Takdir 7. Bujukan

"Sepertinya ini bukan hari yang indah."

Satu komentar menyambut kedatangan Garett pagi itu. Tepat ketika ia baru saja akan melintasi meja sekretarisnya. Wanita yang sudah menginjak angka tiga puluh delapan itu tersenyum ramah pada Garett.

Garett menggeleng. "Bukan salah satu pagi terbaik yang pernah aku miliki."

Tuntas mengatakan hal itu, Garett langsung melanjutkan langkah kakinya. Diikuti oleh sang sekretaris yang bangkit pula dari duduknya. Turut mengikuti Garett dengan satu buku di tangannya.

Ketika masuk ke ruangannya, Garett menuju ke meja kerjanya. Menaruh tas kerjanya dan langsung mendaratkan bokongnya di kursi.

"Apa ada hal penting hari ini?"

Atra Rosalinda, sekretaris yang hari itu mengenakan stelan jas dan rok selutut bewarna hitam, menggeleng.

"Tidak ada, Pak. Hari ini tidak ada hal penting. Tidak ada rapat ataupun janji temu."

Betapa leganya Garett mendengar perkataan Atra. Oh, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sungguh ia masih membutuhkan istirahat sebenarnya. Bahkan kalau bisa, ingin rasanya ia mengambil cuit hari itu. Tapi, ketika membayangkan ada jadwal mendadak yang ia miliki, maka ia harus menyingkirkan sejenak keinginan tersebut.

"Untunglah," desah Garett. "Itu artinya tenagaku hari ini hanya akan dikuras oleh Pak Nugroho."

"Pak Nugroho Adi Candra?"

Garett melirik Atra dengan sorot malas. Dan ia membuang napas dengan sama malasnya.

"Seperti aku memiliki banyak kenalan yang bernama Nugroho saja. Tentu saja dia. Hanya dia satu-satunya."

Perkataan Garett membuat manik mata Atra membesar. Sorot antusias tak mampu disembunyikan oleh sepasang mata yang sudah berlindung di balik lensa kacamata itu. Terlebih lagi dengan senyum yang sontak mekar di wajahnya.

"Bapak sudah memutuskannya?"

"Aku belum memutuskan apa-apa, Bu."

Atra mengangguk sekali. Mempertahankan senyum di wajahnya. "Tentu saja, Pak. Saya hanya bisa mendoakan untuk keputusan yang akan Bapak ambil nantinya."

Dahi Garett sontak mengerut. Tapi, sebelum ia bisa membalas perkataan Atra yang satu itu, ia mendapati sang sekretaris kembali bicara.

"Saya akan membuatkan kopi untuk Bapak."

Garett tidak menolak. Alih-alih justru mengangguk. Membiarkan wanita itu untuk pergi dari ruangannya.

Sepeninggal Atra, Garett dengan malas menyalakan komputer di sisi mejanya. Lantas meraih satu map yang kebetulan tidak jauh dari jangkauan tangannya. Hanya untuk menyadari bahwa seharusnya memang hari itu ia beristirahat saja.

Bukan bermaksud berlebihan, tapi dua minggu sebelumnya Garett benar-benar menjalani hari-hari yang teramat padat. Penerbangan lintas negara yang diikuti oleh penerbangan antar provinsi. Yang mengharuskan ia bertemu dengan orang-orang dan membicarakan banyak hal. Dan untuk semua itu, ada setumpuk berkas yang harus ia evaluasi secara mendetail.

Garett merasa tubuhnya lelah. Hingga ketika ia pikir bersantai sejenak di kelab mampu membuatnya lepas dari penatnya pekerjaan, ia justru mendapati hal lainnya. Ia teringat wanita itu.

Elice.

Membuang napas panjang, Garett benar-benar tidak habis pikir bahwa Elice akan pergi dengan keadaan seperti itu. Memang ia tidak mengharapkan apa pun. Ia adalah pria dewasa dan tahu dengan pasti bahwa hubungan seperti itu memang seharusnya berakhir di keesokan harinya. Tapi ....

"Namanya Ariel Sakya Hartigan. Ehm ... kau pasti tidak mengenalnya. Tapi, dia adalah seorang pria yang terlahir dari keluarga kaya yang seharusnya aku hindari dari dulu."

Suara Elice menggema di benaknya. Diikuti oleh suara lainnya.

"Aku tidak peduli dengan rasa abaimu untuk menerima harta peninggalan ayahmu. Tapi, setidaknya kau harus memikirkan tindak tanduk keluarga Hartigan. Saat ini mereka sudah bersiap untuk semua tindakan yang mungkin akan kau ambil. Mereka tentu saja dengan senang hati akan menadahkan tangan bila kau menolak harta itu, Garett."

Dan mungkin suara-suara itu akan terus berputar-putar di benak Garett andai kata Atra tidak keburu masuk. Menyajikan segelas kopi hitam beraroma wangi yang membuat ia tergugah seketika.

"Bila Bapak mau, saya bisa menjadwalkan cuti Bapak setelah pertemuan dengan Pak Nugroho nanti. Saya pikir Bapak perlu beristirahat sejenak."

Garett meraih cangkir kopinya. Langsung menikmati sesapan pertamanya dan tanpa merasa sungkan, ia mendesah. Satu bukti tak terbantahkan bahwa ia menyukai rasa pahit nan pekat yang tersaji di sana.

"Seperti pertemuanku dengan Pak Nugroho akan memberi dampak yang berarti saja," lirih Garett seraya menaruh kembali cangkir kopi itu di atas tatakannya. "Tidak. Tidak akan ada yang berubah. Dan satu-satunya alasan mengapa aku mengajaknya untuk bertemu adalah hanya untuk menghargai usahanya selama ini."

Atra memegang nampan di tangannya dengan ekspresi sangsi. Tak sepenuhnya yakin bahwa memang itu alasan Garett. Karena bagaimanapun juga, setelah bertahun-tahun bekerja bersama, membuat ia tahu sifat atasannya nyaris tanpa cela.

"Saya harap lebih dari menghargai usaha beliau," ujar Atra tersenyum dengan sorot pengharapan. "Bagaimanapun juga saya akan dengan senang hati mengikuti Bapak bila kita harus pindah kantor."

Garett melongo. Tapi, Atra hanya tersenyum kecil dan memberikan satu anggukan singkatnya. Bentuk permisi.

Sepeninggal Atra, Garett memberikan dirinya waktu sejenak untuk benar-benar menikmati kopi hitam itu. Sungguh. Bagi lidah Garett tidak ada kopi hitam seenak buatan sekretarisnya itu. Betapa sebuah anugerah untuknya. Di saat ia membutuhkan suntikan penyegar di tiap pagi, ada seseorang yang bisa ia andalkan untuk hal tersebut.

Menenggelamkan diri dalam pekerjaan yang selanjutnya ia lakukan, Garett fokus pada laporan peninjauan proyek yang baru saja selesai sekitar tiga bulan yang lalu. Berkaitan dengan pengadaan satu apartemen terbaru di kota Malang. Dan sekarang dirinya akan fokus memerhatikan bagian pemasaran untuk sigap mengambil estafet selanjutnya.

Nyaris dua jam lamanya Garett fokus pada laporan tersebut. Membaca tiap bagiannya dengan teliti dan mendapati ketukan di pintu membuat konsentrasinya buyar. Tampak Atra di sana.

"Pak Nugroho sudah datang, Pak."

Garett mengangguk. "Suruh dia masuk."

Mengatakan hal itu, Garett langsung bangkit dari duduknya. Beranjak pada satu set sofa yang tersedia di ruang kerjanya. Dan tak butuh waktu lama bagi Nugroho untuk turut bergabung dengannya di sana. Sekilas, mereka berdua berjabat tangan.

Tidak langsung memulai pembicaraan langsung pada intinya, Nugroho dengan sengaja menunggu Atra untuk menyajikan minumnya terlebih dahulu. Berupa secangkir kopi susu yang membuat Garett mengerutkan dahinya. Mungkin menilai aneh selera pria itu.

"Hahahahaha. Kita butuh yang manis-manis untuk bisa menikmati hidup, Garett."

Garett tidak memedulikan itu. Maka ia pun langsung menuju pada topik yang akan menjadi pembicaraan mereka pagi itu.

"Aku masih tidak berminat, Pak."

Sejujurnya saja, ketika Nugroho mendapati Garett mengajaknya untuk bertemu, ia tidak berharap banyak. Ia tahu sifat pria itu. Keras kepala dan tidak suka melibatkan diri dalam polemik keluarga yang tidak berkesudahan. Tapi, bagi Nugroho sendiri pekerjaan ini lebih dari sekadar pekerjaan. Ada kesetiaan dan janji yang mengiringinya. Dua hal mutlak yang membuat ia tidak bisa abai. Ia tidak bisa berhenti sebelum Garett mendapatkan semua hak yang memang seharusnya menjadi milik pria itu.

"Ehm."

Menaruh kembali cangkir kopinya di atas tatakan, Nugroho membuang napas panjang. Ia menyantaikan sedikit punggungnya. Bersandar pada sofa dan ia tidak menunjukkan ekspresi kaget sama sekali.

"Sampai kapan kau tidak berminat, Garett? Sampai semuanya lenyap dan kau terlambat memilikinya?"

"Dari awal harta itu memang bukan milikku, Pak. Itu milik ..."

Garett merasakan ada yang menyekat pangkal tenggorokannya. Hingga jangankan untuk meneruskan perkataannya, ia bahkan nyaris tidak bisa bernapas lagi. Dan Nugroho menyadari itu dengan pasti.

"... Papa."

Dibutuhkan begitu banyak kekuatan bagi Garett untuk bisa menyebut satu kata itu. Dan efeknya jangan ditanya. Garett merasa dadanya mendadak bergemuruh seketika. Ada rasa panas yang seolah meledak di dalam sana. Hal yang membuat ia segera melonggarkan lilitan dasi di lehernya.

Nugroho mendehem sejenak dengan perasaan sedikit tidak enak. Matanya mengerjap dalam ekspresi salah tingkah. Tapi, mau tak mau ia tetap harus melanjutkan pembicaraan itu. Sekalipun ia tahu bahwa hal tersebut membuat Garett teringat akan kenangannya yang kelam.

"Tuan Adipura sudah mengamanahkan padaku untuk menyerahkan semua yang ia tinggalkan untukmu. Dan tentu saja. Dengan keadaan Nyonya Dayanti yang saat ini semakin tua, ia tidak bisa lagi menjaga peninggalan suami dan anaknya. Kau tahu itu dengan pasti, Garett."

Sesak di dada Garett sepertinya semakin bertambah ketika sang pengacara menyeret nama lainnya. Kali ini adalah Dayanti Kusumawati. Seorang wanita yang sudah menginjak usia senjanya. Seorang wanita yang merupakan nenek Garett.

"Kau tidak lupa bukan? Di mata Nyonya Dayanti ... kau adalah satu-satunya cucu yang ia miliki."

Garett menggaruk pelipisnya. Diam tanpa menanggapi perkataan Nugroho, ia hanya membuang napas panjang.

"Mungkin hanya Oma yang memandangku seperti itu."

"Persetan dengan keluarga Hartigan. Mereka hanya mencoba untuk mencari titik kelemahanmu, Garett. Dan kau tidak seharusnya memedulikan itu. Karena bagaimanapun juga kau adalah anak sah dari Tuan Adipura dan Nyonya Nurmala. Itu adalah takdir yang tidak bisa disangkal oleh siapa pun. Di tubuhmu, mengalir darah Hardiyata."

Tampak tak berdaya, Garett menatap Nugroho dengan ekspresi lelah. Sepertinya jelas. Ia tidak suka bila Nugroho terus saja menyinggung soal keluarganya. Tapi, apa boleh buat. Di mata Nugroho, jelas ia harus memastikan bahwa Garett tidak akan pernah lupa dengan asal usul dirinya.

"Aku yakin, tidak akan ada yang lebih membahagiakan bagi mendiang Tuan Adipura ketimbang mengetahui bahwa Pacific Energy dipegang olehmu, Garett."

"Hal itu membuktikan padaku bahwa sampai dia berada di alam baka pun dia masih memikirkan soal harta."

Perkataan Garett membuat Nugroho melongo. Tapi, tidak lama. Karena pria itu lantas langsung memutar otaknya.

"Lupakan saja soal Tuan Adipura," ujar Nugroho kemudian. "Kalaupun kau tidak ingin mengambil alih perusahaan itu karena nama ayahmu, bagaimana bila sebaliknya? Ambil perusahaan ini karena nama ibumu, Garett."

Ini adalah kesempatan terakhir bagi Nugroho. Ia tahu pasti tidak akan ada yang bisa menggoyahkan Garett. Tapi, bila nama Nurmala disenggol, ia sepertinya memiliki kesempatan.

"Aku yakin, Nyonya pasti akan senang bila melihat putra yang ia besarkan dengan penuh perjuangan berada di titik tertinggi."

Menuntaskan perkataannya sampai di sana, Nugroho berdoa di dalam hati. Semoga saja kali ini bujuk rayunya berhasil. Karena bagaimanapun juga, aset yang bernilai lebih dari seratus triliun rupiah bukanlah nominal yang sedikit.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top