Takdir 3. Pandangan

Sekarang tidak ada yang bisa Garett lakukan selain diam. Memberikan waktu bagi lawan bicaranya itu untuk mengambil jeda selama yang ia butuhkan. Garett tahu, itu adalah keadaan yang benar-benar berantakan.

Muram, Garett menarik napas dalam-dalam. Menyadari dengan jelas bahwa masih hidup hingga saat ini adalah pertanda valid. Elice bukanlah wanita yang lemah. Alih-alih justru sebaliknya. Elice adalah wanita yang kuat.

Bagi Elice sendiri, ia sudah beberapa kali menemukan dirinya yang tidak berdaya. Sudah tak terhitung lagi pikiran bunuh diri melintas di benaknya. Tapi, kala ia melihat wajah ibunya, sekelumit akal sehat itu muncul lagi.

Aku sudah membuat Mama menderita. Apa aku harus menambah tangis Mama? Dengan pergi dalam keadaan yang mengenaskan?

Maka ketika pikiran untuk bunuh diri datang, Elice akan segera bersiap. Berdandan. Memutuskan untuk pergi ke kelab. Karena ia pikir hanya itu satu-satunya cara untuk membuat dirinya bisa mengenyahkan pikiran buruk tersebut. Dalam keramaian. Di mana tidak akan ada orang-orang sok suci yang akan menghujat air matanya.

Hingga tak pernah Elice duga sebelumnya. Jangankan mendapat cibiran yang menudingnya, sekarang ia justru mendapat sepasang telinga yang setia mendengarkan ceritanya. Yang bahkan tidak memberikan komentar berarti untuk semua yang sudah ia katakan.

"Setidaknya sekarang kau sudah terbebas dari pria itu."

Pada akhirnya, hanya itu satu-satunya kalimat yang berhasil Garett katakan pada Elice. Ia tidak bisa menghibur. Seperti yang ia katakan, ia hanyalah seorang pendengar yang baik. Yang tidak menemukan hal lain untuk diucapkan selain fakta yang satu itu.

"Entahlah," lirih Elice getir. "Entah aku yang sudah terbebas darinya atau sebaliknya. Aku yang telah dicampakkan olehnya ketika aku tak lagi berharga."

Garett mengerutkan dahi. Tampak tak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Elice.

"Lepas dari pria seperti itu bukan menunjukkan kau tidak berharga. Malah sebaliknya. Itu artinya ia yang tidak pantas untukmu."

"Kau tidak mungkin lupa karena aku baru mengatakannya beberapa saat yang lalu."

Elice menatap Garett. Dengan mata yang tampak masih tersisa linangan air matanya dan sorot itu tampak benar-benar terluka. Seperti meyakini bahwa masa depannya sekarang tak ubahnya dengan jalan setapak di tengah hutan. Tanpa ada matahari ataupun seberkas cahaya yang menyinarinya.

"Aku sudah tidak berharga lagi sebagai seorang wanita. Aku sudah pernah hamil. Aku sudah pernah keguguran. Dan ...."

Elice tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Alih-alih ia hanya menarik napas sedalam mungkin. Ia pasrah. Mungkin esok hari ia akan tetap hidup hanya demi ibunya. Kehidupannya yang sesungguhnya sudah mati.

"Dan hal itu tidak mampu menepis kenyataan bahwa di sini banyak mata yang masih melihatmu dengan tatapan kagum."

Elice tertegun. Ia mengangkat wajah. Melihat pada Garett yang memberikan isyarat melalui matanya.

Melihat ke sekeliling, Elice mendapat ada satu titik yang menjadi fokus sekilas mata Garett tadi. Beberapa orang wanita yang tampak kaget ketika melihat dirinya beralih pada mereka. Ciri khas kaum Hawa bila tertangkap basah tengah membicarakan sesama kaumnya.

"Aku sudah memerhatikanmu dari tadi. Banyak yang diam-diam melihatmu. Ehm ... mungkin karena mereka pikir betapa kau memiliki penampilan yang menarik."

Elice kembali pada Garett. Pria itu tampak melihat ke titik-titik lainnya.

"Bukan hanya wanita. Aku pun sudah melihat beberapa orang dari kaumku yang sudah mengintaimu dari tadi," lanjut Garett. Ia melirik pada Elice. "Tak perlu berterima kasih kalau kau pikir keberadaanku di sini menyelamatkanmu dari tangkapan buaya darat lainnya."

Elice bisa mengira maksud perkataan Garett. Tapi, itu sama sekali tidak berhasil padanya.

"Mereka hanya tahu penampilanku saja. Mereka tidak tahu bagaimana dengan masa laluku."

"Dan bukankah itu intinya?"

Tanpa tedeng aling-aling, Garett memojokkan Elice dengan satu pertanyaan fatal. Nyaris membuat Elice terhenyak saking ia yang tidak mengira. Yang dikatakan Garett terdengar amat masuk akal.

"Itu hanya masa lalu. Dan yang orang-orang perhatikan dari kita memang ... hanyalah penampilan."

Untuk hal yang satu itu, pastinya Elice tidak bisa membantah. Bukankah memang? Yang orang-orang lihat dari diri orang lain adalah penampilan?

"A-aku ...."

"Kau bersedih, itu pasti. Dan bahkan aku tak yakin bisa menjalani hidup bila dalam posisi yang kau alami saat ini."

Itu bukan kalimat basa-basi belaka. Itu memang adalah hal yang disadari pasti oleh Garett. Semula ketika ia melihat ada seorang wanita menangis seorang diri, ia hanya menganggap wanita itu sedang mengalami putus cinta. Tapi, nyatanya? Bukan hanya putus cinta yang Elice alami. Alih-alih juga putus asa.

"Tapi, aku yakin. Masih banyak mata yang memandang dirimu berharga. Bukan hanya aku, para wanita itu, atau sekumpulan pria itu. Di luar sana, aku yakin. Terlepas dari masa lalumu, kau tetap berharga."

Ketika akal waras Elice timbul, perkataan itu terdengar amat logis. Tapi, percayalah. Elice sudah mengalami fase ini berulang kali. Saat ini ia mungkin merasa naik kembali hingga kemudian tidak butuh waktu lama untuk ia mendapati dirinya terjatuh lagi.

"Entahlah, aku tidak yakin."

Garett mengerti. "Jangan dipaksakan. Kau butuh waktu. Tapi, aku tahu. Setidaknya kau menyadari bahwa tetap bertahan hingga hari ini cukup membuktikan bahwa kau tetap memandang hidupmu berharga."

Di matanya sendiri, Elice mendapati dirinya benar-benar tidak ada harganya sama sekali. Ia merasa sudah menjadi wanita paling rendah di dunia. Dicampakkan dan dipandang sebelah mata.

"Lagipula ..."

Suara Garett yang kembali terdengar membuat pikiran Elice teralihkan. Ia melihat pada pria itu. Yang pundaknya tampak naik sekilas saat si empunya menarik udara dalam-dalam.

Garett mengerjap sekali. Acuh tak acuh ketika melirik pada Elice.

"... mengapa wanita harus menyerahkan standar dirinya pada pria?"

Itu pertanyaan yang terdengar biasa-biasa saja, tapi ....

"Bukankah itu semua mutlak ada di tanganmu?" tanya Garett dengan wajah serius. Melalui tatapannya, ia mengunci Elice. "Aku hanya tidak habis pikir mengapa kau membiarkan Ariel untuk mendikte berharga atau tidaknya dirimu. Ehm ... karena kau pernah hamil? Kau pernah keguguran? Dan itu membuat kau masuk ke dalam golongan wanita yang rendah?"

Garett mendengkus tak percaya ketika mendengar pertanyaannya sendiri. Ia geleng-geleng kepala. Seperti tengah melihat pertunjukan sirkus paling konyol di dunia.

"Kau tidak berada di dalam posisi wanita. Bagaimanapun kasusnya, kami akan selalu menjadi pihak yang dipojokkan."

"Maka dari itu ... mulai dari sekarang jangan biarkan dirimu berdekatan dengan pria yang seperti itu."

"Aku bahkan bisa yakin. Tidak akan ada pria mana pun yang ingin mendekatiku setelah tahu bagaimana masa laluku."

"Kau tidak melihatku saat ini?"

"Kau---"

Elice membuang napas. Tampak samar senyum mengambang di bibirnya. Ia menggeleng dengan ekspresi lemah.

"Mungkin kau satu-satunya pria yang tetap bertahan duduk di sini setelah tahu mengenai masa laluku."

"Mungkin juga bukan aku satu-satunya," ujar Garett. "Bagaimanapun juga ... aku yakin kau tidak mengira bahwa akan ada pria yang akan duduk bersama denganmu. Mendengarkan ceritamu. Padahal pria itu adalah orang asing."

Senyum samar Elice berubah menjadi seberkas senyum geli. Berikut dengan dengkusan sekilasnya. Yang dikatakan Garett benar. Ia memang tidak mengira bahwa akan ada pria asing yang akan menjadi teman bicaranya malam itu.

"Jadi ... apa menurutmu aku berharga?"

Yakin, tanpa ada keraguan sedikit pun, Garett mengangguk.

"Di mataku ... kau adalah wanita yang berharga. Dan mungkin itu satu-satunya alasan mengapa aku tak mampu menahan diri sedari tadi. Pada akhirnya aku benar-benar menuruti naluriku untuk menghampirimu."

"Katakan padaku, apa yang membuat aku terlihat berharga di matamu?"

Tidak langsung menjawab pertanyaan itu, Garett memanfaatkan beberapa detik yang ia miliki. Untuk mengamati penampilan Elice dari atas hingga bawah. Dimulai dari rambut bewarna hitam yang bergelombang sensual, lalu pada wajah berbentuk oval yang cantik, dan melewati lekuk tubuh yang dibentuk gaun hitam menawan. Hingga berakhir pada sepasang sepatu setinggi sembilan sentimeter yang membuat betis jenjang itu tampak menggoda.

"Karena tidak banyak wanita cantik sepertimu datang ke kelab seorang diri tanpa menunjukkan tanda-tanda ingin menggoda pria mana pun."

Elice sontak terkekeh.

"Dan kau abai dengan keadaan sekitarmu. Tidak peduli beberapa orang yang sebenarnya berniat untuk mendekatimu, kau hanyut dalam duniamu sendiri. Di mataku ... itu adalah bentuk nyata bahwa wanita itu berharga."

Puas tertawa hambar setelah mendengar perkataan Garett, Elice mengangkat wajahnya. Menghirup udara dalam-dalam. Lalu mengembuskannya perlahan.

"Kau memiliki penilaian yang berbeda untuk kategori wanita berharga," komentar Elice. "Seharusnya kau menambahkan perawan, baik-baik, pintar, dan berasal dari keluarga terpandang."

"Oh! Bukankah itu terlalu kejam? Wanita bukan makhluk sempurna. Mengapa harus memberikan banyak kriteria?"

Elice kembali tergelak. "Kriteria atau tidak, nyatanya itu yang mampu membangun rasa percaya diri kaum kami."

"Gunakan cara lain untuk membangun rasa percaya diri."

"Contohnya?"

"Dengan becermin dan melihat betapa banyaknya yang kau miliki."

Tangan Garett naik satu. Menyingkirkan sedikit anak rambut yang nyaris menutupi pandangan mata Elice. Membawa helaian halus itu ke balik telinganya.

"Aku yakin itu bukan hal yang sulit bagimu," ujar Garett seraya menarik kembali tangannya. "Karena aku yang baru berbicara denganmu tak lebih dari setengah jam saja bisa merasakannya."

Udara seperti tertahan di pangkal tenggorokan Elice. Mendengar kata-kata Garett, melihat caranya bicara, dan mendapati senyum di wajah itu, membuat ia menjadi terdiam dalam seribu bahasa. Hanya untuk menyadari bahwa ia tersudut pada satu pertanyaan.

Benarkah?

"Kalau kau tidak percaya dengan apa yang aku katakan, kau bisa melihat kebenarannya sebulan yang akan datang. Dan bila sebulan tidak cukup untuk kau membuktikannya, maka lihatlah setahun yang akan datang. Pada akhirnya kau akan menyadari bahwa aku benar."

Layaknya Garett yang mampu menerka isi benak Elice, pria itu mengatakan sesuatu yang makin membuat udara terasa enggan menjamah paru-parunya. Pada akhirnya, Elice hanya bisa menanggapi hal itu dengan acuh tak acuh.

"Kita lihat saja nanti."

"Kau butuh bukti?"

"Bukti apa maksudmu?"

"Bahwa setidaknya di sini ada seorang pria yang masih melihatmu berharga? Terlepas dari bagaimana masa lalumu."

Elice masih mencoba meraba maksud perkataan Garett tatkala mendapati jari-jari yang sempat menyentuh anak rambutnya kembali bergerak. Kali ini dalam satu sapuan samar yang menyapa kulit pipinya. Membuat Elice sontak memejamkan matanya. Refleks alamiah.

Tubuh Elice menegang. Tidak sempat mengantisipasi hal itu dan mendapati tubuhnya kaku seketika. Lantaran terlalu tiba-tiba, ia bahkan tidak bisa untuk bergerak sedikit pun. Bahkan untuk sekadar tersentak, tidak bisa.

Garett bisa merasakan dengan jelas bagaimana tubuh Elice yang sontak membeku. Tepat ketika ujung jarinya menyentuh kehalusan pipi wanita itu, ia jelas merasakannya. Tapi, ketika ia mendapati Elice yang tidak menarik diri, Garett melanjutkan tindakannya.

Wajah Garett maju. Mengambil posisi tepat di depan wajah Elice. Menciptakan kenyataan di mana napas keduanya bisa saling membelai satu sama lain.

Garett menatap mata Elice. Hening dalam beberapa detik yang tidak berarti. Mengabaikan suara musik yang memerangkap mereka berdua. Dan tak peduli dengan keadaan di sekitar.

"Izinkan aku."

Dua kata itu Garett ucapkan sebagai bentuk permisi. Satu ungkapan yang tak sempat dijawab oleh Elice. Lantaran jari-jari tangan Garett yang semula menyentuh pipinya telah berpindah tempat. Pada tekuk Elice.

Garett menarik Elice. Seiring dengan dirinya yang turut maju. Menyambut kehadiran bibir Elice yang kemudian mendarat di bibirnya.

Mata Elice sontak memejam. Kedua tangannya naik. Mendarat di dada Garett yang terasa keras. Ingin mendorongnya, tapi Garett melumat bibirnya. Dan itu membuat ia justru meremas kemeja Garett.

Ketika Garett merasakan tangan Elice di dadanya, pria itu sudah bersiap dengan beberapa kemungkinan yang bisa ia terima. Ditampar, tentunya adalah kemungkinan yang paling masuk akal untuk ia dapatkan. Tapi, nyatanya bukan itu yang terjadi. Alih-alih justru hal yang sebaliknya.

Dan hal itu membuat secuil akal sehat Garett berpikir. Lantaran remasan di dadanya membuat ia tahu. Bahwa apa yang ia pikirkan tentang Elice adalah hal yang benar.

Elice adalah wanita yang berharga. Dan setidaknya itulah yang ingin Garett tampakkan padanya. Bahwa ketika seorang wanita berharga, seorang pria akan menciumnya dengan sepenuh jiwa.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top