9. Kejutan Berikutnya

Tinggal dua hari lagi ya. Jangan sampai ketinggalan.

Juniandra Wardhana (Juni) : Wanita cantik yang mandiri nan sukses yang mempunyai banyak cara untuk menghabiskan isi dompetnya. Prinsipnya, selagi masih punya uang kenapa tidak dinikmati.

Biantoro Atmojo (Bian) : Bos Juni yang baru saja menyandang status duda akibat ditinggal mati istrinya yang selingkuh. Pria matang kalem yang hidup lurus dan setia.

Bhumi Prasojo (Bhumi) : Kekasih Juni namun mempunyai sifat bertolak belakang dengan Juni. Pria mapan nan tampan namun terlalu menyayangi isi dompetnya.

Apa jadinya jika 3 karakter ini ada dalam satu kisah?

Juni Dan Isi Dompetmu jawabannya!
Open PO  guys 5-20 Agustus 2020

###

Rasa tak nyaman yang sejak sore Wulan khawatirkan ternyata benar-benar terjadi. Di sini, di pesta yang Panji katakan adalah reuni yang diadakan teman-teman di masa putih abu-abunya, Wulan lagi-lagi merasa terasing.

Setelah beberapa saat yang lalu pria itu memperkenalkannya kepada semua teman-temannya, pria itu mengajak Wulan menikmati makanan yang disajikan. Baru beberapa suap makanan masuk ke mulutnya, Panji sudah bangkit meninggalkan Wulan karena teman-temannya memanggilnya. Sepertinya mereka ingin menghabiskan waktu untuk berlama-lama dengan Panji dan yang lainnya.

Kini setelah sepuluh menit berlalu, Panji tak juga muncul di hadapan Wulan. Bahkan saat Wulan mengedarkan pandangan mencari-cari sosok Panji, pria itu tak terlihat di manapun. Akhirnya setelah meneguk minuman di hadapannya, Wulan pun meninggalkan tempat itu. Ia mungkin harus mencari Panji.

Hal pertama yang ia lakukan adalah menghubungi pria itu. Namun hasilnya nihil. Panji tak merespon panggilan teleponnya. Kini Wulan hanya bisa pasrah. Ia akhirnya berjalan tak tentu arah mencari tempat yang tidak terlalu riuh. Tadi sebelum memasuki tempat ini ia sempat melihat taman tak jauh dari area parkir. Mungkin ia akan menunggu Panji di sana hingga pria itu menyadari jika dia telah meninggalkan Wulan sendirian.

"Mau ke mana, Lan?" Wulan menghentikan langkah saat sebuah suara yang begitu dikenalnya terdengar. Gadis itupun mendongak dan menarik napas lega.

"Mas Bhagas kok baru datang? Mas Panji nggak tahu ke mana. Aku mau nunggu di luar aja."

"Loh kok bisa?"

"Dia ngumpul sama teman-temannya."

Bhagas menarik napas berat. Salah satu kebiasaan jelek Panji adalah meninggalkan siapapun yang ia bawa jika sudah bertemu dengan teman-temannya.

"Kamu sama aku aja ya." Bhagas memberikan penawarannya yang seketika membuat Wulan berpikir.

"Mas katanya sama mbak Amanda. Lalu sekarang dia kemana? Nanti dia cari lo."

"Nggak mungkin. Tadi kami sudah janjian sebelum berpisah. Dia akan menghabiskan waktunya bersama teman-temannya. Ayo," ajak Bhagas lalu berjalan meninggalkan Wulan. Gadis itupun mengikuti di belakang.

"Mas kok nyantai banget sih kalau jalan sama mbak Amanda. Nggak ngikut terus gitu." Wulan membuka suara saat mereka berdua akhirmya duduk di atas rumput tebal di antara rimbunnya pohon tabebuya dan pucuk merah yang dipangkas setinggi dada.

"Dia wanita mandiri yang praktis. Lagi pula kami bukan lagi remaja labil yang kemanapun harus berdua."

"Ih, Mas Bhagas nyinggung aku nih." Tiba-tiba saja Wulan merasa tersinggung dengan ucapan pria di sebelahnya. Bukankah ia sedari tadi merasa tak nyaman saat Panji meninggalkannya demi berkumpul dengan teman-temannya yang entah berapa tahun mereka tak berjumpa.

Tak seharusnya Wulan merasakan itu. Bukankah setiap hari ia bisa bertemu dengan Panji. Sedangkan Panji, belum tentu akan bertemu teman-temannya kembali dalam waktu dekat. Ya, seharusnya Wulan memikirkan hal itu.

"Memang kamu merasa tersinggung?" balas Bhagas telak. "Udah kayak pacarnya Panji aja nih kalau sampai kamu tersinggung." Bhagas melanjutkan kalimatnya sambil mengerling jahil.

Wulan seketika tersenyum canggung. Ia baru sadar. Bukankah hubungannya dan Panji belum ada siapapun yang tahu. Jangan sampai karena kelalaiannya membuat semua orang mengetahui kisah mereka berdua. Ya meskipun Wulan masih belum tahu hubungan seperti apa yang kini ia jalani bersama Panji.

"Mas Bhagas ada-ada aja. Nggak mungkinlah." Wulan mencoba menampik.

"Kenapa emang kalau sama Panji. Dia ganteng tuh, mapan. Orangnya juga seru." Bhagas berucap sambil menerawang ke depan. Dari kejauhan tampak lampu-lampu bertebaran menghiasi malam yang cukup cerah namun begitu menusuk karena udara yang begitu dingin.

"Aku tidak layak untuk pria-pria seperti Mas Panji atau juga Mas Bhagas."

"Kenapa tidak layak?"

"Mas Bhagas dan Mas Panji tuh impian setiap wanita. Tampan, mapan, juga baik. Kalian berdua bisa dengan mudah memilih wanita manapun yang kalian suka. Mereka pasti tidak akan menolak. Sedangkan aku, siapa aku, Mas Bhagas tentu tahu kan." Wulan merapikan helaian rambutnya yang tertiup angin malam. Telapak tangannya secara reflek menggosok lengannya demi mengusir udara dingin yang semakin membekukan tulang.

Bhagas yang mengamati gerakan Wulan seketika membalik badannya menghadap Wulan. Pria itu mengikuti gerakan Wulan mengusap lengan gadis itu.

Tentu saja Wulan seketika berjengit kaget. Telapak tangan hangat pria itu entah kenapa terasa seperti teraliri listrik. Menyengat juga mengagetkan Wulan bersamaan. Tak cukup di sana, jantung Wulan tiba-tiba saja berpacu lebih cepat. Rasa sesak entah karena apa tiba-tiba saja menyerang Wulan hingga tanpa sengaja gadis itu menepuk dadanya pelan.

"Kenapa Lan? Dingin banget ya? Kamu sesak napas kalau kedinginan kayak gini? Kamu punya asma? Kita ke dalam aja ya? Atau kita ke mobil." Bhagas mulai terlihat cemas.

Wulan menggeleng.

"Tapi kamu wajahnya beda gitu." Bhagas meraba kening Wulan lalu menjalar ke kedua pipi gadis itu menggunakan telapak tangannya. Pria itu juga menggosok lengan dan telapak tangan Wulan berulang kali. Mencoba mengalirkan kehangatan di tubuh Wulan yang terasa dingin.

"Kita ke mobil aja ya. Aku punya kotak P3K. Sepertinya aku menyimpan minyak kayu putih juga beberapa obat di sana. Ayo!" Bhagas mencoba bangkit namun tangan Wulan menahan.

"Aku nggak apa-apa, Mas. Tetap di sini saja."

"Kamu terlihat beda."

"Aku baik-baik saja."

"Kamu yakin?"

Wulan mengangguk membuat Bhagas bernapas lega.

"Syukurlah. Aku kira kamu punya riwayat sesak napas dan sejenisnya."

Wulan menggeleng diiringi senyuman lebar.

"Kamu membuatku cemas, Lan." Bhagas kembali menyentuh wajah Wulan. Menurunkan telapak tangannya di rahang gadis itu. Berlama-lama menatap mata bening Wulan. Seolah tersihir, Wulan balas menatap mata pria itu lekat. Entah, Wulan melihat sesuatu di sana yang membuat ia tak bisa mengalihkan pandangan.

Usapan lembut pria itu di wajah Wulan semakin membuai hingga tanpa Wulan sadari embusan napas hangat pria di depannya terasa menerpa wajahnya.

Entah siapa yang memulai, namun saat melihat wajah Bhagas begitu dekat di depan matanya, Wulan seketika menutup matanya dan tak lama kemudian bibirnya terasa hangat.

Jantung Wulan terasa nyaris meloncat saat benda hangat itu perlahan bergerak mengundangnya untuk ikut menyambut tautan bibir mereka. Dan saat Wulan membalas ciuman itu dengan ragu-ragu karena ia tak pernah melakukannya sebelumnya, Bhagas seketika menyambutnya dengan suka cita. Pria itu mencecap apa yang ada di hadapannya. Memberikan pengalaman paling menyenangkan yang belum pernah sekalipun Wulan rasakan.

Wulan terbang, melayang bersama bintang yang bertebaran di atas kepalanya. Tanpa ragu ia membalas dekapan erat Bhagas. Merasakan kehangatan yang diberikan pria itu pada dirinya. Membalas setiap ciuman-ciuman manis pria itu yang benar-benar membuat Wulan gila dan tak ingin melepasnya meskipun barang sedetik saja.

"Kamu benar-benar luar biasa, Lan." Suara serak Bhagas terdengar di sela-sela ciuman mereka yang semakin panas menggebu namun Wulan mengabaikannya. Yang ada di kepalanya saat ini adalah bagaimana indahnya ciuman Bhagas. Sentuhan pria itu benar-benar membuatnya mabuk dan yang lebih mengerikan ia bahkan tak rela saat akhirnya pria itu melepas tautan bibir mereka. Ia masih menginginkan pria itu lagi. Menginginkan pelukan hangatnya saat pria itu mendekap erat ketika memperdalam ciumannya. Pasti Wulan sudah benar-benar gila.

"Sudah begitu lama aku menginginkan ini. Mendekapmu, merasakan kehadiranmu di dekatku." Bhagas berucap setelah melepas tautan bibir mereka namun lengan-lengannya masih membelit tubuh Wulan di hadapannya.

"A.. a..., aku...," Wulan bingung harus mengatakan apa.

"Sttt...," Bhagas menyentuhkan telunjuknya dibibir Wulan agar gadis itu tak berbicara.

"Berjanjilah untuk hanya menjadi milikku selamanya."

Wulan membelalak. Apa yang pria itu katakan? Menjadi miliknya? Apa maksud dari perkataannya?

###
16082020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top