7. Sarang Maksiat
Hellow, akhirnya setelah ribuan purnama diriku mampir ke lapak ini untuk ngebersihin sarang laba-laba. Gimana gak jadi sarang laba-laba, update terakhir kayaknya pertengahan November tahun lalu? So sudah berapa purnamakah berlalu? Wkwkwkwk....😆😆😆😆
Oh, ya. Jangan lupa mampir ke lapak baru ya "Juni dan Isi Dompetmu" lapak Ntu moga aja bisa update lancar selama bulan Juni. Sesuai dengan judulnya.
###
Apa yang telah direncanakan anak-anak keluarga Wijanarko akhirnya terlaksana. Akhir pekan itu akhirnya Wulan bisa pulang lebih awal dari Restoran. Lagi-lagi keberuntungan Wulan dapatkan. Restoran tutup lebih awal karena mendapatkan pesanan mendadak yang cukup banyak untuk makan malam untuk salah satu keluarga pelanggan.
Setelah membersihkan diri, Wulan segera bersiap. Malam ini Panji mengatakan jika mereka akan menikmati malam di salah satu Vila teman Bhagas. Ada pesta di sana. Entah pesta dalam rangka apa Wulan tak tahu. Panji hanya mengatakan jika teman Bhagas mengadakan pesta dan mereka bisa ikut ke sana juga. Mereka bisa melanjutkan rencana mereka jika sudah menghadiri pesta itu meskipun hanya sebentar.
"Kalau sudah siap ayo kita berangkat, Lan." Suara Panji terdengar saat Wulan meletakkan sisirnya di meja rias di hadapannya.
"Iya, Mas. Saya sudah selesai kok." Wulan bangkit dari kursi yang ia duduki lalu bergerak meraih tas punggung mungilnya. Sesaat Panji memandang penampilan gadis itu dari atas ke bawah.
"Kenapa? Kampungan banget ya, Mas." Wulan seketika kikuk. Mengikuti arah pandang Panji pada dirinya sendiri. Malam ini ia mengenakan jeans dipadu dengan blus berlengan panjang yang tampak begitu nyaman. Cuaca saat ini dingin, apa lagi mereka akan pergi ke sebuah Vila. Sudah pasti udaranya akan berkali lipat dinginnya apalagi jika malam semakin larut.
"Kamu lucu," jawab Panji melebarkan senyuman.
"Aku ganti aja ya dari pada nanti bikin Mas Panji dan Mas Bhagas malu di sana?" Wulan membalik badannya namun Panji sigap mencekal pergelangan tangannya.
"Ih, kamu nggak bisa diajak bercanda, Lan. Lucu dalam arti lain. Bukan lucu yang akan membuat kamu ditertawakan karena kekonyolan kamu. Kamu terlihat seperti siswa sekolah dasar. Aku pasti bakal kelihatan seperti om-om yang lagi bawa keponakannya deh. Apa lagi ntar Mas Bhagas. Bisa-bisa kamu dikira diajak check in sama om-om." Panji terbahak yang mau tak mau membuat pipi Wulan merona.
Mendapatkan pujian dari pria mempesona seperti Panji belum pernah ia dapatkan sebelumnya. Maklum saja selama ini tak pernah sekalipun Wulan dekat dengan laki-laki baik itu berpacaran ataupun hanya berteman.
"Mas Panji bisa aja deh, ayo ah berangkat." Wulan berusaha mengalihkan perhatian. Ia tak mau berbesar kepala mendapatkan pujian dari pria di hadapannya ini. Tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Ia cukup tahu diri. Siapa dirinya di rumah ini. Hanya gadis miskin beruntung yang mendapat belas kasihan sang pemilik rumah.
"Kamu kalau malu-malu gitu tambah kelihatan imutnya, Lan. Pasti kamu belum pernah pacaran ya? Hayo ngaku. Tuh wajahnya masih lugu gitu. Kamu hati-hati kalau milih pacar. Jangan sampai salah pilih dan punya pacar brengsek." Wulan semakin merona. Gadis itu meraih pergelangan Panji, menariknya agar segera meninggalkan tempat itu segera.
"Eh, tambah kelihatan sifat kekanak-kanakannya." Panji terbahak mengikuti langkah Wulan. "Makanya makan yang banyak, Lan. Biar cepat tinggi biar gak kelihatan seperti anak sekolah dasar."
Tawa Panji terhenti saat mereka sudah tiba di ruang tamu. Di sana Amanda sudah terlihat duduk santai sambil menekuri ponselnya. Sedangkan Bhagas terlihat duduk tak bergerak. Matanya menatap Panji dan Wulan yang baru memasuki ruangan tempat mereka berada.
"Kalian sudah siap?" tanya pria itu datar. Entah kenapa Wulan merasa nada bicara pria itu kurang bersahabat.
"Sudah, Mas." Wulan yang menyahut karena Panji hanya mengedikkan bahunya.
Amanda dan Bhagas seketika bangkit dari kursi. Mereka berjalan keluar rumah tanpa sedikitpun berbasa-basi. Bahkan Amanda tak berniat menyapa Wulan meskipun saat ini adalah pertemuan pertama mereka.
Wulan menarik napas. Sepertinya ia tak perlu berharap terlalu tinggi. Pasti tunangan Bhagas itu sudah tahu siapa dirinya. Ia bukanlah siapa-siapa dan tak penting bagi wanita itu untuk beramah tamah kepadanya.
Lima menit kemudian mereka keluar dari halaman rumah rumah itu dengan dua mobil berbeda. Wulan dengan Panji, Bhagas dengan Amanda.
Wulan sempat membatin, kenapa mereka tidak berangkat bersama dalam satu mobil? Toh tujuan mereka sama. Tapi, itu bukan urusannya kan? Mereka mempunyai cukup uang untuk membuat diri mereka merasa nyaman. Mungkin mereka tidak nyaman jika berangkat bersama dalam satu mobil. Ya, itulah dugaan Wulan.
Satu hal yang sempat membuat gadis itu heran. Bukankah mereka akan mendatangi salah satu Vila di Batu? Lalu bagaimana mungkin Amanda hanya memakai dress tanpa lengan dengan panjang hanya selutut. Apakah wanita itu masih bersaudara dengan Anna dan Elsa si Frozen sehingga begitu kuat menahan dinginnya udara Batu yang menusuk? Entahlah. Itu bukan urusannya. Tak seharusnya ia lancang mengurusi penampilan orang lain.
Setelah tiga puluh menit mereka berkendara akhirnya mobil yang mereka naiki memasuki sebuah vila dengan pemandangan hamparan rumput yang bisa dikatakan luas. Beberapa mobil tampak berjajar di satu sisi halaman yang sepertinya digunakan sebagai area parkir.
"Ini pesta apaan sih, Mas. Kayaknya aku salah kostum deh. Masak acara begiian aku cuma pakai celana jeans." Wulan urung melanjutkan langkahnya saat telinganya menangkap suara riuh di dalam dan halaman belakang Vila. Suara musik yang cukup keras terdengar diiringi gelak tawa orang-orang di sana."
"Ini bukan acara resmi, Lan. Tuh temannya Mas Bhagas entah lagi ngerayaain apa. Yang pasti bukan pesta ulang tahun. Kayaknya sih hanya sekedar ngumpul-ngumpul aja. Nih kamu lihat sendiri aku pakai baju apa. Jeans sama kayak kamu kan. Kamu nggak usah khawatir. Ntar kalau kita diusir ya tinggal angkat kaki aja," jawab Panji santai sambil menarik Wulan untuk mengikutinya. Menyusul Bhagas dan Amanda yang sudah mendahului.
Benar saja begitu kaki Wulan memasuki bangunan megah itu. Mereka disambut teriakan-teriakan suka cita. Ralat. Bukan Wulan, tapi Amanda, Bhagas, dan tak ketinggalan Panji. Sepertinya mereka semua mengenal ketiga orang itu dengan baik.
Mereka semua digiring memasuki bagian dalam menyusuri setiap ruangan hingga sampai di halaman belakang Vila yang ternyata adalah kolam renang.
Beberapa orang tampak berenang di sana. Wulan bergidik ngeri. Sudah selarut ini mereka masih berenang. Entah apa yang ada di dalam otak orang-orang itu. Tidakkah mereka merasa kedinginan?
Tak jauh dari kolam renang tampak beberapa orang menikmati makanan yang terhidang di atas meja panjang dan tak jauh dari meja itu tampak seseorang sedang membakar sesuatu. Dari aromanya Wulan menduga itu adalah ikan bakar atau seafood lainnya.
Beberapa gadis, ralat, wanita lebih tepatnya--karena mereka terlihat lebih dewasa--tampak berbincang. Dan yang membuat Wulan tak mampu menutup mulutnya, hampir semua wanita-wanita di sana terlihat seperti Amanda. Mereka memakai pakaian yang bagi Wulan kurang sopan. Ada yang berdada rendah, atau dengan panjang sepaha saja. Wulan yakin, jika mereka menunduk untuk mengambil sesuatu sudah pasti kain yang hanya secuil itu akan terangkat menampakkah bongkahan pantat mereka.
Lagi-lagi Wulan bergidik. Apa lagi saat pandangannya menatap salah satu pria yang tampak meneguk minuman berwarna keemasan di tangannya. Meskipun tak tahu pasti, ia bisa menduga jika apa yang pria itu teguk adalah sesuatu yang mungkin bisa mencelakakan dirinya.
"Kenapa, Lan? Kamu nggak nyaman ya?" suara Panji seketika terdengar di dekat telinga Wulan. Gadis itu terlonjak kaget, tak menyangka jika Panji sudah ada di sampingnya. Tadi pria itu tampak menyapa beberapa orang dan terlibat percakapan yang sepertinya menyenangkan hingga akhirnya Wulan hanya menunggu sambil mengamati sekeliling.
"Acara macam apa sih ini, Mas. Kok sepertinya jadi sarang maksiat sih. Tuh lihat perempuannya bajunya kayak gitu," Wulan menunjuk beberapa wanita yang ia maksud. "Terus laki-laki itu kayaknya minum minuman keras deh. Tadi ada busa-busanya. Setahuku soda nggak ada yang warnanya kayak gitu." lagi-lagi Wulan mengarahkan telunjuknya pada pria yang ia maksud. Panji hanya terkekeh geli.
"Nah yang terakhir, di situ. Ngapain mereka renang malam-malam. Apa nggak dingin. Udah gitu lihat aja, renangnya campur cowok-cewek. Tadi aku sempat lihat mereka peluk-pelukan di air. Nah yang paling ngeri, tuh ternyata mereka pakai bikini." Panji terbahak. Ia tak mampu menghentikan tawanya.
"Eh, kok malah ketawa. Kan benar Mas. Ini sarang maksiat. Nggak ada tempat lain yang bisa didatangi apa?"
Panji menghentikan tawanya. Ia tahu pasti akan seperti inilah reaksi Wulan. "Makanya mama sama papa nggak terlalu senang Mas Bhagas tetap berhubungan sama tuh si cantik jelita. Gaulnya si Amanda kelas berat. Pesta-pesta kayak gini, liburan bareng-bareng ngeri kan?" Wulan terdiam. Jika mereka semua kebetulan liburan bersama bukankah mereka memerlukan hotel untuk menginap. Lalu apakah mereka akan menginap di kamar yang berbeda? Jika di sini saja di tempat yang masih banyak mata memandang, mereka dengan begitu bebasnya mengumbar kemesraan mereka lalu bagaimana jika mereka jauh dari orang-orang yang mengenal mereka?
Wulan bergidik ngeri, "Ngeri ya Mas. Gaulnya orang berduit model Mbak Amanda. Jangan-jangan Mas Bhagas sudah pernah liburan sama Mbak Amanda. Wah kalau begitu berarti mereka juga sudah pernah nginap bareng." Wulan bertanya dengan nada penasaran. Beberapa detik kemudian gadis itu seketika menundukkan wajah. "Maaf," lanjutnya pelan.
Ingin rasanya ia memukul mulutnya yang telah lancang bertanya tentang hal yang tidak sepantasnya ia tanyakan. Ia bukanlah siapa-siapa di keluarga Wijanarko. Tak seharusnya ia mencampuri urusan pribadi anggota keluarga itu.
###
Nia Andhika
01062020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top