One
Boulevard Of Wedding Dreams update setiap hari Selasa. Baca juga Sepasang Sepatu Untuk Ava, ongoing di Wattpad ikavihara. Follow IG/Karyakarsa/TikTok ikavihara.
###
Seharusnya hari ini adalah hari pernikahannya. Hari bahagianya. Hari ketika dia tersenyum dengan hati berbunga-bunga bersama suami barunya sambil menerima ucapan selamat dari semua orang yang memenuhi undangannya. Namun, bukannya duduk di pelaminan dan menikmati menjadi ratu sehari, sekarang Leah justru harus berjongkok di lapangan parkir supermarket dan menangis sesenggukan. Sendirian. Tanpa siapa-siapa di sampingnya. Hanya penyesalan dan rasa sakit yang menemaninya. Rasa sakit yang sungguh tak terperi. Leah tidak sanggup berdiri lebih lama lagi dan menanggung beban berat ini.
Banyak pertanyaan berkecamuk di benak Leah. Pertanyaan yang tidak akan pernah dia ketahui jawabannya, sebab Leah bersumpah tidak akan pernah lagi berurusan dengan laki-laki brengsek itu. Jangankan bertemu, mendengar nama laki-laki itu disebut saja Leah tidak sudi. Kenapa laki-laki yang pernah mengaku mencintainya, justru tega menjatuhkannya ke dalam jurang penderitaan yang tak berdasar? Dicampakkan setelah tanggal pernikahan diumumkan dan kertas undangan dibagikan tidak hanya menyakitkan. Tetapi juga memalukan. Sangat memalukan.
Leah menyentuh dadanya yang sesak dengan satu tangan. Tangan kanannya bertumpu pada bagasi mobil yang terbuka, demi membuat dirinya tidak jatuh terduduk di atas paving keras. Sekarang Leah benar-benar tidak punya sisa energi untuk menopang tubuhnya. Semua sudah habis untuk membereskan kekacauan atas batalnya resepsi pernikahan. Gaun pernikahan sudah jadi, gedung sudah disewa, menu makanan sudah ditentukan, daftar lagu yang akan dinyanyikan selama resepsi sudah dipilih, bahkan ke mana mereka akan berbulan madu pun sudah disepakati. Badan Leah rasanya lelah sekali. Betapa tidak? Lebih dari enam bulan Leah mencurahkan seluruh tenaga, hati, dan pikiran untuk mempersiapkan hari istimewanya. Sebab Leah ingin memiliki pesta pernikahan—yang dipercaya Leah hanya akan terjadi sekali saja seumur hidupnya—yang sempurna dan sesuai angannya.
Tetapi semua kerja keras Leah tidak ada gunanya. Pernikahan tersebut tidak terjadi dan tidak akan pernah terjadi. Setelah uang telanjur hilang dan banyak waktu terbuang, tak sekali pun laki-laki kurang ajar itu menghubungi Leah. Tidak ada kata maaf darinya. Tidak pula ada tawaran bantuan untuk membereskan masalah besar yang timbul akibat keegoisannya. Semua menjadi beban bagi Leah dan keluarganya. Leah tidak tahu dengan cara apa dia akan bisa membalas budi kedua orangtua, kakak dan kakak ipar, serta sahabatnya. Yang terus berada di sisinya dan membantunya tanpa sekali pun menghakiminya.
Sebulan terakhir Leah meyakinkan orangtua dan orang-orang terdekatnya bahwa dirinya baik-baik saja dan sudah bisa mengikhlaskan batalnya pernikahan tersebut. Leah juga ingin percaya dirinya sudah bangkit. Namun Leah salah. Saat melihat kardus berisi suvenir pernikahan—yang telanjur dibuat—di ruang tamu rumah kontrakannya tadi pagi, Leah terduduk di lantai dan menangis tersedu-sedu. Rasa sakit menghantamnya dari segala sisi. Hingga Leah limbung dan tidak bisa lagi berdiri tegak. Di mana orang bisa membeli obat sakit hati? Adakah toko yang menjual jubah gaib yang bisa membuat Leah bergerak dari satu tempat ke tempat lain tanpa terlihat orang lain, supaya Leah bisa terbebas dari tatapan kasihan? Suvenir-suvenir pernikahan bisa dibakar dan dilenyapkan dari hadapannya. Tetapi trauma yang timbul atas kejadian ini tak akan pernah bisa dihapus.
Masalah tidak berhenti sampai di situ. Setelah ini, bagaimana Leah akan menyelamatkan nama baik dan harga diri orangtuanya? Menurut standard di keluarga besarnya, di mana rata-rata wanita menikah pada usia dua puluh lima tahun, bahkan kurang dari itu, menikah pada usia tiga puluh tahun dinilai sebagai sebuah kegagalan. Kalau sudah lewat usia tiga puluh tahun? Mimpi buruk. Sebab yang menjadi bahan gunjingan bukan hanya Leah, tapi orangtua Leah juga. Leah merasa sangat bersalah telah menempatkan kedua orangtuanya pada posisi itu.
"Ganti saja nama Leanna itu. Mungkin dia susah dapat jodoh karena namanya bawa sial." Suatu waktu Leah pernah mendengar salah satu budhe-nya bicara kepada ibunda Leah. "Kurang sial bagaimana? Sudah mau menikah juga masih bisa ditinggal. Leah itu sudah disalip sepupu-sepupunya yang lebih muda. Namanya itu yang bawa sial, yang bikin dia seret jodohnya. Diganti saja. Mumpung Leah belum terlalu tua. Masih bisa cari laki-laki yang mau dengannya. Kasih nama anak kok aneh-aneh."
Leah menarik napas panjang dan mencoba menelan isakannya, supaya tidak terlalu menarik perhatian orang. Masih jelas terekam di benak Leah, hari ketika Martin, pacarnya waktu itu, menyatakan niatnya untuk menikah dengan Leah. Leah menyambut niat tersebut dengan haru dan bahagia karena dia mencintai Martin. Tidak lama kemudian, Martin melamar Leah kepada kedua orangtua Leah. Seminggu setelahnya, kedua keluarga mereka bertemu. Orangtua Leah dan orangtua Martin saling berbincang dengan akrab. Calon mertua Leah tidak henti-hentinya mengungkapkan kegembiraannya atas pertunangan anaknya dengan Leah dan menerima Leah sebagai bagian dari keluarga dengan penuh sukacita. Tanggal pernikahan ditentukan hari itu juga.
Tetapi sayang takdir berkata lain. Akad dan resepsi pernikahan yang sudah susah payah direncanakan dan dipersiapkan harus diakhiri tanpa pernah dimulai. Ini memang bukan patah hati pertama dalam hidup Leah. Hubungan serius di masa dewasa Leah sudah pernah gagal sebelumnya. Tetapi semua itu terjadi selama masa pacaran. Bukan saat sudah bertunangan dan satu langkah lagi menuju pernikahan.
This is unlike any other breakup on any level. Hanya sakit saja yang dia rasakan ketika kehilangan pacar. Tidak disertai rasa malu yang teramat sangat. Bukan hanya malu sebab harus menghubungi para undangan dan memberi tahu bahwa mereka tidak perlu hadir pada waktu yang telah diberitahukan. Atau karena harus mendatangi bakery, gedung, dan lainnya untuk membatalkan pesanan. Yang jauh lebih memalukan adalah semua orang tahu bahwa Leah tidak cukup pandai, tidak cukup bijak, dan tidak cukup dewasa untuk mengetahui calon suaminya ternyata tak sebaik yang dia kira.
Di keluarga besarnya, baik dari pihak ayah maupun ibu, Leah adalah satu-satunya orang yang menempuh pendidikan sangat tinggi dan menjadi orang pertama yang meraih gelar doktor. Menurut mereka, orang hebat seperti Leah seharusnya tidak mudah diperdaya laki-laki. Kalau memang Leah cerdas, semestinya Leah bisa tahu sedari awal bahwa calon suaminya tidak akan kabur meninggalkannya. Tetapi apa yang terjadi?
"Percuma sekolah tinggi-tinggi kalau masih kena tipu laki-laki." Satu kalimat dari salah satu sepupu hingga hari ini masih terngiang di telinga Leah. "Mending kita yang biasa-biasa aja, gampang dapat pacar, menikah, dan bahagia. Hidup itu nggak usah aneh-aneh."
Bagaimana bisa mereka mengaitkan urusan asmara dengan pendidikan, Leah juga gagal paham. Apa hanya karena Leah berpendidikan tinggi lalu Leah harus tahu segalanya? Hanya karena Leah punya gelar doktor, lantas Leah bukan lagi manusia yang memiliki keterbatasan? Leah tidak boleh membuat kesalahan? Semua keputusan yang dibuat Leah harus selalu benar? Kenapa mereka menuntut hidup Leah harus sempurna di segala aspek, tapi saat Leah gagal sekali saja, mereka tidak sabar untuk membuka mulut dan mengolok Leah?
"Need help?"
Leah hampir meloncat, kaget mendengar pertanyaan itu. Yang diucapkan dengan suara yang dalam dan penuh perhatian. Perhatian? Ada laki-laki yang perhatian padanya? Leah ingin tertawa. Pasti Leah sedang berhalusinasi, sebab dia berharap hari ini ada telinga yang mau mendengarkannya mencurahkan semua isi hati yang kian lama kian berat ini.
"Leanna?"
Ya, Tuhan, Leah mengerang dalam hati dan memejamkan mata. Kenapa harus sekarang takdir mempertemukan Leah dengannya? Laki-laki yang dulu pernah membuat Leah nyaris lari terbirit-birit. Pada pertemuan mereka, setahun yang lalu, Leah terpesona pada laki-laki yang menjabat tangannya dan tersenyum padanya. Kalau tidak ingat dia punya image yang harus dijaga, Leah sudah kabur dari hadapan Pascal dan seseorang—Leah tidak terlalu ingat, moderator acara mungkin—yang memperkenalkan mereka. Hubungan Leah dengan Martin sudah menuju tahap pernikahan saat itu, akan sangat berbahaya jika Leah sampai tertarik pada laki-laki lain.
"Leanna?" Laki-laki itu ikut berjongkok di samping Leah. "Are you okay?"
No, I am not okay. Leah ingin berteriak dan menangis meraung. Tidak peduli kalau semua orang datang dan menyeretnya ke rumah sakit jiwa.
Tetapi Leah memilih menarik napas beberapa kali, untuk menenangkan jantungnya yang berdetak tak terkendali. Semoga karena Leah sedang cemas. Bukan karena Leah gugup hanya karena berhadapan dengan laki-laki tampan. Atau karena Leah samar mencium aroma parfum yang segar dan sangat jantan. Demi Tuhan, dia wanita dewasa, bukan anak remaja yang salah tingkah saat bertemu dengan cowok yang sering dibayangkan menjadi pacarnya. Lagi pula Leah baru saja disakiti laki-laki tampan—walaupun tidak setampan yang ini—jadi seharusnya Leah kapok dan hatinya mati rasa.
Atau mungkin reaksi ini wajar. Sudah lama Leah tidak berduaan dengan teman laki-laki sehingga Leah takut dia lupa cara membawa diri. Sebulan terakhir, laki-laki dewasa yang berinteraksi dengannya hanyalah ayah dan kakaknya. Itu juga melalui telepon. Leah lebih banyak mengurung diri di rumah. Rumah kecil yang dia sewa. Keputusan menyewa rumah itu sempat menyebabkan Leah beradu argumen dengan keluarganya.
Bukan tanpa alasan Leah mengambil langkah besar di tengah sengkarut kehidupannya. Rumah orangtuanya berisi penuh kenangan tentang Cessa—sepupu Leah, yang dibesarkan seperti anak kandung oleh orangtua Leah, sosok adik perempuan yang sangat disayangi Leah—yang mengakhiri hidup sebulan yang lalu. Jika tinggal di sana setiap hari, Leah tidak akan bisa berhenti menangis. Dapur, ruang makan, kamar mandi, televisi, bahkan keset kamar mandi bisa menjadi pembuka keran air mata. Selain itu, Leah tidak sanggup berlama-lama menatap wajah orangtuanya tanpa didera perasaan bersalah karena telah mempermalukan mereka buntut batalnya pernikahan dengan Martin.
Demi bisa bernapas dan membebaskan dirinya dari semua perasaan itu, Leah menyewa rumah dan memilih tinggal sendiri. Tetapi sendiri yang tidak benar-benar sendiri. Leah adalah seorang ibu sekarang. Ada seorang anak yang menganntungkan hidup padanya. Di tengah semua bencana yang terjadi, Leah tidak sempat berpikir jauh ke depan. Bahkan menyusun langkah untuk menghadapi berakhirnya masa cuti dan Leah harus kembali bekerja pun Leah tidak sempat.
Beruntung ibunda Leah menawarkan diri untuk menjaga cucunya. Walaupun setiap hari Leah harus repot-repot mengantar dan menjemput anaknya, tapi itu tetap lebih daripad atinggal serumah dengan orangtuanya baik sebab Leah hanya perlu bercakap dengan orangtuanya sepuluh atau lima belas menit saja setiap hari. Tidak setiap selepas makan malam hingga waktu tidur setiap hari.
Kekhawatiran mereka bisa dipahami. Mereka tidak ingin apa yang terjadi pada Cessa terulang kembali, sehingga celah sekecil apa pun yang memungkinkan peluang itu, mereka ingin menutupnya.
"Leanna, are you okay?" ulang laki-laki itu.
Leah memaksakan seulas senyum untuk menunjukkan dia baik-baik saja, meskipun tidak tahu apa gunanya senyuman, sebab wajahnya sembab dan berlinang air mata.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top