EIGHT

Content Warning: Bunuh Diri. Mohon pilih waktu yang tepat untuk membacanya, atau silakan lewati bagian ini jika topik tersebut bisa mengganggu kesehatan mentalmu.

***

Leah terbangun dari tidur dengan napas tersengal. Baju dan rambutnya basah oleh keringat. Seprai yang tadinya rapi menutupi kasurnya, kini berkumpul di bawah badannya. Tubuhnya terasa lelah sekali, seperti Leah baru saja menyelesaikan dua kali lomba maraton. Jantungnya menggedor-gedor rongga dada dan Leah kesulitan memasukkan udara ke paru-parunya. Inilah salah satu alasan kenapa kedua orangtua Leah berat mengizinkan Leah tinggal sendiri. Tidak ada yang membangunkan Leah saat Leah bermimpi buruk, sampai mengigau dengan keras dan tidak bisa bernapas.

Mimpinya selalu berputar pada penyesalan Leah yang tidak bisa menyelamatkan nyawa Cessa. Suatu kali Leah bermimpi dirinya dan Cessa terkubur longsoran tanah saat mereka mendaki gunung dan hanya Leah yang berhasil dievakuasi dalam keadaan hidup. Pernah juga Leah bermimpi dia dan Cessa sedang bepergian naik kapal, badai menghantam lalu kapal itu tenggelam. Lagi-lagi, Leah kembali ke rumah dan Cessa tidak.

Air mata Leah mengalir. Hati Leah nyeri karena sangat merindukan Cessa. Menyaksikan Cessa meninggal dengan cara seperti itu, Leah menggelengkan kepala. Tidak sekarang. Setiap yang hidup pasti akan mati. Siapa yang lebih dulu, tidak pernah ada yang tahu. Kenyataan itu akan selalu berlaku. Tetapi dalam keyakinan Leah, seseorang meninggal dengan cara natural. Sakit, kecelakaan, atau sebab lain di luar kendali dan keinginan manusia. Apa yang terjadi pada Cessa sangat bertentangan dengan prinsip itu. Sehingga Leah semakin sulit menerima.

"Mau ke mana?" Siang itu, Leah, yang sedang duduk bersama Cessa di ruang tengah, membantu Cessa yang sempoyongan bangkit dari sofa.

Meskipun Cessa hanya diam dan selalu melamun sepulang dari melahirkan di rumah sakit, tapi Leah tetap menemaninyaa. Asalkan Leah tidak sedang mengajar, menjalankan tugas di Nusantara Food Rescue, atau menyiapkan pernikahan. Leah juga menginap di rumah Cessa setiap malam.

"Mau minum? Biar kuambilkan. Atau kamu mau ke kamar mandi?" Leah menuntun Cessa.

"Aku bisa sendiri." Cessa menepis tangan Leah dan berjalan dengan susah payah menuju sebuah kamar. Kamar yang dulu ditempati Cessa bersama suaminya, David. Kamar yang tidak pernah didatangi Cessa sejak suaminya tidak lagi bisa pulang.

Karena ingin memastikan Cessa tidak jatuh dalam perjalanan ke kamar, Leah mengikuti Cessa tanpa suara siang itu.

"David...." Cessa mendorong pintu kamar dan memanggil nama suaminya.

"Cessa...." Leah menyentuh lengan sepupunya. "Are you okay? Kalau kamu belum siap masuk ke sini, kita bisa...."

"David...." Cessa kembali membisikkan nama suaminya dengan pelan. Nyaris tanpa tenaga. "David ... sakit ... Le ... sakit ... kenapa David ninggalin aku sendirian ... kenapa David ... aku sudah minum obat ... banyak ... tapi ke ... napa tetap sakit ... aku nggak akan ... kalau aku dan David ... sama ... sama ... aku dan David...."

Jantung Leah berhenti berdetak begitu otaknya berhasil mencerna beberapa kata yang diucapkan Cessa dengan tidak jelas itu. "What?! Obat yang mana? Sebanyak apa?"

Karena selalu mendampingi Cessa ke mana saja, Leah tahu persis obat apa saja yang didapat Cessa dari psikiater. Termasuk obat untuk membantu ketika Cessa tidak bisa tidur di malam hari dan obat yang diminum saat Cessa sedang sangat cemas.

"Aku ... bukan ... istri yang ... baik ... bukan ... ibu ... yang ... baik...." Air mata membasahi pipi Cessa. "Ibu yang ... baik ... nggak ... nggak ... gini...."

"Kamu ibu terbaik yang dipunyai Davey, Sayang. Kalau Davey bisa bicara, pasti Davey bilang begitu. Tapi obat yang kamu bilang tadi, berapa banyak yang kamu minum? Obat yang mana?" Ingin sekali Leah mengguncang badan Cessa keras-keras dan memaksa Cessa agar segera menjawab pertanyaan penting tersebut. Usia Davey dua bulan hari itu.

"Aku kangen ... David. Aku nggak kuat ... sakit ... ini...." Begitu selesai mengucapkan kalimat itu, seolah ada tangan yang mencabut paksa baterai sumber kehidupan di sana, tubuh Cessa langsung ambruk ke lantai di depan Leah.

"No, no, no! Cessa, no! Bangun, Cessa! Bangun! Please!" Leah berteriak-teriak panik dan berlutut di samping Cessa. Pandangannya buram oleh air mata. Otaknya hampir-hampir tidak bisa digunakan untuk berpikir, karena terbalut rasa takut. "Cessa!"

"Jangan tinggalkan kami, Cessa, please, stay with us. I love you so much, Baby." Leah mengusap air mata dengan punggung tangan lalu mengambil ponsel dari saku celananya. Sambil menunggu panggilan tersambung, Leah terus berusaha membangunkan Cessa. Kalau kakaknya tidak mengangkat teleponnya, Leah terpaksa harus meninggalkan Cessa sendiri di lantai untuk memanggil tetangga. "We love you, Baby. We need you. We all do. Please, stay with us!"

"Jarvi!" Pada saat itu Leah berteriak ke ponselnya, karena takut kakaknya tidak bisa mendengar suaranya. "Cessa ... Cessa ... jatuh ... nggak sadar. Oh, God, Jarvi ... cepat ke sini ... tolong ... selamatkan Cessa ... please ... dia masih bernapas!"

Setelah mendengar janji Jarvi untuk segera datang, saat itu Leah kembali memfokuskan perhatian pada sepupunya. Cessa masih bernapas walaupun tarikannya sangat lemah. Seolah Cessa tidak punya tenaga lagi untuk melakukan tugas mendasar untuk bertahan hidup itu. Atau Cessa tidak ingin melakukannya. Leah tidak mau memikirkan kemungkinan itu. Di dalam hati Leah terus merapal doa, agar Cessa bisa bertahan sampai mendapat pertolongan.

"Cessa, kamu kuat. Kita ke rumah sakit sebentar lagi. Kamu kuat, Sayang, kamu kuat. Kamu adikku yang paling kuat. Kamu harus bertahan." Seumur hidupnya, Leah belum pernah merasa waktu berjalan begitu lambat. Satu detik terasa seperti seratus tahun. Lebih-lebih tidak ada yang bisa dilakukan Leah selain duduk di lantai dan membelai rambut sepupunya. Sambil terus berharap supaya Jarvi segera sampai.

Setelah Jarvi dan ayah mereka tiba, tiba-tiba semua berjalan dengan sangat cepat. Leah masuk mobil bersama Jarvi dan ayah mereka. Pada saat itu Leah tidak ingat sama sekali di dalam rumah ada seorang bayi yang sedang tidur. Beruntung Ibu Leah ikut datang untuk menjaga Davey. Air mata membasahi pipi ibu Leah saat berpesan agar beliau dikabari kalau ada apa-apa.

Setelah perjalanan yang terasa seperti selamanya, Leah duduk di kursi keras di ruang tunggu Instalasi Gawat Darurat bersama kakak dan ayahnya. Berapa banyak waktu yang berlalu hari itu, Leah tidak tahu. Leah tidak peduli. Asalkan di ujung penantiannya Cessa dinyatakan baik-baik saja, Leah tidak keberatan duduk di sana selama seribu tahun. Tetapi apa yang diharapkan Leah tidak terwujud. Dokter mengabarkan nyawa Cessa tidak bisa diselamatkan. Leah menangis sejadi-jadinya seperti bayi di sisi ranjang sepupunya. Perut Cessa sudah dipompa untuk mengeluarkan obat tidur yang terlalu banyak dikonsumsi dalam satu waktu. Tetapi sayang, tiga puluh menit kemudian, Cessa mengalami gagal jantung.

Leah masih ingat betapa dinginnya jemari Cessa saat Leah menggenggamnya untuk terakhir kali. Di samping Leah, Jarvi dan ayah mereka berdiri. Keduanya juga menangis. Belum juga mereka sempat berdamai dengan kematian David, mereka harus kembali kehilangan satu orang anggota keluarga lagi. Seseorang yang sangat berarti dan sangat mereka cintai.

"Kenapa...." Leah berbisik waktu itu, kesulitan menelaah apa yang sebenarnya terjadi. "Kenapa kamu pergi, Cessa? Gimana aku harus kasih tahu Mama? Kasih tahu Davey? Mama ... Mama ... pasti...."

Waktu itu tiba-tiba amarah menyeruak di dada Leah. Setelah orangtua Cessa bercerai dan masing-masing menikah lagi, Cessa tidak mendapat tempat di hidup baru mereka. Cessa tidak nyaman tinggal serumah bersama ibu tiri atau ayah tirinya. Orangtua Leah menerima Cessa dan membesarkan Cessa seperti anak sendiri. Kedua orangtua Leah memberikan penghidupan kepada Cessa, sama seperti apa yang mereka berikan kepada anak-anak kandungnya. Setelah semua pengorbanan yang dilakukan kedua orangtua Leah, inikah balasan yang diberikan Cessa? Cessa tidak menghargai hidupnya dan membuat kedua orangtua Leah menderita? Membuat ibu Leah harus patah hati karena kehilangan 'anak bungsunya'?

Ketika ayahnya menariknya ke pelukan, Leah mengubur wajahnya di dada ayahnya. "Aku ... berharap ini kecelakaan, Papa ... karena Cessa nggak sengaja ... bukan ... bukan...." Leah tidak bisa menyebut dua kata itu. "Tapi aku tadi lihat tatapan mata Cessa sebelum dia ... Papa ... Cessa memang ingin pergi. Apa dia lebih ingin ... menyusul David daripada ... terus di sini bersama kita? Bersama Davey? Kenapa Davey nggak bisa jadi alasan Cessa untuk sembuh dan kuat? Kenapa kita semua nggak cukup jadi alasannya untuk berjuang?"

"Seandainya Papa tahu jawabannya...," jawab ayahnya dengan suara parau hari itu.

"Aku tinggal sama Cessa supaya bisa membantunya untuk ... sembuh ... tapi Cessa malah ... seperti ini. Aku gagal, Papa...." Leah kembali menangis tersedu-sedu. "Aku gagal. Seharusnya aku menyembunyikan obat-obatan Cessa. Aku ceroboh...."

"Jangan menyalahkan diri sendiri, Leah. Kita semua sudah mengusahakan apa yang kita bisa. Kamu harus tahu, kadang-kadang ... seseorang ... mereka tidak ingin diselamatkan. Tidak ingin ditolong. Berjanjilah pada Papa kamu tidak akan menyalahkan dirimu sendiri."

Hari itu kepada almarhum sepupu sekaligus adik dan sahabat terbaiknya, Leah berjanji akan menjadi ibu pengganti yang baik untuk Davey. Leah akan selalu memastikan Davey tidak pernah kekurangan apa-apa, terutama cinta. Cessa tidak perlu khawatir. Karena Leah akan mencurahkan semua cinta yang dia miliki, lebih-lebih setelah Martin menolak cinta itu, kepada bayi yang tak lagi punya orangtua itu.

Tidak ada lagi cinta yang tersisa untuk orang lain. Tidak untuk Pascal atau siapa pun.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top