Takdir 4. Pembuktian
Elice tahu apa yang sedang ia lakukan saat ini adalah tindakan yang begitu tidak masuk akal. Tidak dewasa dan cenderung kekanakan. Tapi, ketika ia merasakan bibir itu melumat bibirnya, entah mengapa Elice merasa otaknya seperti tidak bisa berpikir lagi. Pria itu menciumnya dengan cara yang mampu membuat Elice merasakan kelumpuhan otak dalam waktu seketika.
Mungkin ini ego. Mungkin ini mengenai harga diri. Mungkin ini berhubungan dengan krisis percaya diri yang menuntut Elice untuk membuktikan. Bahwa dirinya masih berharga. Untuk kategori seorang wanita dan juga manusia. Karena terlepas dari bagaimana masa lalunya, tetap ada seorang pria yang akan menyentuhnya dengan penuh perasaan. Menyentuhnya dengan begitu lembut. Menyentuhnya dengan begitu hati-hati. Karena ya! Ia tak ubahnya seperti porselen mahal yang amat berharga.
Elice menganggapnya seperti itu. Bahwa saat ini alam bawah sadarnya menuntut pembuktian. Untuk mengenyahkan kesimpulan buruk mengenai dirinya sendiri. Yang kerap kali mengatakan dirinya tak lagi bernilai sebagai seorang wanita. Walau ironisnya itu justru terjadi dengan campur tangan seorang pria asing yang hanya ia kenal namanya.
"Garett ...."
Garett menggeram rendah. Membiarkan pintu kamar itu menutup dengan sendirinya ketika ia mendengar samar lirihan Elice yang menyebut namanya. Sesuatu yang membuat satu tangannya dengan kuat lantas merengkuh pinggang berlekuk ramping itu. Menariknya. Cenderung mengangkatnya. Hingga tubuh Elice dengan pasrah mendarat di tubuhnya.
"Dan ..."
Garett merasa napasnya terasa sesak ketika ia dengan berat hati menarik bibirnya dari kelembutan bibir Elice. Tapi, sepertinya itu setimpal untuk apa yang ia dapatkan selanjutnya. Berupa kulit pipi Elice yang lembut dan wangi. Menjamah indra perasa dan penciuman Garett dengan sejuta sensasi yang membuat ia seperti mabuk.
Garett tidak banyak minum malam itu. Praktis ia hanya meneguk segelas bir. Hanya sekadar untuk meredakan dahaganya saja. Dan oh, Tuhan! Sepertinya Garett yakin tidak akan ada orang yang mabuk dengan segelas bir. Terutama dirinya. Tapi, ada apa saat ini?
Bahkan ketika dirinya tidak mabuk, Garett merasakan panas yang seolah membakar tubuhnya. Yang membuat ia perlu menarik udara dalam-dalam. Di sela-sela rasa putus asa yang menuntutnya untuk bertanya.
"... siapa namamu?"
Menuntaskan pertanyaannya, Garett memberikan satu kecupan basah di leher jenjang Elice. Hingga membuat wanita itu melenguh dan mengangkat kepala tinggi-tinggi. Tak berdaya, ia hanya bisa bersandar pada dinding dan tubuh kuat nan keras di depannya.
"E-Elice ...."
Garett mencatat nama itu di benaknya. Mengingatnya dengan baik-baik. Lalu berkata.
"Nama yang cantik."
Pujian yang membuat Elice tersenyum dengan mata terpejam. Kedua tangannya bergerak. Mendarat di pundak Garett. Lalu mendorong jas yang dikenakan oleh pria itu.
Garett dengan senang hati dan tanpa berpikir dua kali mengikuti isyarat Elice. Sejenak ia melepaskan Elice. Membiarkan jas yang ia kenakan untuk lepas dan jatuh tanpa daya di atas lantai.
Saat itu kedua pasang mata bertemu untuk sejenak. Sebelum pada akhirnya tangan Garett yang besar dan dihiasi oleh urat-urat bertonjolan itu meraih leher Elice. Menarik wajah wanita itu dan langsung menyambar bibirnya kembali. Memagutnya dalam ciuman menggebu yang membuat Elice meleleh seketika.
Ketika Garett menciumnya kembali, Elice mendapati semua pemikiran menghilang dari benaknya. Ia tak peduli dengan gilanya ia yang justru bermesraan dengan pria asing. Karena astaga! Garett menyentuhnya dengan cara yang benar-benar membuat ia merasa bebas. Sesuatu yang telah lama tidak ia rasakan. Tepat setelah lima bulan yang lalu di mana ia merasakan dunia bagai hancur tanpa sisa.
"Apa kau tahu kalau kau memiliki hidung yang cantik?"
Melepaskan ciumannya, Garett membawa bibirnya untuk mengecup sisi hidung Elice. Menarik sekelumit geli di bibir wanita itu. Ia terkekeh samar, menggeleng.
"Kau memiliki hidung tercantik yang pernah aku temui," ujar Garett dengan suara berat. "Aku harap kau akan selalu mengingat itu."
Tidak ada yang pernah mengatakan pada Elice bahwa hidungnya cantik. Tapi, malam ini ... bersama dengan seorang pria asing di dalam kamar hotel ... Elice merasa hidungnya memang cantik.
Karena memang begitu kenyataan yang terlihat dari mata Garett. Nyatanya ia tak mampu mengalihkan pandangannya dari Elice selama berada di kelab tadi. Pada titik mancung mungil yang membuat dirinya tak merasa jemu memandang.
Dan sekarang ... sepertinya Garett memiliki waktu yang panjang untuk bisa memuaskan matanya. Memandang hidung itu semau dirinya. Selama malam bisa memerangkap mereka berdua di dalam sana.
Garett meraih pinggang Elice. Mengangkat tubuh itu dan mendapati kedua kaki Elice dengan tepat langsung melingkari pinggangnya. Ia beranjak. Berjalan dari sana tanpa memutus cumbuan yang ia berikan pada leher Elice.
Tanpa henti, bibir Garett mengecup. Dengan terbuka hingga memberikan kesan basah nan hangat yang membuat tubuh Elice seketika meremang.
"Oh, Garett."
Desahan tertahan Elice membuat Garett dengan cepat membanting tubuh mereka di atas tempat tidur itu. Membiarkan mereka memantul beberapa kali sebelum pada akhirnya Garett menekan tubuh Elice yang pasrah di bawahnya. Menahannya agar tidak bergerak lagi.
Menarik napas sejenak, Garett kemudian mengangkat sedikit tubuhnya. Bertopang pada satu siku, ia menciptakan jarak yang cukup untuknya bisa menatap wajah Elice. Yang tampak pasrah tak berdaya.
Mata Elice mengerjap samar. Bulu matanya bergerak-gerak dengan keanggunan yang membuat Garett terpaksa meneguk ludah. Ia membelai pipi wanita itu dengan punggung tangannya. Bertanya.
"Kau tidak akan menyesal?"
Elice mendengkus geli. Bola matanya berputar sekali dengan malas. "Ada banyak hal yang bisa aku sesali ketimbang malam ini."
Yang dikatakan Elice memang benar. Dan bila sampai beberapa saat yang lalu ia masih digelayuti rasa putus asa, maka sekarang berbeda. Menghabiskan sekitar sejam dalam perbincangan pada Garett membuat ia mengambil satu kesimpulan aneh. Bahwa ia tidak memiliki apa-apa lagi. Sesuatu yang sekarang dianggap oleh Elice adalah satu keberuntungan untuknya.
"Aku tidak akan kehilangan apa-apa lagi," pungkas Elice. "Lebih dari itu ... bukankah kau sendiri yang ingin membuktikannya padaku?"
Garett mengerjap sekali. Belaiannya di pipi Elice berhenti. Tepat ketika Elice melanjutkan perkataannya.
"Bahwa aku masih berharga."
Maka setelah itu Garett memutuskan bahwa perbincangan di antara mereka telah usai. Sekarang bukan lagi waktunya untuk bercakap-cakap. Alih-alih saatnya untuk membuktikan perkataannya.
Karena ketika Garett kembali mencium bibirnya, Elice merasa dirinya meluap. Pria itu mencium Elice dengan cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Benar-benar seperti Garett menyerahkan semua dunia padanya.
Hingga Elice tidak menemukan pilihan lain. Selain membalas ciuman itu dengan sama lembutnya. Dengan sama bergairahnya.
Kedua tangan Elice naik. Merengkuh leher Garett. Menariknya samar dalam pemberian isyarat tanpa kata-kata. Bahwa wanita itu menginginkan lebih dari sekadar ciuman belaka.
Garett dengan senang hati menerima isyarat tersebut. Ia menelengkan sedikit wajahnya. Membuka bibirnya. Menjulurkan lidahnya. Menyapu bibir Elice dengan kehangatan yang berhasil membuat wanita itu mengerang dengan gelisah.
Usapan ujung lidah Garett meninggalkan jejak di bibir Elice tepat sebelum akhirnya lidah itu meluncur. Menyelinap di antara kedua belah bibir Elice. Dan kemudian masuk.
Elice tidak menolak. Malah dengan senang hati membuka diri. Menyilakan Garett untuk menginvasi mulutnya dengan jajahan hangat yang membuat ia memejamkan mata rapat-rapat.
Menggeram rendah, Garett tidak bersiap dengan rasa manis yang menyambut dirinya di sana. Perpaduan antara kesan hangat dan menggoda yang membuat ia tak mampu menahan diri. Ia menjatuhkan tubuh. Menekan tubuh Elice. Seraya terus melakukan penjelajahannya.
Dua lidah bertemu. Menari dalam belitan sensual yang membuat kedua empunya sama-sama dilanda gairah tak tertahankan. Garett membelit. Lalu melumat. Dan kemudian memagut. Selayaknya pria itu ingin mengisap habis tanpa sisa setiap rasa yang ada di sana.
Elice meremas rambut Garett. Mengerang tak berdaya. Pasrah saat Garett memerangkap lidahnya. Menariknya dalam satu isapan kuat yang tak mampu ia tolak.
Dan nyatanya bukan hanya lidah Elice yang terisap oleh Garett. Alih-alih wanita itu merasa seluruh jiwanya turut ikut serta. Membuat ia melengkungkan tubuh. Membiarkan payudaranya yang lembut menekan dada Garett yang terasa bidang dan kuat.
Desahan Elice mengalun. Tepat ketika Garett melepaskan lidah itu demi melakukan cumbuan selanjutnya. Karena ia jelas menginginkan hal yang lebih lagi.
Adalah leher Elice yang kemudian menjadi sasaran kenakalan lidah Garett. Dalam satu usapan panjang yang memberikan jejak basah di sana. Tapi, tentunya ia tidak berhenti cukup sampai di sana.
Tangan Garett bergerak. Mencari-cari sesuatu di balik punggung Elice. Dan kemudian ia mendapatkannya. Satu benda yang ketika ia tarik, maka mengendurlah gaun yang memerangkap tubuh Elice.
Elice menggeliat. Menarik tangannya untuk keluar dari lengan gaun itu. Membiarkan Garett dengan cepat melepas pakaian tersebut dari tubuhnya. Hingga ia terbaring hanya mengenakan sepasang pakaian dalam yang menutupi bagian intimnya.
Sepatu tinggi Elice terlepas. Garett membuangnya ke lantai. Menyusul dengan gaunnya yang telah lebih dulu mengalami nasib nahas itu. Dan tentunya bukan hanya benda-benda itu yang mendapat perlakuan serupa. Bahkan yang melekat di tubuh Garett pun merasakannya pula.
Menahan napas di dada, Elice menatap Garett yang tampil polos di atasnya. Hanya ada secarik kain berbentuk segitiga yang masih bertahan di sana. Pakaian tak seberapa yang tidak cukup mampu menyembunyikan apa yang ada di baliknya.
"Sekali lagi aku bertanya."
Suara berat nan serak Garett membuat Elice mengerjap. Berhasil membuat fokus matanya untuk berpindah. Beralih pada sepasang mata Garett yang menatap padanya tanpa kedip.
"Kau tidak akan menyesal bukan?"
Elice mengangguk yakin. "Aku ingin melihat. Seberapa berharganya aku di mata pria asing."
Jawaban yang membuat Garett menggertakkan rahangnya kuat-kuat. Dan setelah dua kali ia mempertanyakan apakah wanita itu akan menyesal atau tidak, Elice justru memberikan dirinya jawaban yang mendesak akal sehatnya.
Garett menghampiri Elice yang segera menyambut dirinya. Dengan dua tangan terkembang yang memeluknya. Jari-jari lentik itu mendarat di punggung Garett yang berotot. Merasakan lekukan-lekukan maskulin di sana dan mengusapnya.
Bibir Garett tanpa keliru sedikit pun berhasil menemukan bibir Elice kembali. Menciumnya dengan kuat dan penuh penuntutan sementara tangannya pun bergerilya. Dalam penjelajahan yang ingin merasakan semua kehalusan kulit Elice.
Tangan Garett bergerak. Mengusap lengan telanjang Elice. Kemudian menyusuri tulang selangkanya yang begitu menggoda. Untuk selanjutnya jari-jari besar itu bermuara pada satu gundukan feminin.
Elice mendesah saat mendapati satu remasan menyapa payudaranya. Memang, masih terhalang oleh bra yang ia kenakan. Tapi, sungguh. Sentuhan itu sudah mampu membuat ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
Garett menginginkan lebih. Maka ia dengan cepat melepaskan bra itu dari payudara Elice. Melemparnya ke sembarang arah dan tak peduli ke mana ia akan mendarat. Karena selanjutnya, Garett dengan cepat langsung melenyapkan satu puting yang telah menegang itu ke dalam mulutnya yang hangat dan basah.
Kaki Elice bergerak gelisah di bawah sana. Membuka tanpa sadar. Menyilakan Garett untuk mendapatkan posisi sempurnanya di antara tungkai jenjangnya itu.
Garett memejamkan mata. Merasakan sensasi memabukkan ketika puting Elice memenuhi indra perasanya. Yang mungil dan terasa begitu menggoda. Hingga lidahnya seolah mendapatkan undangannya. Untuk menari dan berbuat liar pada bagian tersebut.
Elice meremas rambut Garett. Merasakan gairah berputar-putar di sekitar perutnya ketika akal sehatnya telah terdesak dan memutuskan untuk pergi.
Garett membelai putingnya. Dengan penuh kehangatan dan kelembutan. Berulang kali. Dalam gerakan berputar atau bahkan dalam kecupan-kecupan nakal.
Dan tentunya tak hanya itu. Bagai pria yang adil, Garett memastikan bahwa ia memberikan perhatian yang sama dengan payudara lainnya. Dengan tangannya, ia meremas payudara Elice berulang kali. Pun memainkan putingnya dengan cubitan-cubitan kecil yang membuat wanita itu melenguh tanpa henti.
"Oh, Garett. Oh."
Elice makin tak berdaya. Ia makin gelisah. Meremas bantal di bawah kepala. Hingga tanpa sadar membuka kaki dan membiarkan kelembaban samar itu menembus tipis kain celana dalamnya. Menyapa kulit kulit perut Garett. Hingga membuat pria itu menggeram.
"Elice."
Menyebut nama Elice dengan penuh gairah, Garett lantas melepaskan puting itu dari dalam mulutnya. Hanya untuk memastikan bahwa ia menukar godaan itu pada payudara yang lainnya.
Garett kembali memagut puting payudara Elice. Lalu meremas bagian yang lainnya. Dan mendapati Elice gelisah tak tentu arah.
"Oh, Garett. Kumohon."
Elice tak mampu lagi bertahan. Gairah yang merasuki tubuhnya tak mampu ia bendung. Ia kewalahan dalam desakan gelora yang makin membutakan matanya. Hingga membuat ia mengulurkan tangan. Ke bawah sana. Berusaha menggapai milik Garett yang telah mengeras.
"Argh!"
Garett menggeram dengan memagut kuat puting Elice. Dan merasakan sentuhan samar jari Elice di kejantanannya membuat pria itu menggebu. Hingga mulutnya membuka besar. Menuruti keinginannya. Kali ini bukan hanya puting kecil itu yang ia nikmati. Alih-alih payudara Elice yang lantas ia lenyapkan dalam mulutnya.
Tak ada lagi yang bisa menahan gairah itu membakar tubuh keduanya. Baik Elice maupun Garett sama-sama tersulut dalam kobaran gelora. Mereka tak bisa mundur. Dan mereka memang tidak akan mundur.
Garett menarik celana dalam Elice. Melemparnya dengan asal berikut dengan miliknya pula. Dan pria itu sudah bersiap. Mengenakan kondom dalam satu gerakan yang praktis dan cekatan.
Elice menatap Garett. Dalam pandangan menunggu. Dengan napas tertahan di dada. Tapi, Garett belum melakukannya.
Karena Garett menginginkan hal lainnya sebelum membawa mereka pada hidangan utama. Ia meraih kedua kaki Elice. Mendorongnya untuk membuka menekuk.
Mata Elice membola. Dan lantas justru memejam ketika Garett menunduk. Menyapa kewanitaannya dalam satu kecupan yang membuat ia mengerang sensual.
Garett menjulurkan lidahnya. Membiarkan ujungnya menyapa ambang kewanitaan Elice. Yang sudah basah dan hangat. Lebih cukup menjadi tanda bagi pria itu. Bahwa Elice sudah siap menerimanya.
Hanya saja, Garett ingin mencicipinya. Merasakan manis yang ia yakin akan dimiliki oleh Elice. Dan itu ... terbukti.
Mata Garett memejam seketika saat sensasi itu menyapa indra perasanya. Rasa manis layaknya madu yang tak pernah ia cecap sebelumnya. Hingga menuntut dirinya untuk menjilat. Untuk kemudian lidah itu pun memasuki kewanitaan Elice tanpa ucap permisi sepatah kata pun.
Elice meremas seprai di bawah tubuhnya. Matanya terpejam erat. Merasakan kehangatan itu menembus dirinya. Masuk. Dan kemudian, napas Elice tertahan.
Lidah Garett masuk demi melakukan invasinya. Yang ketika ia telah berada di dalam sana, maka lidah itu pun langsung melancarkan semua serangannya. Memberikan tusukan sedalam yang ia bisa. Dan kemudian melakukan gerakan berputar. Demi menyapa dinding-dinding di sana.
Elice berusaha untuk tetap bernapas. Tapi, ketika lidah itu dengan begitu lincah mengobrak-abrik pertahanannya di bawah sana, ia makin tak berdaya. Hanya bisa terus mendesah tanpa henti.
Garett mempertahankan posisi kaki Elice. Untuk tetap menekuk. Untuk tetap membuka. Agar ia terus bisa memuaskan rasa lapar dan dahaganya.
Hingga kemudian, pada akhirnya ujung lidah Garett menemukannya. Satu titik yang membuat lenguhan Elice menjadi suara tertahan. Satu titik yang membuat kaki Elice memerangkap kepalanya. Satu titik yang membuat tubuh Elice seketika menegang.
Garett membuai titik itu berulang kali. Dalam tekanan. Dalam tusukan. Dalam sapuan yang pada akhirnya membuat satu serbuan kehangatan menerpa dirinya.
Elice menjerit. Dengan tubuh menegang. Dengan kaki yang langsung merapat di bawah sana. Seolah tidak ingin membiarkan Garett pergi. Tidak. Tidak sebelum kenikmatan itu benar-benar dirasakan sepenuhnya oleh Elice.
Karena ketika pada akhirnya Elice terhempas dalam kenikmatan yang membutakan matanya itu, Garett merasakan bagaimana sejuta rasa manis menyapa indra perasanya. Basah dan hangat, Garett tidak akan membiarkan ada setitik madu di sana untuk lepas dari isapannya.
Menutup buaian itu dengan satu jilatan panjang di sepanjang bibir kemaluan Elice, Garett lantas bangkit. Mendapati bagaimana kedua kaki Elice kemudian yang langsung terjatuh bagai tak ada tenaga lagi. Dan ia melihat bagaimana pipi Elice tampak merona amat merah.
"Aku harap kau tidak berpikir bahwa semuanya sudah selesai sampai di sini."
Oh, tentu saja. Elice tahu itu dengan pasti. Ia meneguk ludah. Dan tak punya waktu lama untuk menarik napas ketika ia mendapati bobot tubuh Garett menimpa dirinya.
Garett dengan tubuhnya yang cenderung besar itu membuat Elice tak berdaya. Terhimpit tak mampu bergerak di atas kasur yang empuk itu. Tertahan dalam debaran jantung yang tak tertahankan.
Tidak.
Kali ini Elice justru merasakan jantungnya seperti tidak berdetak lagi. Tepat ketika ia merasakan kejantanan Garett memasuki dirinya dan ia seolah meluap. Dalam buncahan gairah dan emosi yang membuat ia lupa akan segalanya.
Garett mengecup sisi kepala Elice. Membelai rambutnya. Dengan teramat sengaja memberikan waktu untuk wanita itu. Demi menyesuaikan diri dengannya.
Elice merasa penuh. Sedikit merasa sesak. Hingga ia tanpa sadar meringis samar. Tapi, waktu yang Garett berikan padanya membuat ia kian melunak.
Dan Garett, ketika ia merasakan tubuh Elice telah santai, maka ia pun menarik pinggangnya. Hanya untuk mendorong kembali. Hanya untuk membuat Elice terhenyak dalam serbuan yang tak pernah ia kira sebelumnya.
Elice mendesah saat merasakan kejantanan Garett kembali memasuki dirinya. Ia merengkuh tubuh Garett. Dengan kuat. Memasrahkan diri dalam permainan yang diciptakan oleh pria itu.
Dalam pergerakan yang begitu membuai, Garett membawa kejantanannya untuk keluar dan masuk di diri Elice. Tanpa ada egois sama sekali. Ia layaknya ingin memastikan bahwa bukan hanya dirinya yang akan melayang malam itu. Alih-alih demikian pula dengan Elice.
Melekat dengan erat, tubuh Garett dan Elice menyatu tanpa ada sekat. Kulit yang liat berkat keringat saling bergesekan. Memberikan percikan-percikan kehangatan yang makin membakar.
Garett menarik diri. Lalu menghunjam lagi. Dan ia mengangkat kaki Elice. Mendaratkan tungkai jenjang itu di atas pinggangnya. Agar ia bisa mendapatkan keleluasan yang lebih lagi saat menjajah wanita itu.
Ketika pada akhirnya Elice melingkarkan kakinya di seputaran pinggang Garett, maka ia mendapati bagaimana kejantanan itu meluncur semakin laju di dalam kewanitaannya. Hingga ia terdesak. Dalam luapan yang seolah ingin meledakkan dirinya dari dalam sana.
"Oh, Garett."
Garett menggeram. Tangannya merengkuh Elice dengan amat kuat. Mempertahankan posisi wanita itu dengan tepat. Dan pinggangnya bergerak makin menggebu.
Mendesak dan terus mendesak. Garett bergerak tanpa ada jeda sama sekali. Hingga keringat makin membasahi tubuhnya.
Di bawah tubuh dan serbuan Garett, Elice memejamkan mata. Menggigit bibir bawahnya sekuat mungkin. Tak berdaya ketika hunjaman demi hunjaman yang ia rasakan makin mendesak dirinya.
Elice tersudut. Terpojok. Terperangkap dalam rasa yang tak mampu ia elak.
Dunia seperti menggelap di sekeliling Elice. Lebih dari itu, ia bahkan seperti tak menemukan udara. Di mana-mana hampa. Yang ada hanyalah gairah yang makin menjerat dirinya.
"Garett!"
Nama pria itu tertahan di pangkal tenggorokan Elice. Karena pada akhirnya, satu hunjaman Garett membuat ia terhempas kembali. Membuat ia terlempar dalam badai penuh warna-warni pelangi. Sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia temui.
Garett menggeram. Merasakan bagaimana kenikmatan yang menerpa Elice membuat ia tak mampu bernapas lagi. Lantaran sensasi yang turut menghantam kejantanannya di dalam sana.
Kewanitaan Elice beraksi dengan begitu alamiah. Dalam gelombang kenikmatan yang ia rasakan, Garett mendapati bagaimana ada remasan sensual yang terasa memijat kejantanannya. Diikuti oleh sensasi hangat dan lembab yang makin membuat ia tak berdaya.
Garett gelap mata. Ia membabi buta. Pinggangnya bergerak makin tak tentu arah.
Maju dan mundur.
Keluar dan masuk.
Garett terus membawa kejantanannya untuk menikmati kewanitaan Elice. Yang makin lama makin membuat pria itu menggertakkan rahang. Dan ketika kuku-kuku Elice menggaruk punggungnya, Garett benar-benar tak lagi terkendali.
Elice tidak bermaksud. Tapi, ketika ia mendapati Garett semakin gencar menghunjamnya, ia pun merasakan desakan yang kembali datang.
Kenikmatan itu baru beberapa saat yang lalu menerpa dirinya, tapi Elice mendapati dirinya yang lagi-lagi terperangkap. Layaknya buruan yang baru saja terbebas hanya untuk merasakan jeratan yang lainnya. Itu ... persis seperti apa yang ia alami saat ini.
Elice memeluk Garett dengan teramat kuat. Membiarkan kuku-kukunya menancap di kulit punggung pria itu. Dan ia melenguh.
Rengkuhan Elice dibalas dengan sama kuatnya. Tangan Garett yang kokoh menarik tubuh ramping itu semakin tenggelam dalam jajahannya. Teramat erat. Hingga nyaris membuat ia khawatir bahwa ia akan meremukkan tulang belulang wanita itu.
Namun, kepasrahan Elice membuktikan bahwa bukan hanya dirinya yang pasrah dalam gelombang gairah yang saat itu melanda keduanya. Garett tahu itu dengan pasti. Dan karena itulah, ia tak berpikir dua kali.
Garett mendesak. Semakin mendesak. Menghunjamkan kejantanannya sedalam mungkin. Untuk terperosok dan tenggelam. Lenyap terkubur di dalam kewanitaan Elice.
Dan berulang kali. Ketika hunjaman demi hunjaman datang silih berganti. Elice tak mampu berbuat apa-apa selain menyerah kembali. Pada badai membutakan mata yang membuat ia memekik dengan teramat nyaring.
Kenikmatan itu benar-benar membuat Elice merasa dirinya luluh lantak. Ia pecah. Terurai menjadi keping-keping yang lantas berterbangan ditiup angin. Yang membuat pandangan Garett menjadi kabur seketika.
Garett tidak mampu melihat lagi. Tidak bisa mendapati apa-apa di sekelilingnya, kecuali satu. Yaitu kegelapan yang membuat ia dengan sukarela meleburkan diri.
Karena ketika Garett menahan tubuh Elice dengan sekuat tenaganya, ia menggeram. Ia menekan Elice. Dan ia menghunjam dengan begitu dalam. Dengan begitu kuat. Hingga pada akhirnya ia pun pecah.
Garett meledak dalam kenikmatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Penuh dengan semua sensasi yang membuat tubuhnya bergetar. Yang membuat dirinya terperas habis tanpa sisa. Yang membuat dirinya lenyap dalam kebutaan yang menggelapkan mata. Yang membuat ia tak bisa merasakan apa-apa. Selain kedamaian yang seolah memeluk dirinya dalam sisa malam yang tak seberapa.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top