Takdir 6. Keputusan
Hari belum terlalu terang ketika Elice membuka pintu rumah. Suasana di sana terasa hening, tapi tidak bisa dikatakan damai. Elice tahu hal itu dengan pasti.
Sejak hari itu terjadi, entah mengapa, Elice tahu bahwa keadaan di rumahnya telah berbeda. Kedamaian yang sempat ada telah menghilang. Tergantikan oleh duka nestapa yang tetap menggelayuti walau hari terus berganti.
Melangkah masuk dan menutup pintu dengan pelan di balik punggungnya, Elice melangkah masuk. Melewati ruang tamu yang gelap. Tapi, ia masih bisa melihat gambar yang terpampang di dinding itu. Memotret ekspresi kebahagiaan Elice berikut kedua orang tuanya, Widuri dan Prastowo.
Tidak langsung melanjutkan langkah kakinya, nyatanya Elice mendapati kedua kakinya berhenti tepat di bawah potret bahagia itu. Tangannya terangkat. Berusaha untuk menyentuh foto itu dan harus berpuas diri dengan merasakan piguranya.
Elice menggigit bibir bawahnya. Menyadari dengan jelas bahwa setelah kepergian Prastowo, ia nyaris bisa dikatakan gagal menjaga senyum Widuri untuk tetap mekar. Tak ada lagi kebahagiaan yang dirasakan oleh sang ibu. Selain rasa malu dan sedih yang kerap ia berikan. Rasanya lebih mengiris-iris hati wanita itu. Pedih, tapi ia tak kuasa. Ia tak berdaya untuk menghindar dari takdir yang telah tertulis.
Hingga saat ini, rasa penyesalan Elice semakin menjadi-jadi lagi ketika ia sadar akan sesuatu. Bahwa bila ia tidak salah mencintai seorang pria, ia tidak akan mengalami ini semua. Ironis. Tapi, Elice merasa hidup tidak adil padanya. Bagaimana bisa orang yang amat ia cintai justru membuat semua kemalangan ini terjadi padanya?
Sudah, Elice. Lupakan. Kumohon, lupakan.
Mengepalkan tangannnya yang masih bertahan di pagura foto itu, mata Elice memejam. Ia mengingatkan dirinya sendiri. Menyadarkan dirinya sendiri. Bahwa tak ada gunanya bagi dirinya untuk tetap larut dalam kesedihan itu. Semua penyesalan dan air mata tidak akan mampu mengubah masa lalunya.
"Itu hanya masa lalu. Dan yang orang-orang perhatikan dari kita memang ... hanyalah penampilan."
Kala itu entah mengapa, tapi mendadak saja suara Garett mengiang di benak Elice. Di waktu yang tepat sebenarnya. Lantaran setelahnya, ia menyadari kebenaran kata-kata tersebut.
Semua hanya soal penampilan.
Meninggalkan tempat itu dengan langkah gontai, Elice menyadari bahwa masa lalunya akan tetap buruk. Bagaimanapun besarnya penyesalan yang ia rasakan tetap tidak akan mengubah apa yang telah terjadi. Ia telah terpuruk, tapi ia tahu. Ada seseorang yang tidak ingin melihatnya larut dalam kesedihan itu.
Elice membuka pintu kamar. Melongok. Melihat Widuri yang masih terlelap di balik selimutnya.
*
"Kau tidak pulang semalam, Sayang. Kau pergi ke mana?"
Elice tidak heran sedikit pun kalau sarapan pagi itu akan diawali oleh satu pertanyaan dari Widuri. Ia menarik napas sekilas, tersenyum hambar. Tepat setelah ia menelan makanan di mulutnya, ia menjawab.
"Maaf, Ma, karena aku tidak memberi kabar. Semalam aku menginap di rumah teman. Aku benar-benar lupa untuk menghubungi Mama semalam."
Widuri diam sejenak. Menatap lurus pada putri tunggalnya itu. Dan ia tahu kebenarannya. Lagipula Elice adalah satu-satunya anak yang ia miliki. Sekadar teman, ia jelas menyadarinya. Bahwa Elice nyaris bisa dikatakan tidak memiliki teman. Putrinya itu tengah berbohong.
"Oh, begitu," desah Widuri tersenyum seraya meraih gelasnya. "Tidak apa-apa. Lagipula kau jarang berkumpul dengan temanmu."
Rasanya tidak menenangkan untuk Elice karena harus membohongi Widuri. Tapi, apa boleh buat. Lagipula ia juga tidak bisa jujur. Ia tidak mungkin mengatakan apa yang terjadi sebenarnya pada sang ibu bukan? Bahwa ia berkenalan dengan pria asing dan lantas menghabiskan malam bersama dengannya?
Membiarkan waktu berlalu dalam keheningan beberapa saat, Elice menatap butiran nasi goreng di piringnya. Ia tertegun sejenak. Mempertimbangkan apa yang telah memenuhi pikirannya beberapa saat yang lalu.
"Ma."
Pelan dan terkesan lirih, suara Elice memanggil Widuri. Wanita paruh baya itu yang tampak sudah menyudahi sarapannya berpaling. Melihat dan menyadari ada sesuatu yang berbeda di wajah putrinya.
Widur menunggu. Hingga pada akhirnya Elice langsung melanjutkan perkatannya.
"Bagaimana menurut Mama kalau kita pindah?"
Hening sejenak, Widuri hanya menatap Elice. Seperti ingin menilai keseriusannya. Dan ia menemukannya. Tidak ada seberkas keraguan pun yang tampak di mata Elice. Anaknya itu terlihat begitu yakin.
Tanpa bertanya. Tanpa meragukan. Widuri mengangguk.
"Mama setuju."
Rasanya menyesakkan bagi Elice untuk tetap bisa menarik udara. Persetujuan yang Widuri berikan tanpa ada pertanyaan sedikit pun, membuat dirinya merasa begitu terpukul. Hatinya bagai diremas oleh tangan tak kasat mata. Sungguh.
"Ke mana rencananya kau ingin pindah?" tanya Widuri kemudian. "Bali, Malang, atau---"
"Kita pindah ke Jakarta, Ma."
Perkataan lugas Elice memutus pertanyaan Widuri. Dan tak hanya itu. Perkataan Elice membuat sang ibu menatapnya lekat untuk beberapa saat. Tapi, ia lantas mengangguk.
"Sepertinya itu pilihan yang tepat."
Jujur saja, Elice merasa itu bukanlah pilihan yang tepat. Ia nyaris hanya bermodalkan nekat saja. Tapi, saat ini Elice sudah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan.
"Terima kasih, Ma. Aku akan menyiapkan semuanya dengan cepat."
Widuri mengangguk.
Karena hanya butuh satu persetujuan itu bagi Elice untuk memulai langkah pertamanya. Ini adalah keputusan besar yang pernah ia ambil seumur hidupnya. Penuh dengan risiko dan kemungkinan gagal akan ada. Tapi, Elice akan mencobanya. Ia bertekad untuk meninggalkan semua kenangan yang ia miliki di Surabaya. Ia akan memulai hidup baru. Memulai lembaran baru. Di tempat yang baru. Lantaran ia yakin akan satu hal.
"Itu hanya masa lalu. Dan yang orang-orang perhatikan dari kita memang ... hanyalah penampilan."
Benar. Tentu saja. Orang-orang baru di lingkungan barunya nanti hanya akan melihat dari penampilannya. Dan Elice akan memastikan bahwa penampilannya akan mampu menutupi semua masa lalu kelam yang ia miliki.
Siang harinya, Elice pergi setelah berpamitan pada Widuri. Menuju ke salon. Demi melenyapkan rambut hitam yang selama ini menjadi kebanggaannya. Yang kerap kali memberikan kesan wanita polos yang natural.
Elice tidak menginginkann predikat itu masih tetap tersemat pada dirinya. Tidak. Di usia yang sudah menginjak angka dua puluh tujuh tahun, ia tidak lagi bangga dengan hal tersebut. Ia ingin mengenyahkannya. Menggantinya dengan stempel yang lain. Menukarnya dengan jati diri yang baru.
Warna balayage cokelat gelap. Itu adalah warna yang kemudian bertahta di rambut Elice. Menampilkan kesan sensual dan elegan yang amat cocok dengan kulitnya yang memiliki ciri khas Indonesia. Yaitu, sawo matang.
"Pilihan warna yang sempurna. Tepat sekali. Terutama karena kau memiliki rambut panjang bergelombang yang alami."
Pujian itu sepertinya bukan pujian kosong belaka. Karena ketika Elice menatap hasil karya penata rambut tersebut dirinya pun menjadi terpana. Yang dikatakannya benar. Warna itu benar-benar sesuai pada Elice.
Senyum di wajah Elice mekar. Tak merasa sungkan, ia mengangguk. Setuju sepenuhnya dengan perkataan tersebut.
"Aku suka."
Bangkit dari duduknya, Elice memuaskan matanya untuk sejenak memandang penampilan rambutnya yang baru. Menyugarnya. Membelainya. Dan merasakan bagaimana gelombang panjang itu tampak berkilau dalam warna barunya.
Sepertinya ... keputusan Elice untuk benar-benar memedulikan penampilannya adalah pilihan yang tepat.
Elice tersenyum. Pada penata rambut. Dan pada dirinya sendiri.
"Terima kasih."
Keluar dari salon dengan penampilan rambut yang baru, Elice menyadari bahwa dirinya butuh lebih dari sekadar itu untuk benar-benar bisa melangkah lagi. Kejadian buruk yang menimpa dirinya dan efek yang tertinggal tidak akan serta merta hilang hanya berbekalkan perubahan penampilan dan gaya rambut. Yang mana sebenarnya ia pun masih sedikit sangsi bahwa semua itu akan memberikan dampak yang signifikan pada dirinya. Tapi, ketika ia ingat akan rencana yang sudah tersusun di depannya, tekadnya kembali menguat.
Aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Aku sudah kehilangan semuanya. Dan sekarang ... tidak ada lagi yang aku pertaruhkan.
Ibarat pejuang, Elice sekarang bertarung hanya untuk nyawanya seorang. Tak ada kerajaan yang harus ia lindungi. Tak ada rakyat yang harus ia lindungi. Tak ada kekayaan yang harus ia lindungi.
Terkesan kejam, tapi nyatanya Elice lantas menyadari bahwa itu adalah keuntungan baginya. Tidak ada rantai yang bisa mengikat langkah kakinya. Ia adalah gelas kosong. Yang bila jatuh pun tidak akan membuat keadaan berantakan. Hanya ada kepingan dirinya saja yang akan tercecer.
Satu denting dari ponselnya membuat Elice menghentikan langkah kakinya. Hanya untuk mendapati bahwa ada pesan masuk. Berasal dari satu nomor yang membuat tekadnya mendadak berguncang di dalam dada.
[ Ariel ]
[ Elice, kau sedang di mana? ]
[ Apa kita bisa bertemu? ]
[ Ada yang ingin aku katakan. ]
Elice membuang napasnya sekilas. Tidak, tentu saja tidak. Elice tidak akan menemui Ariel. Bahkan lebih dari itu. Ia pun tidak akan membalas pesan tersebut.
Maka Elice langsung bergegas menuju ke toilet. Hanya untuk membuang kartu SIM-nya ke dalam tempat sampah. Dan kemudian memulai ulang ponselnya.
"Sepertinya aku harus membeli nomor baru."
Karena ketika Elice memutuskan untuk kembali melihat penampilannya pada cermin toilet, ia bisa melihat sosok dirinya yang penuh kemalangan di sana. Dalam rengkuhan masa lalu yang tak bersahabat. Tapi, sesuatu membuat ia tertegun. Berkat suara yang kembali mengiang di benaknya.
"Dengan becermin dan melihat betapa banyaknya yang kau miliki."
Mungkin ini terdengar aneh dan tidak masuk akal. Tapi, bagi Elice yang menenggelamkan hidupnya dalam kubangan penyesalan selama berbulan-bulan lamanya, ini adalah anugerah. Karena berkat seorang pria asing yang memperlakukannya dengan amat lembut, ia mendadak merasakan keyakinan itu tumbuh.
Masih ada. Masih ada pria yang memperlakukanmu dengan kelembutan. Masih ada pria yang melihatmu dengan tatapan kekaguman. Dan sepertinya ... kau memang masih berharga.
Entah ironis atau dramatis. Nyatanya Elice bisa melangkah kembali berkat satu malam yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Malam panjang yang turut akan ia tinggalkan di belakang. Sebagai salah satu dari bagian masa lalu yang ingin ia lupakan.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top