam kesukaanmu."

Manik Garett tampak membesar. Wajah tampan pria itu memunculkan ekspresi antusiasnya tanpa malu-malu. Dan itu membuat Nurmala tertawa renyah.

"Segera mandi dan Mama akan menunggumu untuk makan malam."

"Tentu saja."

Tak membuang waktu, Garett langsung melesat menuju ke lantai atas. Di mana kamarnya berada. Segera mandi dan mengenakan pakaian santai, untuk kemudian tak membuang waktu ia pun kembali bergabung dengan Nurmala.

Mungkin satu-satunya hal yang bisa membuat Garett bernapas dengan lapang adalah tempat di mana ada Nurmala di dekatnya. Ketika ia tahu bahwa ibunya itu dalam keadaan yang baik-baik saja. Sehat dan tampak bahagia.

"Sabtu malam besok ..."

Garett membuka perbincangan di meja makan itu. Setelah melalui beberapa kunyahan yang amat nikmat menyentuh saraf perasanya. Ia menatap sang ibu.

"... Mama bisa menemaniku bukan?"

Nurmala melirik sekilas pada putranya itu. Sekelumit senyum kecil tampak timbul di wajahnya yang teduh ayu.

"Sampai kapan Mama harus menemanimu untuk setiap pesta yang kau hadiri, Garett?" balas Nurmala bertanya. "Seharusnya itu menjadi tugas wanita lain."

Garett mendengkus geli. Tampak santai saja ketika tangannya menambah lauk ke dalam piringnya. Ehm ... kalau dipikir-pikir, sepertinya itu sudah yang kelima kalinya ia lakukan.

"Sampai masa itu tiba, anggap saja ini adalah kehormatan untuk Mama. Tidak banyak wanita di luar sana memiliki putra seperti aku."

Nurmala buru-buru menaruh sendok dan garpu yang ia gunakan ke atas piring. Ia tertawa. Dan Garett menikmati pemandangan itu. Bahkan tanpa sadar, ia pun turut tersenyum lebar.

"Oh, ya Tuhan. Aku memang beruntung sekali."

Mengatakan itu dengan sisa tawa di bibirnya, Nurmala mengulurkan tangan. Mengelus sekilas tangan sang putra.

"Tapi, mau seberapa beruntungnya Mama, tetap saja. Mama ingin melihat ada wanita lain yang merasakan keberuntungan ini."

Garett memutuskan untuk fokus kembali pada potongan sapi di piringnya. "Jangan terlalu berharap, Ma."

"Bukan terlalu berharap. Hanya saja Mama tidak percaya kalau kau tidak dekat dengan wanita mana pun. Itu mustahil."

"Mustahil bukan berarti tidak mungkin. Nyatanya ... memang itulah yang terjadi."

Balasan Garett membuat tawa di wajah Nurmala benar-benar hilang total. Sekarang alih-alih melanjutkan makannya, wanita paruh baya itu tampak diam. Sepertinya ia tengah berpikir.

"Ehm ...," dehem Nurmala samar. Tapi, nyatanya berhasil menarik perhatian sang putra. "Bagaimana kalau Mama mengenalkanmu dengan seorang wanita?"

Wajah Garett sontak berubah. Erangan pun langsung terdengar menggetarkan tenggorokan pria itu. Ia menggeleng.

"Tidak, Ma. Aku tidak ingin ikut kencan buta apa pun. Kumohon."

Nurmala tidak menyerah. "Kau tidak harus menerimanya. Tapi, tidak ada salahnya mencoba bukan?"

"Aku sibuk, Ma. Sepertinya aku tidak punya waktu luang untuk menghadiri kencan buta apa pun."

"Sibuk?"

Nurmala seperti memerlukan waktu untuk memahami satu kata itu. Lantaran ia yang lantas teringat dengan panggilan yang ia dapatkan beberapa waktu yang lalu. Berasal dari seseorang yang kerap kali menghubunginya dan membicarakan soal harta warisan yang seharusnya dimiliki oleh Garett.

"Apa itu berkaitan dengan Pak Nugroho?"

Kunyahan Garett berhenti. Pertanyaan Nurmala membuat ia menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk tidak memberikan reaksi yang berlebihan ketika sang ibu menyinggung hal tersebut.

Astaga. Ternyata Pak Nugroho pun sudah menghubungi Mama?

Garett memutuskan untuk menyudahi makan malamnya. Ia menutup sendok dan garpunya. Melegakan tenggorokannya dengan beberapa kali tegukan air putih yang terasa sejuk dan tidak lupa mengelap mulutnya.

"Apa saja yang dikatakan oleh Pak Nugroho pada Mama?"

Mata Nurmala mengerjap sekali. Ia menggeleng. Terlihat masih santai ketika ia melanjutkan makan malamnya.

"Tidak penting apa yang dikatakan oleh Pak Nugroho pada Mama," jawab Nurmala dengan suara datar. "Yang penting itu adalah apa yang kau katakan padanya."

Diam sejenak untuk beberapa detik, Garett memutuskan untuk mengatakan sejujurnya. Bahwa keputusannya belum berubah. Masih sama seperti empat tahun yang lalu.

"Aku menolaknya, Ma."

Nurmala memberikan anggukannya. Dengan tersenyum. Terlihat begitu memaklumi keputusan itu.

"Bagaimanapun juga aku yakin kita tidak membutuhkannya."

"Tentu saja. Semua yang kita miliki saat ini sudah lebih dari cukup."

Nurmala memang adalah ibu yang sangat disyukuri keberadaannya oleh Garett. Wanita penuh kasih dan tidak banyak menuntut. Lemah lembut dan sangat penyayang. Dan kala itu suara Nugroho mendadak mengiang kembali di telinganya.

"Aku yakin, Nyonya pasti akan senang bila melihat putra yang ia besarkan dengan penuh perjuangan berada di titik tertinggi."

Menarik napas dalam-dalam, Garett menyadari bahwa sebenarnya tidak terlalu lama untuk Nurmala berjuang membesarkan dirinya tanpa bantuan siapa pun. Mungkin tidak lebih dari lima tahun. Karena ketika sang kakek yang bernama Hirawan Prama Hardiyata meninggal dunia, kehidupannya nyaris bisa dikatakan berubah. Walau tentu saja ... itu hanya sebatas ekonomi. Pada kenyataannya ibu dan anak tetap terasing dari sang suami. Berkat rasa malu yang harus ia tanggung lantaran memperistri seorang wanita yang tidak berasal dari kalangan mereka.

Hingga akhirnya bagi Garett hidup seperti tak ada bedanya. Ia tetap terkucilkan dan terpaksa menelan semua penghinaan yang selalu datang. Dan untuk itu, Garett ingat sekali. Bahwa tak ada satu kesempatan pun di mana ia melihat Adipura Prama Hardiyata membela mereka. Atau bahkan membela dirinya. Dan sekarang, Garett kerap merutuk di benaknya.

Pengecut.

Dan bila sekarang orang-orang heran mendapati Garett yang tidak ingin menerima warisan itu, pastilah mereka tidak akan salah menebak bahwa itu berkaitan dengan harga dirinya. Ia tidak ingin mengambil sepeser pun uang yang berasal dari pria yang ia benci seumur hidupnya. Memalukan bagi pria itu.

Hal ini tentu saja membuat Nugroho menjadi kelimpungan. Karena bagaimanapun juga ia telah diberi amanah. Untuk memastikan semua warisan dari dua pria yang berbeda jatuh pada Garett.

"Apa Mama menginginkannya?"

Tak mampu dicegah, ternyata perkataan Nugroho membuat lidah Garett bergerak spontan. Menyuarakan pertanyaan yang sempat membuat pusing kepalanya. Sepanjang hari ini, ia memang bertanya-tanya. Apa ibunya justru menginginkan hal tersebut? Mengingat itu adalah peninggalan mendiang suami?

Namun, Nurmala menjawab pertanyaan itu dalam bentuk satu gelengan yang pasti.

"Kau tahu apa yang Mama inginkan, Garett. Hidup bersamamu dengan tenang dan bahagia adalah hal yang paling Mama syukuri."

Jangan ditanya, Garett tahu sebesar apa penyesalan ibunya. Karena terjebak cinta masa lalu yang dikira penuh dengan romansa, ia menyerah pada Adipura. Tanpa sempat memperkirakan bahwa hubungan itu akan menjadi sesuatu yang sulit. Bukan hanya baginya, alih-alih juga untuk Garett. Satu-satunya putra yang ia miliki.

Maka dari itu, Nurmala menekan semua keinginannya. Ia hanya ingin melihat Garett bisa bahagia. Karena layaknya seorang ibu pada umumnya, ia tahu pasti. Bahwa kekeliruannya dalam memilih suami adalah malapetaka bagi anaknya.

Ironis, tapi Nurmala terlambat menyadarinya.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top