FIVE

Saat ini acara syukuran kelahiran Raffa Karlsson sedang berlangsung. Tetapi Leah tidak bisa ikut berbahagia sepenuhnya bersama banyak orang lainnya. Sebabnya, pikiran Leah sedang tidak berada di sini bersama tubuhnya. It feels like she is living a double life—the wrong life, present in one spot but her mind in another. Seperti di lokasi parkir supermarket waktu itu, di mana Leah bertemu Pascal. Bukannya memasukkan barang belanjaan ke mobil, Leah justru sibuk membayangkan hari itu dia berdiri di pelaminan. Lalu sekarang, di dapur rumah orang, Leah membayangkan dirinya sedang berbulan madu di Florence, padahal sedang menghadiri selamatan.

Masih terekam jelas di ingatan Leah apa yang terjadi malam itu, beberapa hari setelah Cessa—sepupu Leah—meninggal dunia. Setiap malam Martin menghadiri doa bersama di rumah orangtua Leah. Pada malam ketujuh, Leah meminta Martin untuk tidak pulang dulu. Ada yang harus mereka diskusikan. Karena Martin adalah salah satu orang terdekat Leah dan tahu betul seperti apa kenyataan yang dihadapi Leah sejak jatuhnya pesawat yang ditumpangi suami Cessa, Leah yakin Martin akan mau berkompromi.

"Pernikahan kita tinggal sebulan lagi. Semua persiapan sudah hampir selesai." Saat itu Leah yang membuka percakapan. Mereka duduk bersisian di teras rumah orangtua Leah yang sudah sepi. "Tapi aku dan keluargaku, kami belum siap untuk mengadakannya. Kami semua masih berduka. Banyak urusan David dan Cessa yang harus kami selesaikan.

"Aku juga perlu waktu untuk memproses semua ini dan memulihkan diri. Aku nggak bisa bersenang-senang di saat seperti ini. Jadi, gimana kalau kita memundurkan tanggal pernikahan? Tiga bulan saja? Tetap hari Minggu, tapi tiga bulan dari sekarang. Aku sudah hitung, penambahan biayanya nggak akan terlalu banyak. Aku dan keluargaku yang akan menutupnya.

"Gedung juga kosong di tanggal itu. Edna di E&E nggak masalah kalau harus menunda membuat kue pengantin kita. Kakak iparku akan membantu memberi tahu para tamu. Lain-lainnya bisa disesuaikan juga." Sebelum bicara dengan Martin, Leah sudah lebih dulu mencari tahu—walaupun tidak terlalu mendetail—konsekuensi apa saja yang akan timbul jika mereka memundurkan tanggal pernikahan.

Malam itu Martin tidak mengatakan apa-apa dalam waktu cukup lama. Hingga Leah harus dua kali memanggil namanya. Pembicaraan tersebut harus cepat selesai, sebab Leah sudah sangat lelah. Baik fisik maupun mental. Leah sangat memerlukan istirahat. Yang panjang dan lama. Oleh karena itu Leah mengusulkan pergantian tanggal pernikahan. Lagi pula tidak elok rasanya kalau Leah berpesta sementara itu Cessa—yang sudah seperti adik kandung Leah sendiri—masih basah makamnya.

Namun begitu Martin membuka mulutnya, kalimat yang keluar dari sana bagaikan petir di siang bolong. Langsung menyambar Leah tanpa peringatan hingga Leah terkapar di tanah.

"Aku sudah berpikir, Le. Menurutku, menikah bukan ... yang terbaik untuk kita. Aku mau pernikahan kita dibatalkan saja. Aku nggak bisa menikah sama kamu."

Leah berusaha mati-matian menguasai dirinya saat itu di tengah rasa kecewa. Agar tidak meneriaki Martin dan melempar kursi ke kepala Martin. Kenapa laki-laki yang mengaku mencintainya, ternyata tidak punya hati nurani? Tidak mau memahami posisi Leah, yang baru saja ditinggal pergi dua orang anggota keluarga, dan justru menghancurkan hati Leah?

"Tapi ... tapi semua persiapan pernikahan sudah final. Uang yang sudah kita bayarkan nggak akan bisa kembali. Kerugian kita akan lebih banyak kalau kita nggak jadi menikah. Tiga bulan memang agak lama, tapi aku perlu waktu. Untuk istirahat dulu. Semua yang terjadi ini membuatku sangat lelah." Leah mencoba menawar dengan sisa-sisa harapan.

Mungkin Martin sudah tidak sabar ingin segera menikah, karena ditekan keluarganya, sebab menurut pengakuan Martin, kedua orangtuanya ingin segera punya cucu. Saat itu Leah masih berprasangka baik.

"Tanggalnya mundur atau nggak, aku tetap ingin batal. Aku nggak bisa menikah sama kamu," kata Martin dengan tidak sabar.

"Yang benar saja." Leah tertawa getir. "Baru berapa bulan yang lalu kamu melamarku, kamu bilang kamu mencintaiku. Di depan kedua orangtua kita, kamu juga bilang dengan yakin kamu mencintaiku dan ingin menikah denganku. Kamu bilang pada ayahku kalau kamu akan selalu membahagiakan aku.

"Sekarang saat aku dan keluargaku sedang ditimpa duka berturut-turut dan kami minta waktu untuk menyesuaikan diri dengan hidup kami yang baru, hidup yang harus kami jalani tanpa mereka yang kami cintai, kamu bilang kamu nggak bisa menikah denganku? Kamu ingin pertunangan kita diakhiri dan persiapan pernikahan kita dibatalkan?"

"Itu yang kuinginkan, Leah. Aku nggak bisa menikah sama kamu." Martin bangkit dari duduknya. "Sudah malam. Aku harus pulang. Nanti aku akan menghubungimu, untuk membantumu mengurus ... semuanya."

Seandainya hati bisa remuk menjadi miliaran keping, milik Leah pasti sudah berserakan menutupi seluruh permukaan bumi. Tidak ada alasan dan penjelasan dari Martin malam itu. Bahkan, setelah dengan sengaja semakin memorak-porandakan hidup Leah, yang sudah tidak berbentuk karena ditinggal mati dua orang keluarganya, dengan mencampakkan Leah seperti Leah adalah benda tidak berguna, satu kata maaf pun tidak pernah terucap dari bibir Martin.

Leah menolak menangis sampai Martin benar-benar menghilang dari pandangan. Pada saat itu, Leah bertekad, Martin harus mengingat Leah sebagai sosok yang kuat dan tangguh. Sepupu dan sepupu iparnya meninggal dunia saja Leah tetap berdiri—walaupun dengan sisa-sisa tenaga—apalagi cuma dicampakkan seorang laki-laki menjelang hari pernikahan mereka. Itu tidak ada apa-apanya. Atau sebenarnya hati Leah sudah benar-benar mati rasa. Sudah kebal dengan rasa sakit setelah ditimpa tragedi bertubi-tubi. Hati Leah sudah teramat sangat sedih hingga tidak bisa bertambah sedih lagi.

Aku nggak bisa menikah sama kamu. Tiga kali Martin mengatakan kalimat menyakitkan itu. Kalimat jahanam yang membuat hati Leah yang sudah hancur lebur kembali diiris setiap kali mengingatnya. Kalimat terkutuk itu selamanya akan terngiang di telinga Leah dan tidak akan pernah bisa terhapus. Namun beberapa hari kemudian, Leah sadar lebih baik dirinya mendengar kalimat itu lebih cepat daripada saat dia dan Martin sudah menikah. Mengakhiri pernikahan pasti akan lebih sulit daripada tidak jadi menikah.

Malam itu dan malam-malam selanjutnya, Leah hampir-hampir tak bisa memicingkan mata. Kantuk tidak juga menghampirinya walaupun badan dan pikirannya menjerit kelelahan. Jika akhirnya Leah jatuh tertidur, tidurnya pun tidak lepas dari mimpi buruk. Hingga saat ini, satu setengah bulan telah berlalu setelah pembicaraan itu, Leah masih menjalani harinya tanpa jiwa.

Leah belum bisa sepenuhnya mengendalikan perasaan. Sedih, kecewa, cemas, marah, dan banyak lagi semua berkumpul menjadi satu dan sulit diurai. Mengikuti saran Malissa, Leah mencari bantuan profesional. Kakak ipar Malissa adalah seorang psikolog dan sejauh ini Leah cocok bicara dengannya. Urusan pembatalan pernikahan, kakak ipar Leah—Dana—berperan sangat besar dalam menyelesaikannya. Tidak tahu akan seperti apa hidup Leah, kalau tidak ada Dana dan Malissa di sampingnya.

"Kamu menghindari Pascal." Malissa meletakkan piring penuh berisi makanan di depan Leah. "Kamu belum makan dari tadi, kan? Ini enak, masakan Mama."

"Aku menghindari semua orang." Leah tidak berminat makan. Nafsu makannya hilang bersama kepergian Cessa untuk selama-lamanya dan batalnya pesta pernikahannya. "Kamu tahu aku datang ke sini cuma mau ketemu kamu, si kembar, dan Raffa. Aku nggak ada niat untuk bersosialisasi. Sama Pascal atau siapa pun."

"Tapi itu nggak sopan." Malissa menarik kursi di seberang Leah. "Setiap Pascal mau bicara sama kamu, kamu sengaja kabur. Kelihatan jelas, tahu."

"Aku sengaja menghindari Pascal itu demi kebaikanku sendiri. Hidupku berantakan. Aku nggak tahu harus mulai membangunnya lagi mulai dari mana. Aku nggak akan menambah rumit dengan memasukkan laki-laki yang mengaku tertarik padaku hanya...."

"Oh...." Malissa tersenyum puas. "Pascal gercep juga. Kalau begini, sih, enak."

"Enak? Apanya yang enak?" Sesaat kemudian Leah tahu maksud sahabatnya. "Malissa, pelase, aku nggak ingin dicomblangi sama siapa pun."

Persahabatan Leah dan Malissa dimulai sejak masuk SMA. Meski begitu, usia Leah dua tahun lebih muda daripada Malissa. Sebab Leah loncat kelas di sekolah dasar dan menengah.

"Aku hanya akan menyarankan kamu berteman dengannya. Kalau jodoh, itu rezeki."

"Sudah ada satu laki-laki yang menilai aku nggak layak untuk menjadi istrinya, sebulan sebelum aku menikah dengannya. Lalu kamu menyuruhku untuk percaya laki-laki lain nggak akan memiliki penilaian yang sama?" Meskipun tidak ada orang lain di dapur selain mereka berdua, Leah tetap bicara dengan suara sangat pelan. Sudah cukup Leah menjadi topik pembicaraan di keluarga besar dan lingkaran pertemanannya karena gagal menikah, tidak perlu menambah peserta lagi.

"Dia meninggalkanmu bukan karena kamu tidak berharga, tapi karena dia terlalu bodoh sehingga tidak bisa menghargaimu. Dia pergi bukan karena ada yang salah pada dirimu, Leah, tapi ada yang salah pada dirinya."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top