SIX

Tanpa memberi kesempatan Leah untuk menanggapi, Malissa melanjutkan. "Bukan berarti karena kamu pernah hampir menikah dengan laki-laki yang tidak punya hati, lalu kamu bisa menyimpulkan semua laki-laki di muka bumi begitu semua. Percayalah, akan ada seseorang yang merasa dunia tidak akan bisa berputar tanpa dirimu di dalamnya. Seseorang yang mencintaimu dengan segala yang dia punya dan tidak akan pernah meninggalkanmu meski seburuk apa pun keadaannya."

Malissa tersenyum penuh keyakinan dan menatap sahabatnya. "Saat itu terjadi, Le, aku ingin berada di sampingmu dan menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat padamu."

"I don't believe in fairy tales. Not anymore." Apa yang dideskripsikan Malissa persis seperti cerita dalam buku-buku dongeng yang disukai Leah saat masih kecil dulu. Laki-laki sempurna—anak raja—mencintai wanita yang sedang menderita. Dikutuk penyihir atau apa. Lalu memberikan kebahagiaan abadi selama-lamanya. Atau seperti dalam novel romance yang tidak lagi dia baca setelah kisah cintanya tidak seindah apa yang dia dapati di dalam sana.

"But you still have dreams, right? About happy ever after, about a prince charming to come and sweep up your feet and love you till the end of times?"

"Aku sudah pernah membiarkan diriku dibuai oleh mimpi-mimpi seperti itu. Saat aku terbangun, well, aku nggak menyukai kenyataan yang nggak seindah angan-angan."

"Tapi kamu tetap mau bersahabat dengan Pascal, kan?"

"Sahabat? Kamu sahabatku dan itu sudah cukup. Aku nggak perlu sahabat lain. Kecuali kamu nggak mau lagi jadi sahabatku?"

Leah adalah salah satu orang yang percaya laki-laki dan wanita tidak diciptakan untuk bersahabat. Persahabatan di antara pria dan wanita akan berkembang menjadi cinta. Rumus dunia selalu seperti itu. Mereka yang beruntung pada akhirnya akan sama-sama jatuh cinta dan hidup bahagia selama-lamanya. Yang tidak beruntung harus menelan kekecewaan karena cintanya bertepuk sebelah tangan.

Persahabatan di antara laki-laki dan wanita tidak pernah statis. Persahabatan bisa berubah. Bisa berkembang. Pepatah lama itu benar. Ala cinta karena biasa. Mungkin pada awalnya seseorang tidak tertarik pada sahabat barunya. Tetapi begitu mereka menghabiskan banyak waktu dengan sahabat tersebut, membicarakan apa saja—termasuk yang tidak bisa diceritakan kepada orang lain, lalu mereka semakin mengenal sang sahabat, mereka akan melihat sahabat mereka dari sudut pandang berbeda. Kemudian mereka menyadari sang sahabat adalah orang yang penuh perhatian, sabar mendengarkan mereka bicara, bisa membuat mereka tertawa, menyukai anak-anak, dan lain-lain yang memenuhi kriteria pasangan yang mereka inginkan.

"Selamanya kita akan bersahabat. Tapi aku sedang sibuk dengan tiga anakku dan belum bisa mengatur waktu untuk banyak keluar rumah. Kamu perlu sesekali duduk minum kopi dan kalau ada Pascal, kamu nggak perlu duduk sendirian."

"Aku lebih suka sendirian," tukas Leah.

"Hmmm, jangan-jangan kamu nggak mau berteman dengan Pascal itu karena kamu takut jatuh cinta pada Pascal. Is there any chance you might fall in love with him?"

Leah tidak menyukai pertanyaan ini. Tetapi kalau Leah tidak menjawab, Malissa akan bertanya lagi lain hari. Demikian seterusnya. "Yes. That's what I am afraid of. Dia punya segalanya yang diinginkan wanita. Kalau aku sedang dalam posisi cari pacar atau cari suami, aku akan menerima perasaannya. Membalas bahkan. Tapi ini bukan saat yang tepat, jadi aku ingin menjaga jarak di antara kami. Sebatas rekan bisnis saja."

***

Berkebalikan dengan suaminya, yang tegas memperingatkan Pascal untuk tidak coba-coba mendekati Leah, Malissa malah terang-terangan menjodohkan Pascal dengan Leah. Beberapa kali Malissa berusaha mendorong Leah dan Pascal untuk mengobrol berdua. Tetapi Leah, dengan cerdik, berhasil menghindar. Kesempatan terbaik tercipta saat Malissa mengetahui Leah tidak membawa mobil. Tadi Leah berangkat menumpang kakaknya dan akan pulang naik taksi. Setelah Malissa dan Leah berdebat panjang, sementara itu Pascal sibuk berdoa dalam hati, semoga takdir berpihak padanya, Leah setuju pulang bersama Pascal.

"The twins are adorable." Pascal memecah keheningan. Semenjak meninggalkan rumah Malissa, Leah hanya melamun dan melemparkan pandangan ke jendela kiri mobil. "Tapi aku nggak bisa membayangkan seperti apa capeknya Lamar dan Malissa. Punya dua anak kembar yang sangat aktif dan bayi yang baru lahir."

"Apa kamu punya anak?"

"Aku belum menikah." Mobil Pascal berhenti di lampu merah.

"Orang nggak harus menikah untuk punya anak."

"Betul. Tapi aku ingin menikah dulu baru punya anak."

"Kenapa kamu belum menikah? Umurmu sudah berapa? Tiga puluh tujuh?" Sedetik kemudian, Leah sadar dirinya harus meminta maaf, karena dua kali mengeluarkan pertanyaan tidak menyenangkan. Kalau Leah tidak suka ditanya mengenai masalah kapan menikah, kenapa tidak kunjung menikah, apa Leah tidak ingin punya anak seperti teman-temannya yang lain dan sejenisnya, seharusnya Leah tidak melakukannya kepada orang lain.

Pascal tertawa sebelum kata maaf terucap dari bibir Leah. "Masa aku kelihatan setua itu? Aku belum menikah karena aku belum bertemu seseorang yang tepat untukku."

"Kenapa orang selalu berpikir mereka harus menunggu seseorang yang tepat untuk menikah? Marriage is not about finding the right person. It's about being the right person. Seseorang yang tepat untukmu, kalau kamu mencarinya, mungkin akan perlu waktu sangat lama untuk menemukannya. Itu juga kalau ada.

"Atau seseorang yang kamu pikir tepat untukmu, bisa jadi nggak mencintaimu. Tapi kalau seseorang mencintaimu, dia akan berusaha menjadi orang yang tepat untukmu. Dia nggak akan keberatan untuk berkompromi."

"Berarti aku belum menikah karena belum ada seseorang yang mau menjadi pasangan yang tepat untukku." Mobil Pascal bergerak kembali. Pascal berharap ada kemacetan parah di sepanjang jalan. Supaya Pascal bisa lebih lama mengobrol dengan Leah.

"Kamu beruntung karena kamu laki-laki, jadi bisa menunggu sesukamu dengan santai. Nggak dikejar-kejar pertanyaan kapan kamu akan menikah. Kamu nggak perlu mengkhawatirkan berkurangnya kesempatan punya anak kandung, karena kemampuan itu nggak akan terhapus dari badanmu. Beda dengan wanita, yang hidupnya dianggap belum lengkap kalau belum menikah, belum punya anak kandung."

"Kata siapa? Nenekku sangat rajin menyuruhku segera menikah. Bahkan belakangan beliau pakai jurus baru, bilang umur beliau nggak akan panjang lagi dan beliau ingin melihatku menikah sebelum beliau meninggal."

"Oh, apa ... nenekmu sedang sakit?" Kekhawatiran mewarnai suara Leah.

"Nenekku sehat, untuk orang seusianya."

"Tapi sakit bukan satu-satunya penyebab kita kehilangan seseorang yang kita cintai...." Suara Leah bergetar penuh kesedihan, teringat pada sepupu dan suami sepupunya.

"Laki-laki menghadapi tekanan juga, terkait menikah dan berkeluarga. Meskipun aku nggak tahu apakah lebih berat daripada wanita." Pascal mengubah topik pembicaraan. Karena tidak ingin melihat Leah bersedih. Kalau Leah menangis sekarang, Pascal tidak akan tahu harus melakukan apa, kecuali menarik Leah ke pelukannya. Kalau itu terjadi, Leah akan marah-marah, menganggap Pascal lancang. "Selain pertanyaan menyebalkan itu, bentuk tekanan lain juga ada. Misalnya, dulu aku bisa dengan mudah bertanya kepada teman-temanku weekend nanti kami mau ke mana, mau melakukan apa, sekarang tidak bisa lagi.

"Teman-temanku sudah menikah dan berkeluarga. Jadi mereka menghabiskan waktu luang dengan anak dan istri. Jalan-jalan dengan anak istri. Bahkan mereka membuat lingkaran baru, beranggotakan para suami dan ayah. Outing pasti membawa pasangan dan anak-anak."

"Jadi kamu tersisih?"

"Iya. Karena nggak cocok lagi bergabung di circle mereka, jadi hari libur aku selalu sendirian. Nggak punya pacar. Belum punya istri. Karena aku nggak ingin terlihat kalah sibuk dengan mereka yang sudah menikah, biasanya aku berusaha mencari kegiatan di akhir pekan, yang menyenangkan, yang bisa dilakukan sendiri, yang pantas dipamerkan, supaya mereka lihat dan aku bisa membuktikan kepada mereka bahwa single itu lebih membahagiakan."

"Aku nggak pernah tahu kalau ... seperti itu," gumam Leah agak keras.

"Secara global, angka bunuh diri di antara laki-laki yang seumuran denganku ... atau lebih tua ... tapi masih single itu tinggi. Sebab dibandingkan dengan wanita, yang lebih nyaman mencurahkan perasaannya kepada orang lain, yang lebih berani menceritakan kegundahan, kesepian, kekecewaan, keputusasaan, atau kecemasan kepada orang lain, laki-laki lebih memilih memendam semuanya sendiri. Supaya tidak dibilang cengeng. Tidak dibilang lemah."

"Apa kamu ... dan mereka nggak punya sahabat, orang yang bisa kalian percaya?" Beruntung Leah memiliki Malissa yang selalu ada untuknya. Walaupun akhir-akhir ini Malissa lebih sibuk daripada biasanya, tapi kalau Leah sangat perlu teman curhat, Malissa akan meluangkan waktu untuk mendengarkan.

"Punya. Tapi, ya, nggak manly katanya kalau laki-laki saling curhat dari hati ke hati. Seperti yang kubilang tadi, laki-laki khawatir dibilang cengeng dan lemah, kalau mengeluhkan status single dan nggak bahagia dengan status itu. Jadi laki-laki cenderung memilih pura-pura bahagia dan pura-pura puas dengan apa yang mereka miliki—karier, mobil, rumah, apa pun.

"Bahkan banyak laki-laki berusaha keras menunjukkan siapa yang butuh istri, aku lebih bahagia sendirian, bebas mengejar karier, bebas mau menggunakan uangku untuk apa, bebas pergi ke mana saja, seperti itu ketika merasa ketinggalan dengan teman-temannya. Saat sudah tidak kuat lagi melakukan itu, mereka lebih memilih mati daripada ketahuan menderita."

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top