THREE
"Don't be sorry. Memang sudah takdirnya seperti ini. At least I learned that life doesn't always turn out like we plan." Daripada menenangkan Pascal, Leah terdengar lebih seperti sedang meyakinkan dirinya sekali lagi, agar mengikhlaskan lepasnya salah satu mimpi penting dari genggamannya. "So, you knew. Jadi kamu nggak perlu bertanya-tanya lagi kenapa aku ... begini ... di sini."
"Kalau aku jadi kamu, aku juga akan menangis."
"Dulu aku berpikir kalau aku bisa membuat rencana dengan baik dan menjalankan rencana itu, aku pasti akan mencapai apa yang kutuju dan akan bahagia. Tapi nyatanya, banyak faktor di luar kendali manusia, yang memengaruhi hasil akhir sebuah usaha." Leah semakin murung mengingat semua yang terjadi beberapa bulan ini. Tidak hanya tentang batalnya pernikahan, tapi juga rangkaian tragedi yang mendahului. Beban hidup Leah terlalu berat dan Martin tidak ingin turut menanggungnya.
"Nenekku bilang ... kebahagiaan hanya berjarak satu jengkal saja dari penderitaan. Kecelakaan, diagnosis dokter yang tidak kita harapkan, telepon yang membawa kabar duka, patah hati dan kejadian menyakitkan tak terduga yang mengubah hidup kita dalam waktu singkat bisa datang tiba-tiba dan merenggut kebahagiaan."
"Gagalnya pertunangan juga termasuk?" Leah tertawa pahit.
"Right. So, you see ... betapa rapuhnya kita dan hidup kita. Kita bisa memiliki segalanya, mampu bekerja keras untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi semesta hanya butuh satu detik saja, satu kejadian saja untuk memutar-balikkan dunia kita. Dari bahagia menjadi menderita, sehat menjadi sakit, kaya menjadi miskin, berpasangan menjadi sendirian."
Leah mengangguk setuju. "Tapi kata ibuku, meski ada banyak kemungkinan yang terjadi di luar kuasa kita, bukan berarti kita boleh berhenti berusaha mengubah nasib kita menjadi lebih baik." Dan Leah tidak tahu apakah dia sanggup memenuhi nasihat itu.
"Itu pemikiran yang bijak."
"Aku sudah terlalu tua untuk berusaha mencari cinta sejati, mencari laki-laki yang nggak brengsek, lalu mengubah nasib asmaraku," gumam Leah.
"Seseorang nggak pernah terlalu tua untuk mewujudkan mimpi mereka."
"Bagaimana kalau aku ingin menjadi figure skater? Di usiaku yang sekarang?"
"Kamu bisa mulai berlatih figure skating sekarang kalau itu yang kamu inginkan. Mungkin nggak untuk skala olimpiade, tapi menguasai teknik-teknik figure skating akan membuatmu puas dan bahagia. Bukankah itu bagian terpenting dari setiap mimpi? Membuat kita puas dan bahagia?"
"Baiklah. Umur bukan masalah. Tapi akan tetap sulit bagiku menemukan lagi seseorang yang mau menerimaku yang ... seperti ini." Ya Tuhan. Bagaimana mungkin ini terjadi. Leah curhat—nyaris meratap bahkan—kepada rekan bisnisnya.
"Seperti ini?" Nada bicara Pascal terdengar seperti Pascal tidak terima ada orang yang menghina Leah. "Apa maksudnya seperti ini?"
"Kamu nggak bisa lihat?" Leah tertawa kering.
"Bisa. Kamu luar biasa." Pascal menjawab tanpa ragu.
"Luar biasa berantakan luar dalam? Berantakan penampilannya, berantakan hatinya."
Dengan penampilan seperti ini, bagaimana bisa tadi Leah sempat membayangkan dirinya berciuman dengan Pascal? No, biarpun Leah cantik seperti bidadari, Leah tidak boleh menginginkan ciuman dari Pascal. Atau laki-laki mana pun. Sesaat setelah patah hati adalah waktu yang tidak tepat untuk memiliki hubungan apa pun dengan seorang laki-laki. Tidak peduli hanya hubungan tanpa status atau teman tapi mesra, Leah tidak boleh tergoda. Fokusnya sekarang adalah menemukan jati dirinya yang baru dan menjadi mandiri secara emosi. Karena diri Leah yang dulu, yang penuh optimisme, telah sirna ditelan kekecewaan.
"No, you aren't that. Sejak pertama kali aku mendengarmu bicara dalam diskusi itu ... I was beginning to think you can't be real. Bagaimana mungkin cerdas, baik, peduli, penuh determinasi, berani dan sangat cantik bisa berkumpul dalam diri satu wanita?"
Leah berusaha mencegah dirinya agar tidak tersipu mendengar pujian Pascal. "Kamu mendeskripsikan banyak wanita di dunia. Semua wanita di dunia."
Pascal menatap dalam-dalam wajah Leah dari samping. "Tapi yang menarik perhatianku hanya kamu."
***
Yang menarik perhatianku hanya kamu. Sampai hari ini, seminggu sejak pertemuan dengan Leah di supermarket, Pascal masih belum percaya kalimat itu keluar dari bibirnya. Walaupun Pascal tidak main-main dalam menyukai Leah, tapi seharusnya Pascal menyimpan sendiri perasaan itu untuk sementara waktu. Leah pasti menganggap Pascal adalah laki-laki paling konyol sedunia. Karena Pascal, seorang laki-laki dewasa, tidak bisa menggunakan akal sehatnya dan terlalu mengedepankan nafsu. Hell, jangankan orang lain, Pascal pun heran dengan dirinya sendiri. Tidak biasanya Pascal berbuat seperti ini.
Laki-laki waras mana yang jatuh cinta berkali-kali pada wanita yang sama? Yang tidak bisa berhenti memikirkan seorang wanita yang tidak memiliki perasaan yang sama dengannya? Yang sering bertanya-tanya—sejak pertama bertemu setahun yang lalu—bagaimana rasanya melarikan jari-jarinya di rambut indah Leah, apakah Pascal bisa membuat Leah mendesah penuh kebahagiaan jika Pascal menyentuhnya di tempat yang tepat, seperti apa rasanya mencium bibir ... dan dia melakukan itu lagi. Daydreaming. Fantasizing. Selalu saja begitu setiap kali Pascal habis bertemu Leah.
Kapan Pascal akan bisa mengendalikan dirinya? Dari pertama bertemu hingga hari ini, Pascal tidak bisa menghapus Leah dari benaknya dan tidak bisa membunuh perasaan sukanya. Bukankah, di tempat parkir supermarket yang pengap itu, Leah sudah dengan jelas mengatakan bahwa hari itu seharusnya adalah hari pernikahan Leah dengan siapa pun laki-laki tak tahu diuntung itu tapi Leah tidak jadi menikah karena dicampakkan? Seharusnya Pascal sadar, hari itu bukan saat yang tepat untuk membocorkan perasaannya kepada Leah.
Demi Tuhan, Pascal bukan lagi remaja tanggung yang tidak bisa menggunakan logika saat berhadapan dengan gadis pertama yang disukainya. Atau yang terlalu takut kehilangan kesempatan sehingga nekat saja menyatakan perasaan dan urusan malu dipikir belakangan. Ini bukan pertama kali Pascal ingin berusaha mendekati seorang wanita. Semestinya Pascal bisa mengatur langkah agar tidak terlihat teramat antusias begitu mengetahui Leah single. Hari di mana Leah tidak jadi menikah jelas bukan waktu yang tepat untuk memulai langkah pertama.
Leah dan Pascal pertama kali bertemu dalam acara diskusi nasional mengenai perubahan iklim dan dampaknya terhadap ketahanan pangan. Saat itu Pascal hadir sebagai co-founder dan CEO Third Season, perusahaan yang memproduksi bahan makanan organik dan ramah lingkungan, dengan memanfaatkan teknik pertanian vertikal dan robot. Sedangkan Leah, mewakili Nusantara Food Rescue, perusahaan nirlaba yang menciptakan serta mengelola gerakan dan aplikasi Selamatkan Makanan.
Sangat cantik adalah kesan pertama yang diingat Pascal dari Leah. She is a headturner. Setiap orang akan susah berpaling saat sudah melihat wajah Leah. Leah memiliki banyak kelebihan yang mengagumkan, tapi pada pandangan pertama, wajah Leah yang menarik perhatian Pascal. Kulit Leah mulus dan lembut seperti satin.
Bibirnya mengingatkan Pascal pada kuncup bunga mawar, yang halus, indah, dan siap merekah. Menggoda siapa saja untuk mereguk manisnya. Jika Pascal menciumnya, apakah bibir Leah akan terasa lembut dan manis seperti madu—yang berada di pusat bunga—yang akan membuat Pascal semakin ingin meneguknya, atau halus tapi panas seperti permukaan matahari yang bisa membakar gairah Pascal yang sudah meletup-letup hanya dengan memandang Leah?
Hidung Leah mungil dan tidak mancung. Matanya bulat dengan iris cokelat gelap pekat, dibingkai bulu mata yang lentik dan tebal. Pipi Leah merona alami dan warnanya semakin dalam setiap kali Leah mendapatkan pujian. Manis sekali. Her body is not anything to ignore either. Saat itu, Leah tidak sekurus sekarang. Meskipun tidak terlalu tinggi, tapi badan Leah memiliki bentuk dan lekuk yang tepat.
Pascal tidak percaya dia bisa mengingat segala sesuatu tentang Leah dengan sangat jelas hanya setelah sekali bertemu. Selama tinggal di Indonesia, Pascal berkenalan dengan beberapa wanita, baik melalui pekerjaan ataupun di luar pekerjaan. Namun tidak satu pun di antara mereka yang meninggalkan kesan begitu mendalam bagi Pascal.
Hampir-hampir Pascal bertekuk-lutut di depan Leah, saat Leah tersenyum kepada Pascal untuk kali pertama. Senyum Leah laksana senjata paling mematikan di dunia. Tidak akan ada satu pun laki-laki di dunia ini yang bisa menyelamatkan hatinya setelah sekali melihat senyum tersebut. Gigi Leah putih dan berderet rapi, kecuali satu gigi taring kanannya yang sedikit overlap. Namun sedikit ketidaksempurnaan itu justru membuat senyum Leah semakin sulit dilupakan.
Hanya dengan sekali memandang Leah, sekali mendengar suara tawa Leah, dan sekali melihat senyum Leah, Pascal langsung tahu Leah adalah seseorang yang dia inginkan untuk menjadi pasangan hidupnya. Seseorang yang telah dia nantikan sepanjang usianya. Kalau Leah terkejut dan sulit memercayai kenyataan itu, Pascal sudah berada dalam posisi itu lebih dulu. Pascal tidak tahu bagaimana, dan kenapa, dia bisa sangat menginginkan seseorang. Rasa itu nyaris tidak bisa dibendung. Tidak ada keraguan di hati Pascal bahwa leah adalah wanita luar biasa yang dia percaya akan datang ke dalam hidupnya.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top