Takdir 2. Dua Arah

Ketika Elice mendengarkan perkataan Garett, ia sontak tertegun. Matanya membesar dengan sorot yang meredup. Dan mulutnya sedikit membuka seolah ingin bicara padahal tak ada sepatah kata pun yang ia ucap.

"Aku penasaran. Sehebat apa pria yang bisa membuat seorang wanita menangis seperti dirimu saat ini."

Garett menunggu Elice akan merespon perkataannya. Tapi, pada akhirnya wanita itu hanya memberikan satu embusan napas panjangnya. Matanya berkedip sekali. Lalu membawa posisi tubuhnya untuk lurus menghadap ke depan. Melihat bartender yang sedari tadi sibuk bekerja dengan sepasang tangannya yang lincah itu.

"Tidak ingin menjawab?"

Garett sepertinya tidak menunjukkan tanda-tanda ingin mundur dari rasa ingin tahu yang sudah bersarang di benaknya. Ia penasaran. Hingga tanpa merasa segan sedikit pun, pria itu membawa satu sikunya untuk mendarat di atas meja bar. Dalam posisi itu, ia bisa mengamati garis mancung hidung Elice dari samping. Tampak begitu sempurna. Tidak terlalu berlebihan dan memberikan kesan yang membuat mata tak puas untuk memandangnya hanya dalam satu kedipan saja.

Kala itu Elice menarik napas dalam-dalam. Sempat terbersit di benaknya untuk kembali mengangkat tangan. Memesan minuman selanjutnya. Tapi, entah mengapa tidak ia lakukan. Seperti dirinya sudah merasa jenuh. Dan itu membuat ia sempat bertanya pada dirinya sendiri. Mungkin yang ia butuhkan bukan minuman. Alih-alih sepasang telinga yang bisa mendengarkan semua luapan di dalam dadanya.

"Dia bukan pria yang hebat."

Pada akhirnya satu kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Elice. Yang mendapat respon berupa satu kerjapan mata Garett. Pria itu diam. Menunggu kelanjutan perkataan yang akan ia dengarkan selanjutnya.

"Sama sekali bukan pria setipe pangeran di cerita dongeng anak-anak," lanjut Elice seraya menggeleng sekali. "Sama sekali bukan."

Mendengar hal itu, Garett mengangguk sekali. Tapi, tetap saja ia tidak mengomentarinya. Layaknya ia yang benar-benar ingin membuktikan pada Elice bahwa perkataannya tadi adalah satu kebenaran. Yaitu, ia adalah pendengar yang baik.

"Dia cuma pria yang kebetulan lahir dari keluarga terpandang, kaya raya, dan katanya menjunjung nilai-nilai norma. Tapi, yang ternyata adalah justru dia sendiri yang tidak mengenal apa itu norma."

Mata Garett berkilat ketika mendengar perkataan Elice kali ini. Jelas, ia bisa merasakan ada emosi yang menyertai kata-kata yang diucapkan wanita itu. Sesuatu yang membuat ia terpaksa menarik napas dan menahan sekumpulan udara itu di dadanya. Alih-alih menuruti kehendaknya untuk langsung mencerna lawan bicaranya itu dengan pertanyaan: mengapa bisa?

"Dia ...."

Elice memejamkan matanya. Ketika ia nyaris bicara lebih lanjut, sekelumit akal sehatnya mencegah. Hingga membuat ia tanpa sadar mengepalkan tangannya dengan kuat. Membuat buku-bukunya memucat. Layaknya tak ada lagi darah yang mengalir di sana.

Hal tersebut tidak luput dari sepasang mata Garett. Ia langsung meraih tangan Elice. Mengurai kepalan itu satu persatu. Dengan tindakan yang lembut, tapi nyatanya ampuh untuk mengalahkan kuatnya jari-jari Elice.

"Ingat bukan?" tanya Garett kemudian. "Aku hanya pria asing. Pria asing yang bahkan tidak tahu siapa namamu. Jadi ... apa yang membuatmu ragu?"

Benar. Yang dikatakan oleh Garett memang benar. Garett tidak mengenal Elice. Bahkan nama Elice pun ia tidak tahu.

"Dia benar-benar menghancurkan hidupku hingga berkeping-keping. Tidak tersisa. Tidak ada lagi yang tersisa."

Tidak melepaskan tangan Elice, ternyata Garett justru menggenggam jemari lentik itu. Merasakan kehalusan di sana. Dan kemudian barulah ia melepaskannya. Memberikan kesempatan bagi Elice untuk bisa mengusap wajahnya dengan asal.

"Katakan padaku," kata Elice seraya berpaling pada Garett. "Apa kaum kalian selalu terlahir tanpa hati? Terlahir tanpa otak yang bisa mengingat semua janji? Yang bahkan semua kata-kata manis itu kalian ucapkan dengan penuh kesadaran diri."

Garett tersenyum seraya membuang napasnya. Memilih untuk tidak mengumbar gelaknya di saat yang tidak tepat, pria itu hanya menggeleng sekali. Lalu mengusap ujung dagunya yang sedikit terasa kasar. Ia lupa bercukur hari itu.

"Sejujurnya ... kaum kami terlahir dengan hati. Kami pun memiliki otak untuk mengingat. Tapi, masalahnya ... terkadang kami membuang nurani kami."

Elice menatap Garett. Mungkin tidak percaya bahwa akan ada seorang pria yang mengatakan hal segamblang itu pada dirinya. Bukankah itu sedikit menyenggol ego kaum Adam?

Senyum Garett menyungging. "Tidak perlu menatapku kagum seperti itu. Aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Bahwa kami, kaum pejantan ini, memiliki kecenderungan ego yang tinggi. Yang terkadang justru merasa superior dengan membuat makhluk lainnya menderita. Seolah itu adalah validasi untuk membuktikan bahwa kami adalah makhluk yang berkuasa."

"Tidak bisa dipercaya."

Garett terkekeh samar. Dengan ujung jari telunjuknya, ia menggaruk pelipisnya. Ada sedikit rasa gatal yang timbul saat ia melihat ekspresi tak percaya Elice.

"Aku juga terkadang tidak percaya hal itu. Tapi, memang itulah yang terjadi. Ada beberapa orang pria yang memiliki kesenangan tersendiri ketika ia berhasil menyakiti seorang wanita. Ehm ... dan sepertinya jenis pria inilah yang kau temui."

"Kau mengatakannya seolah di sini adalah kesialanku saja. Seperti kalau saja aku bertemu dengan pria lain, aku tidak akan seperti ini."

Garett tampak menimbang perkataan Elice. Dan lalu ia mengangguk tanpa ada keraguan sama sekali.

"Benar. Mungkin memang seperti itu adanya."

"Aku jadi ingin menyalahkan Tuhan ketimbang menyalahkan Ariel saat ini."

Ada satu informasi yang membuat Garett mengerutkan dahinya. "Nama pria itu Ariel?"

Tak menampik, Elice mengangguk. Lagipula tak ada gunanya juga bagi Elice untuk menyembunyikan fakta yang satu itu.

"Namanya Ariel Sakya Hartigan. Ehm ... kau pasti tidak mengenalnya. Tapi, dia adalah seorang pria yang terlahir dari keluarga kaya yang seharusnya aku hindari dari dulu."

Garett mengerutkan dahinya. Tampak tidak yakin sepenuhnya dengan perkataan Elice. Tapi, ia diam saja. Tidak menginterupsi perkataan Elice ketika wanita itu lanjut bicara.

"Aku mengenalnya saat penerimaan mahasiswa baru. Ehm ... seharusnya aku mendengarkan kata-kata Mama ketika menyuruhku untuk memilih manajemen bisnis ketimbang hukum. Kalau aku menuruti perkataannya, aku tidak akan sampai di hari ini."

Kerutan di dahi Garett hilang seketika. Tergantikan oleh senyum geli yang tidak mampu ia tahan.

"Perkataanmu mengingatkanku dengan nasihat ibuku," timpal Garett. "Dia mengatakan bahwa perkataan orang tua itu adalah doa."

Elice melihat Garett tak percaya. "Benar-benar tidak masuk akal bukan?" tanyanya seraya menggeleng sekali. "Karena aku yakin. Bila aku menuruti perkataan Mama delapan tahun yang lalu, aku tidak akan hancur seperti ini."

"Tapi, tak ada gunanya menyesali itu. Bagaimanapun juga aku yakin selama delapan tahun ini tidak hanya keburukan yang terjadi di hidupmu."

"Mungkin ya. Mungkin juga tidak."

Garett memutuskan untuk tidak mendebat hal itu. Tidak ingin membeberkan fakta-fakta yang bisa saja menjadi indikasi bahwa perkataannya benar. Bahwa selama delapan tahun bukan hanya keburukan yang terjadi pada wanita itu. Ia yakin. Walau ia tidak tahu, tapi ia yakin.

"Tapi, kalaupun memang selama delapan tahun ini tidak hanya keburukan yang aku dapatkanya, sepertinya itu tidak akan sebanding dengan apa yang akhirnya aku alami. Semua kebahagiaan yang pernah aku rasakan, sudah hilang. Lenyap tanpa ada sisa."

"Seburuk itu?"

Elice membuang napas panjang. Lalu berpaling. Melihat pada Garett dengan sorot hampa. Ia tampak tersenyum. Tapi, senyum itu tanpa ada rasa.

Sekali, Elice mengangguk. Dengan satu anggapan di benaknya. Bahwa yang ada di hadapannya tak lebih dari seorang pria asing. Pria asing yang tidak akan pernah ia temui lagi. Dan pada satu titik, Elice menyadarinya. Bahwa di saat ini yang ia butuhkan hanya satu. Tempat yang bisa menjadi pelampiasan akan luapan rasa sakit, marah, dan kecewa yang nyaris membuat ia gila.

"Seburuk itu," jawab Elice getir. "Hingga terkadang membuat aku ingin mengakhiri nyawaku saja."

Wajah Garett sontak berubah. Tak ada lagi raut geli di sana. Langsung menghilang ketika ia mendengar kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir berlipstik merah itu. Amat lancar. Seperti tidak ada beban atau pertimbangan sama sekali dari si empunya.

"Kau?"

Elice menggigit bibir bawahnya. Wajahnya sontak menunduk dan melihat jari-jari tangannya. Hanya pengalihan. Berusaha menyembunyikan matanya yang sontak memanas lagi.

"Aku benar-benar sudah tidak ada harganya lagi. Aku sudah menjadi wanita yang tidak berharga sama sekali."

Walau tidak yakin, tapi sepertinya Garett bisa menerka apa sumber masalah Elice. Tidak akan ada wanita yang seputus asa ini bila itu tidak berkaitan dengan pria dan ... kehormatannya.

"Dia mengatakan padaku kalau dia mencintaiku. Aku percaya itu. Dan entah mengapa, setelah bertahun-tahun lamanya, aku masih benar-benar merasakan itu."

Elice memejamkan mata. Berusaha untuk mengenyahkan ingatan yang lantas langsung membayang di benaknya. Awal mula ia bertemu dengan Ariel. Hingga mereka jatuh cinta dan menjalin hubungan yang nyaris membuat semua wanita iri padanya.

Hingga kemudian hubungan asmara itu makin lama makin dalam. Dan bukan hal yang aneh bila pada akhirnya Elice benar-benar menyerahkan hidupnya pada Ariel. Bukan hanya hati dan cinta, alih-alih juga seluruh dirinya.

"Aku hamil."

Garett menahan napas. Tebakannya tidak melesat. Tepat sasaran malah.

"Lantas? Dia tidak ingin bertanggungjawab?"

"Hahahahaha."

Tawa samar meluncur dari tenggorokan Elice. Wajahnya terangkat. Lalu melihat pada Garett dengan mata yang berkaca-kaca. Senyum di sana tampak menyedihkan.

"Lebih parah dari itu," jawab Elice seraya menarik napas dalam-dalam. "Dia memaksaku untuk menggugurkan bayi kami. Padahal seminggu sebelumnya ia berjanji akan menikahiku."

Garett tidak akan terkejut kalau saat ini Elice berencana untuk mengakhiri hidupnya. Sungguh. Ia tidak menduga bahwa hal itu yang menjadi penyebab mengapa seorang wanita secantik Elice menangis seorang diri di kelab dengan ditemani oleh minuman beralkohol.

Mata Garett seketika membesar. "Kau minum."

Elice mendengkus geli. Ia melihat pada Garett dengan tangan yang kemudian mendarat di atas perutnya. Lantas, gurat pedih itu menampakkan diri. Sesuatu yang tak pernah Garett lihat sebelumnya.

Elice menggeleng sekali. "Dia sudah tidak ada," lirihnya pelan. "Dia sudah pergi. Aku tidak bisa mempertahankannya."

Ada cekungan nyata di leher Elice ketika wanita itu berusaha untuk menahan isakannya. Wajah cantik itu tampak mengeras dalam desakan membendung tangisnya.

"Aku pikir aku bisa kuat. Aku bisa mempertahankannya. Tapi, semua kenyataan yang ada membuat aku terlalu stres dan pada akhirnya ...."

Garett meraih tangan Elice. Menggenggam jemarinya. Lalu membiarkan Elice untuk mengambil alih hal tersebut. Dengan senang hati menyilakan wanita itu untuk meremasnya dengan kuat.

"Tapi, kau tahu apa yang paling membuat aku terpuruk?"

"Katakan padaku."

Elice butuh waktu sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk menguatkan diri. Karena ketika ia memutuskan untuk menjawab pertanyaan itu, jujur mengenai apa yang terjadi, itu artinya ia membuka luka lama.

"Dia bersyukur. Mengucapkan terima kasih padaku. Dan dia bahkan tertawa dengan begitu senang di hadapanku."

Elice tidak akan pernah melupakan hal itu. Tidak. Bayangan di mana Ariel yang begitu bersuka cita ketika ia justru terpuruk di atas ranjang perawatan, melintas di benaknya. Sesuatu yang membuat ia seketika merasa mual.

Garett mengangkat tangannya. Memberikan isyarat pada sang bartender untuk segelas air putih. Menyerahkan minuman sejuk itu pada Elice.

Tentunya dibutuhkan lebih dari sekedar segelas air putih untuk meredakan sesak yang bercokol di dada Elice. Tapi, setidaknya ia bisa menghirup udara dengan sedikit lebih lega saat ini.

"Tapi, kalau kau berpikir semuanya selesai sampai di sana, jelas kau salah."

Elice melihat gelas di tangannya yang telah kosong. Menyadari bahwa saat ini hidupnya tak ada ubahnya dengan gelas itu. Tak ada lagi isi di dalamnya. Sekarang ia persis seperti manusia yang tak memiliki apa-apa lagi.

"Beberapa hari setelahnya, keluarga Ariel datang ke rumahku."

Garett mendapati bagaimana jari-jari tangan Elice kembali menguat di gelas itu. Tubuhnya menegang. Dan ia yakin bahwa ini adalah titik di mana Elice benar-benar terhempas. Yang mana ... itu benar.

"Mereka mengatakan banyak hal yang membuat aku tidak bisa melihat wajah Mamaku lagi. Me-mereka ...."

Mata Elice sontak memejam. Ingatan itu begitu nyata di benak Elice. Bagaimana orang tua Ariel datang. Menyerahkan sejumlah uang. Sebagai bayaran untuk berhenti menggoda putra mereka.

Hingga mereka pun mengatakan hal-hal lainnya yang tidak pernah Elice bayangkan sebelumnya. Keraguan akan dirinya, yang bisa saja sudah berpetualang di beberapa pelukan pria sebelum akhirnya melabuh pada Ariel. Putra sematawayang mereka yang selalu dipuja banyak orang.

Elice benar-benar hancur. Ia mungkin bisa bertahan. Kehilangan anak dan harga diri. Dicampakkan pria yang ia cintai. Tapi, ketika wajah paruh baya itu menangis, ia tahu. Ia telah salah mencintai seorang pria.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top