FOUR
Sepanjang acara diskusi nasional waktu itu, Pascal kesulitan mengalihkan pandangan dari Leah, yang sedang menjelaskan bagaimana upaya perusahaan nirlaba yang dipimpinnya untuk mencegah pemanasan global lingkungan sekaligus mencegah kelaparan. Bagimana Pascal bisa menyimak dan pada saat bersamaan mengagumi Leah, Pascal tidak tahu. Passion dan kecintaan Leah terhadap teknologi informasi dan kelestarian lingkungan membuat Pascal semakin ingin mengenal Leah lebih dekat. Semakin ingin mengetahui lebih banyak tentang Leah. Tetapi sayang, pada acara tersebut tidak tersedia banyak kesempatan. Begitu juga dengan hari-hari selanjutnya. Sebab ketika mereka bertemu untuk kedua kali, sudah ada cincin pertunangan di jari manis Leah.
Pascal memarkirkan mobilnya agak jauh dari rumah yang hendak dia datangi. Deretan mobil sudah mengular panjang, padahal acara baru akan dimulai setengah jam lagi. Salah satu teman baik Pascal sekaligus investor Third Season, Lamar Karlsson, mengundang Pascal untuk menghadiri acara syukuran kelahiran anaknya.
"Pascal." Lamar dan istrinya menyambut Pascal. "Terima kasih sudah datang."
Karena sibuk melamun, Pascal tidak menyadari dirinya sudah berdiri di teras rumah. Kepada Malissa—istri Lamar—Pascal menyerahkan tote bag putih besar bergambar logo Third Season besar berwarna hijau, berisi aneka sayuran yang ditanam Third Season.
"Apa Lamar nggak kasih tahu kamu, kalau tamu yang datang nggak perlu bawa hadiah?" Sambil melempar tatapan bertanya kepada suaminya, Malissa menerima tas tersebut.
"Kamu nggak mau sayuran? Kalau begitu biar aku...."
Malissa tertawa dan menjauhkan tas itu dari jangkauan Pascal. "Maulah. Anak kami tiga sekarang, kami nggak akan menolak siapa pun yang memberi kami makanan. Thank you."
"Jangan ngomong begitu, dong, Sayang. Nanti orang-orang berpikir aku nggak pernah menafkahi keluargaku." Lamar tertawa dan mencium puncak kepala istrinya.
"Awww, semua orang tahu kamu suami terbaik di dunia." Malissa mencium pipi suaminya. "Kalau kamu masak makanan kesukaanku pakai ini, kamu akan dapat ucapan terima kasih yang spesial dariku."
Rasa iri muncul di hati Pascal. Pada usianya sekarang—yang lebih tua dari Lamar—Pascal belum juga mendapatkan apa yang sudah dimiliki teman-temannya. Pernikahan. Istri. Anak. Keluarga.
Seperti apa rasanya memiliki keluarga? Benar-benar keluarga dalam arti sesungguhnya. Bukan hanya sebatas nama di kartu keluarga. Setiap hari pulang ke rumah dan bertemu dengan istri dan anak yang menghujani dengan ciuman dan cinta, apakah menyenangkan? Pascal tidak tahu. Sejak kecil hingga hari ini, Pascal belum pernah tinggal di dalam rumah dengan keluarga yang harmonis dan hangat seperti yang dibangun Malissa dan Lamar.
"Leah. Kukira kamu nggak bisa datang." Suara Malissa memutus gerbong pikiran Pascal.
"Demi keponakan baruku ini." Leah memeluk Malissa lalu salaman dengan Lamar.
"Hai, Le. Apa kabar?" Pascal mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Leah.
"Baik." Jawaban Leah hanya berupa gumaman dan Leah tidak mau memandang Pascal.
"Pascal, Elmar, Halmar, dan Papa mau ketemu." Lamar memberi tahu Pascal sambil menyebutkan nama kedua kakak laki-lakinya.
Sudah lama Pascal menanti-nanti kesempatan ini. Kesempatan untuk bertemu dengan Elmar dan Halmar—dua orang yang menjadi suri teladannya, sebab masing-masing sukses dengan pabrik mebel modern dan perusahaan bioteknologi—untuk berdiskusi dan belajar dari mereka. Namun saat pintu kesempatan terbuka lebar di depan matanya, Pascal justru ingin tetap berdiri di teras bersama Leah.
"Lupakan keinginanmu untuk mendekati Leah," kata Lamar saat meninggalkan teras.
"What?" Pascal berusaha memusatkan fokus kepada temannya.
"Lupakan niatmu untuk mendekati Leah," ulang Lamar. "Her plate is already full. Jangan menjadi masalah baru untuk Leah. Ini peringatan serius, Pascal."
"Aku nggak punya niat apa-apa." Pascal mengingkari perasaannya, karena tidak ingin terjadi pertengkaran di antara keduanya di sini. Lamar sedang dalam mode protektif. "Tapi aku ingin tahu ... kenapa Leah kelihatan berbeda. Nggak seperti dulu. Dulu dia riang. Banyak tersenyum. Sekarang dia lebih pendiam. Nggak semangat. Apa karena batal menikah?"
"Kalau dua orang yang kamu cintai meninggal, lalu kamu ditinggalkan seseorang yang kamu pikir mencintaimu menjelang hari pernikahan, dan semua itu terjadi dalam hitungan bulan saja, kamu pasti nggak akan pernah bisa tersenyum lagi."
Pascal menatap Lamar tidak mengerti. "Dua orang?"
"Kamu dengar kecelakaan pesawat beberapa bulan lalu?" Setelah Pascal mengangguk, Lamar melanjutkan, "Suaminya sepupu Leah termasuk korban meninggal. Jenazahnya nggak ditemukan. Sepupunya Leah sedang hamil dan begitu mendengar kabar itu, langsung dilarikan ke rumah sakit karena melahirkan lebih cepat. Syok sepertinya."
"Is ... the baby okay?"
"Yes. Tapi sepupu Leah meninggal. Sekitar dua bulan setelah melahirkan. Sepupu Leah itu dibesarkan oleh orangtua Leah sejak kecil, bersama Leah, jadi mereka berdua sudah seperti kakak dan adik. Bayangkan di saat seperti itu, bukannya setia mendampingi, calon suaminya malah membatalkan pernikahan."
"What the fuck?" Pascal mengumpat pelan.
"Exactly. Bayangkan seperti apa hidup Leah sekarang. Dia nggak memerlukan tambahan masalah lagi, yang membuatnya pusing."
Pascal tidak sempat tersinggung sebab Lamar mengategorikannya sebagai masalah untuk Leah sebab sibuk mengutuk laki-laki tidak tahu diri itu. Bagaimana mungkin ada laki-laki yang tidak bisa memilih waktu yang lebih baik untuk menghancurkan hati seorang wanita? Walaupun tidak akan pernah ada saat yang tepat, tapi masa di mana tunangannya sedang berduka seharusnya dihindari.
"She deserves better than that. Better than him. Laki-laki lemah dan pengecut seperti bajingan itu tidak pantas mendampinginya. Leah harus menikah dengan seseorang yang benar-benar mencintainya. Yang tidak akan pernah meninggalkannya. Whether she is broken or totally together, happy or sad. Are you up to do that, Pascal?"
"What?" Pascal tidak tahu apa yang salah dengan dirinya hari ini. Sehingga dia kesulitan menjawab perrtanyaan-pertanyaan dari Lamar.
"Aku tanya apa kamu siap menjadi laki-laki yang tepat untuk Leah?" ulang Lamar dengan tidak sabar. "Kalau kamu tidak siap, mundur saja dari sekarang."
Memang pertanyaan Lamar sederhana. Tetapi jawabannya maharumit. "Kenapa aku?"
Lamar tertawa. "Aku tidak bodoh, Pascal. Aku melihat bagaimana kamu memandang Leah. Kamu nggak perlu mengingkarinya. Kamu menginginkan Leah."
"Nggak ada beda antara caraku memandang Leah atau siapa pun."
"Kamu memandangi semua orang seperti aku memandangi istriku? Aku memang bukan ayahnya Leah atau kakak laki-lakinya. Aku nggak ada hubungan darah dengannya. Tapi dia adalah sahabat istriku. Kalau Leah patah hati, istriku ikut sedih. Aku nggak mau itu terjadi.
"Jadi aku memperingatkanmu sekali lagi, kalau kamu hanya ingin menambah masalah dalam hidup Leah, aku sarankan menjauhlah dari Leah mulai detik ini. Kalau dia sampai menangis dan patah hati gara-gara dirimu, aku nggak akan mengampunimu."
***
Seharusnya saat ini dia sedang berbulan madu bersama suaminya. Di Italia. Menikmati suasana sambil bergandengan tangan, menjajal jajanan-jajajan enak tepi jalan, melihat-lihat karya seni klasik terbaik Michealangelo di Accademia Gallery atau The Birth of Venus milik Botticelli di Uffizi Gallery, lalu mereka berciuman di bawah langit berhiaskan matahari terbenam di atas perahu di Sungai Arno. Setelah makan malam yang sangat romantis di antara remang cahaya lilin, mereka akan kembali ke kamar hotel dan tidak keluar dari sana hingga waktu kepulangan ke Indonesia tiba. Karena sibuk memuaskan dan membahagiakan satu sama lain.
Sayangnya semua itu tidak terjadi. Leah hanya bisa berandai-andai, membayangkan apa jadinya kalau dia mengambil keputusan berbeda. Bagaimana jika Leah tidak pernah meminta menunda pernikahan? Apa pernikahan itu jadi dilaksanakan? Adakah jaminan setelah menikah, Martin tidak ingin meninggalkan Leah? Seandainya Leah tidak menerima pernyataan cinta Martin dan tidak menjalin hubungan sama sekali dengannya, akankah cerita hidupnya akan berbeda? Mungkinkah Leah memiliki kesempatan untuk bahagia bersama Pascal? Atau bisa jadi saat ini Pascal dan Leah malah sudah berbulan madu?
Leah mendengus. Kenapa seminggu ini, dirinya, setiap kali memikirkan apa pun, Pascal selalu menginvasi? Sia-sia saja Leah menghindari Pascal sampai rela duduk sendirian di dapur rumah Malissa kalau Leah tidak bisa menghapus Pascal dari benaknya. Tetapi ini lebih baik. Berinteraksi langsung dengan Pascal selalu membuat Leah malu sendiri. Usia sudah tiga puluh tahun, tapi begitu Pascal memanggil namanya, Leah salah tingkah seperti remaja tiga belas tahun. Dadanya berdebar-debar, pipinya menghangat, perutnya bergejolak karena banyak kupu-kupu menari di dalamnya, otak Leah tidak bisa berpikir dengan baik dan bibir Leah kesulitan merangkai kata. Semua menjadi semakin runyam setelah Pascal mengaku tertarik pada Leah setelah Leah menangis di parkiran supermarket waktu itu.
***
Cerita Lamar Karlsson dan Malissa Niharika bisa dibaca dalam Right Time To Fall In Love, gratis, legal, dan halal di apk iPusnas. Kamu baca gratis, aku tetap dapat royalti :-)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top