TWO

Sekilas Leah memandang laki-laki di sebelahnya. A mountain of a man, adalah kesan pertama yang ditangkap Leah ketika pertama kali berkenalan dengan Pascal dulu. Serupa gunung paling tinggi dan paling aktif, tidak akan ada satu orang pun di dunia ini yang akan bisa mengabaikan keberadaannya. Selain karena posturnya badannya yang tidak sama dengan kebanyakan laki-laki yang dikenal Leah, bahasa tubuh dan ekspresi Pascal juga selalu memancarkan kekuatan, keberanian, dan kepercayaan diri.

"Aku ... cuma ... istirahat. Kamu ... ngapain di sini?" Leah terbata menjawab.

"Belanja." Pascal mengacungkan kantong kain di tangannya. "Ini mau dimasukkan ke mobil?" Lalu Pascal menunjuk kardus di atas troli.

"Aku bisa sendiri."

Mengabaikan jawaban Leah, Pascal mengangkat dua kardus besar tersebut dan memasukkan ke bagasi mobil. Kemudian Pascal mengembalikan troli ke tempat yang telah ditentukan. Leah hanya bisa memandang punggung Pascal dalam diam. Tampaknya Pascal adalah tipe orang yang tidak bisa menerima jawaban tidak. Orang yang hanya melakukan sesuatu yang dia mau, bukan yang diinginkan orang lain. Tidak akan ada apa pun atau siapa pun yang bisa menghalangi langkahnya. Siapa yang berani? Pascal tampak selalu menerjang semua rintangan. Lebih baik minggir kalau Pascal hendak lewat.

Leah mengusap sisa air mata dengan ujung kausnya.

"Thanks." Leah bersiap menutup bagasi dan mengatakan selamat tinggal.

Bukan Leah tidak mau mengobrol dengan Pascal. Bukan. Tetapi Leah selalu merasa takut, sangat takut, setiap bertemu Pascal. Takut pada perasaan tertarik yang muncul di hati Leah sejak mereka berkenalan setahun yang lalu, yang bisa saja berkembang menjadi lebih. Dulu, memiliki benih ketertarikan itu membuat Leah merasa bersalah karena Leah berpikir dirinya sedang mengkhianati Martin dan hubungan mereka yang sedang menuju pernikahan. Leah pernah menyesali kenapa dia harus bertemu dan berkenalan dengan Pascal saat hubungannya dengan Martin sudah terlalu jauh untuk diakhiri. Ketika Leah sudah mencintai Martin. Seandainya saja Leah masih sendiri saat itu, mungkin cerita hidupnya akan berbeda.

Sekarang kamu sudah sendiri, Leah, tidak ada penghalang kalau ingin menuruti ketertarikanmu kepada Pascal, sebuah suara di kepala Leah berpendapat.

No. Leah tidak sendiri. Sekarang ada Davey dalam hidup Leah. Satu-satunya laki-laki yang akan mendapatkan seluruh cinta dan perhatian Leah, sampai akhir hayat Leah. Satu-satunya laki-laki yang tidak akan pernah membuat Leah menderita. Leah tidak akan memberi ruang pada laki-laki lain. Patah hati sekali sudah lebih dari cukup untuknya.

"Apa kamu bisa menyetir sendiri? Kalau kamu kurang sehat, aku bisa mengantarmu pulang." Pascal menyandarkan badannya pada bagasi yang masih terbuka. Dengan tatapan menyelidik Pascal mengamati wajah Leah.

Kepala Leah—tanpa Leah mengenakan sepatu hak tinggi—hanya mencapai tengah dada Pascal. Dada yang mengagumkan. Dari balik kaus putih yang dikenakan Pasal, membayang bahu yang lebar, dada yang bidang, dan perut yang rata. Bagian pinggulnya menyempit dan di sana, agak terlalu rendah menurut Leah, menggantung celana jeans yang membungkus kedua kaki Pascal yang panjang, kuat, dan kukuh dengan sempurna. Sangat sempurna, hingga Leah membayangkan bagaimana jika sepasang kaki tersebut dan kaki Leah saling mengait. Bibir mereka bertemu dan lidah mereka menari bersama. Jari-jari Pascal pasti bisa membangkitkan gairah di titik-titikyang tepat. Bercinta dengan Pascal....

"Leanna, apa kamu sakit? Wajahmu ... merah?"

"No...," bisik Leah dengan lemah. Oh, God, bagaimana mungkin di tengah hari buta seperti ini, di tempat umum, tidak kurang-kurang, Leah membayangkan dirinya bergumul dengan Pascal di tempat tidur?

Karena tidak ingin terus berfantasi bisa menggerayangi badan Pascal, Leah menaikkan pandangan. Pilihan yang salah. Seolah bentuk tubuh Pascal belum cukup membuat wanita menengok dua kali, Tuhan masih menganugerahkan wajah yang tidak bisa dilupakan kepada Pascal. Tatapan mata Pacal tajam, namun hangat. Hidung Pascal tidak besar, tapi panjang, dan menyempurnakan keseluruhan wajahnya. Rahang Pascal tegas dan kuat, tidak persegi dan tidak pula bulat. Satu lesung pipit muncul di pipi kanan setiap kali Pascal tersenyum. Senyum yang membuat setiap wanita di dunia ini tidak ingat pada nama mereka sendiri.

Bibir Pascal, yang tidak terlalu tebal tapi sensual, membuat Leah berharap bisa mendaratkan ciuman di sana. Pasti dia akan menjadi wanita paling bahagia kalau bisa ... Leah menggelengkan kepala untuk mengusir bayangan badannya dan badan Pascal saling menempel tanpa ada jarak satu incipun, dengan lengan Leah menggantung di leher Pascal, dan bibir Pascal dengan lihai membuai Leah hingga Leah tidak ingat lagi bahwa dia sedang patah hati.

Demi mengalihkan pikiran dari bibir Pascal yang seperti diciptakan hanya untuk membahagiakan dan memuaskan pasangannya—dan Leah yakin Pascal pasti lihai melakukannya—dan keinginan Leah untuk mencium bibir itu, Leah mengamati bagian lain wajah Pascal. Alis mata Pascal penuh, berwarna senada dengan rambut gelap pekatnya yang bergelombang. Model rambut pilihan Pascal mempertegas ketampanannya.

"Seharusnya kita nggak ketemu hari ini." Leah mengerang putus asa.

Penampilan Leah hari ini tidak masuk kategori layak untuk bertemu Pascal. Atau laki-laki mana pun yang mengagumkan. Leah menyesal karena tidak menuruti nasihat sahabatnya, Malissa. Kata Malissa, setiap orang harus keluar rumah dengan penampilan terbaik, karena bisa jadi mereka bertemu jodoh hari itu. Bertemu jodoh, Leah ingin tertawa, di hari pernikahannya yang batal ini? Yang benar saja? Dan jodohnya adalah Pascal?

"Kenapa? Kapan seharusnya kita ketemu?"

Di kehidupan berikutnya, Leah menukas dalam hati.

Tidak ada tanda-tanda Pascal akan meninggalkan Leah sendiri meratapi nasib buruknya di sini. Satu tahun berlalu dan Leah yakin ketertarikannya kepada Pascal sudah padam. Tetapi kenapa sekarang suara Pascal masih bisa membuat hati Leah berdesir, perutnya menghangat, dan jantungnya hendak melompat dari rongga dada.

Tadi pagi, saat terbangun dan menyadari hari ini seharusnya adalah hari bahagianya, Leah tidak bisa membendung air mata. Leah menangis sangat lama di tempat tidur hingga kerongkongannya kering dan hidungnya berdarah. Saat rasa sakit tidak juga hilang padahal Leah sudah lelah menangis, Leah berteriak sekencang-kencangnya. Tidak peduli kalau tetangga sebelah rumahnya akan menelepon polisi, mengira Leah dirampok atau apa. Leah baru berhenti menyesali keputusan bodohnya menerima lamaran Martin saat ponselnya berbunyi pendek. Ada pesan dari ibunya yang meminta tolong untuk dibelikan popok dan susu formula. Anaknya menginap di rumah ibunda Leah Sabtu malam dan masih di sana sampai siang ini.

Meskipun seluruh tubuhnya terasa berat, walaupun hatinya menolak diajak menghadapi realitas hidup, Leah memaksakan diri bergerak. Mencuci muka dan mengganti baju tidurnya. Sepuluh galon air tidak akan bisa menghapus kesedihan di wajah Leah. Leah asal menyambar baju di mesin pengering. Kaus Nusantara Food Rescue—perusahaan nirlaba yang didirikan Leah bersama Malissa—berwarna merah dan celana jeans usang.

Di antara hati dan pikiran yang carut-marut, siapa manusia di muka bumi ini yang sempat memikirkan pakaian untuk dikenakan membeli susu dan popok bayi? Atau mengoleskan lipstik? Untuk menyisir rambut saja Leah tidak punya hasrat, sehingga Leah hanya mengumpulkan rambut di puncak kepala dan menjepitnya. Leah hanya akan masuk ke supermarket, membeli apa yang diperintahkan ibunya, lalu kembali pulang ke rumah. Menangis terisak-isak di parkiran supermarket dan tepergok laki-laki paling tampan di dunia jelas tidak masuk rencana.

"Sorry, kalau aku mengganggu." Pascal memecah keheningan. "Aku melihatmu di sini dan kukira kamu sakit. Atau ada yang menyakitimu. Well, that's it. Aku hanya ingin memastikan kamu nggak apa-apa. Yakin kamu bisa menyetir sendiri? Aku bisa mengantarmu kalau kamu belum siap menyetir."

"Ini hari pernikahanku!" Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Leah.

"Pardon?"

"Ini hari pernikahanku," ulang Leah.

"Oh." Pascal terkejut sesaat kemudian menguasai dirinya lagi. "Ini ... bukan kebiasaanku ... ah ... menawarkan mengantar pulang ... you know ... istri orang. Kalau aku tahu kamu sudah menikah, aku akan menawarkan untuk menelepon suamimu. Hari ini kamu bilang? Kenapa kamu malah belanja, bukan sedang siap-siap ... oh, hell, this is awkward." Pascal melarikan jari-jarinya di rambut tebalnya.

"Aku bukan istri orang. Aku batal menjadi istri orang. Hari ini seharusnya aku menikah. Seharusnya. Tapi nggak jadi. Kami sudah lamaran, persiapan pernikahan sudah selesai. Tinggal menjalani saja. Tapi nggak jadi." Di antara semua orang di dunia ini, kenapa Leah memilih untuk membeberkan kisah asmaranya yang sangat menyedihkan kepada Pascal? Laki-laki yang, dalam hidup Leah, statusnya tidak lebih dari kolega?

Mungkin karena Malissa, teman curhat Leah, baru saja melahirkan dan sedang tidak punya cukup waktu untuk mendengarkan keluh-kesah Leah. Jadi Leah memanfaatkan orang pertama yang dia temui, di luar keluarganya. Bercerita pada keluarga jelas bukan pilihan, sebab Leah tidak mau membuat mereka semakin khawatir.

"Aku nggak tahu harus ngomong apa." Rambut Pascal yang diacak-acak angin tadi, kini semakin berantakan. Karena Pascal, yang masih bingung, terus menyisirnya.

Leah sampai harus mengepalkan tangannya untuk mencegah dirinya merapikan bagian-bagian rambut yang mencuat di kepala Pascal.

"Sama." Leah sendiri pun kalau mendapat kabar temannya batal menikah juga tidak akan tahu harus mengatakan apa.

"Kalau ini sesuatu yang kamu harapkan ... kalau kamu nggak ingin menikah dengannya karena alasan yang menurutmu benar ... aku bahagia untukmu. Tapi kalau kamu ditinggalkan, karena dia tidak bisa menghargaimu ... I am sorry to hear that."

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top