5. Obrolan Pertama

Wulan mematung seketika saat tubuh tegap itu memeluknya. Aroma parfum yang begitu segar menguar merasuk ke dalam penciumannya. Sepertinya ia akan menyukai aroma ini, ia membatin.

Beberapa detik kemudian pria itu melepas pelukannya dan membimbing untuk duduk di kursi di sebelahnya. Ia hanya menurut tanpa berkomentar, lebih tepatnya bingung dengan apa yang terjadi di ruangan itu.

"Jadi kalian sudah saling kenal?" Suara Bambang Wijanarko terdengar begitu Wulan meletakkan pantatnya di kursi. Gadis itu segera mengalihkan pandangannya ke asal suara. Ia menarik napas hendak menjawab pertanyaan pria baya itu.

"Iya, Pa. Sudah sekitar satu bulan yang lalu, atau mungkin lebih. Aku lupa tepatnya." Bukan Wulan yang menjawab. Bhagas. Pria itulah yang bersuara sebelum Wulan membuka mulutnya.

"Oh, ya? Bagaimana bisa?" Kali ini bu Lestari yang bertanya yang disambut Wulan dengan senyum canggung.

"Kalian kok nggak pernah bilang?" Si bungsu menimpali.

"Kami kenal karena Wulan menolongku saat hujan deras mengguyur." Bhagas menjeda kalimatnya membuat ketiga orang yang ada di ruangan itu penasaran. Wulan lagi-lagi tak berucap apapun. Ia bukan anggota keluarga ini. Akan terlihat tak sopan jika ia turut berbicara jika tak diminta.

"Saat itu hujan deras setelah aku meeting dan makan siang dengan orang-orang dari kantor cabang. Wulan membantu memayungiku hingga sampai mobil. Tadi siang kami juga kembali kebetulan bertemu," ucap Bhagas sambil memandang Wulan takjub seolah ia kembali ke masa di mana ia pertama kali bertemu dengan Wulan. Wulan semakin merasa canggung ia hanya mampu tersenyum kikuk memadang satu persatu orang-orang di hadapannya.

"Halah, cuma gitu aja sok dramatis, mas. Aku kira pertemuan kalian lebih seru dari sekedar memberikan payung." Panji, si bungsu Wijanarko memecah ketakjuban sang kakak pada sosok yang wajahnya mulai terlihat memerah itu.

"Coba seandainya Wulan menyelamatkan kamu dari perampok, atau mungkin dari tabrakan pasti lebih seru, mas" lanjut pria tampan itu.

"Kamu mulutnya kok tidak ada sopan santunnya. Perampok, tabrakan, memangnya hal itu menyenangkan? Kamu tak tahu seberapa bahaya hal-hal itu. Mama bertemu Wulan karena hal itu."

"Apa?" kedua kakak beradik itu serentak terkejut dengan perkataan ibunya. Mereka memang tak mengetahui bagaimana awal mula ibu mereka mengenal Wulan.

"Wulan membantu mama kalian saat tasnya diambil penjambret. Meskipun mungil begini tenaganya lumayan lo. Seharusnya Wulan tak perlu melakukan hal itu. Keselamatan dirilah yang seharusnya diutamakan." Pak Bambang menanggapi. Dan akhirnya mengalirlah cerita awal mula pertemuan Wulan dengan bu Lestari. Hingga akhirnya bu Lestari membawa Wulan ke rumah ini.

"Kamu benar-benar tangguh, Lan," Panji terkikik. Berarti kamu secara tak sengaja dua kali menolong anggota keluarga ini. Giliranku dan papa kapan kamu tolong?" Panji terbahak dengan kalimatnya sendiri yang disambut cibiran dari sang kakak.

Makan malam mereka pun berlangsung setelah bu Lestari menginterupsi obrolan yang cukup menyenangkan bagi Wulan itu. Obrolan itu tak hanya sampai di meja makan. Begitu mereka semua menyelesaikan makanannya, mereka pindah ke ruang keluarga. Menonton televisi diselingi candaan yang lagi-lagi membuat Wulan merasa begitu nyaman berada di antara keluarga Wijanarko.

Ia begitu lega, kehadirannya tidak dianggap sebagai pengganggu di antara mereka. Rasa tenang karena ia dianggap ada, juga makin meyakinkan hatinya jika ia mengambil keputusan yang tepat untuk tinggal bersama keluarga ini. Keluarga yang semoga saja selalu menyayangi dan peduli padanya.

"Kalau setiap hari seperti ini pasti mama dan papa tidak kesepian. Anak-anak mama berkumpul seperti ini. Sama seperti beberapa tahun yang lalu saat Rania belum menikah," bu Lestari menerawang mengingat masa-masa di mana ia begitu bahagia berkumpul dengan anak-anaknya. Sebelum akhirnya anak keduanya, Rania menikah dan pindah mengikuti suaminya.

"Bahkan meskipun sudah punya cucu tapi masih saja jarang bertemu. Rumah ini semakin lama semakin sepi. Kalian nanti kalau menikah juga pasti akan pergi. Sekarang saja sudah tidak betah di rumah lebih memilih tinggal terpisah. Jika nanti kalian menikah, mama harap kalian tetap tinggal di sini. Setidaknya salah satu di antara kalian." bu Lestari melanjutkan.

"Tuh Mas Bhagas kasih tahu. Kalau aku kan masih bebas." Panji tak ingin dibebani permintaan ibunya.

"Kamu juga begitu, umur sudah dua puluh delapan tapi masih belum pernah bawa perempuan ke rumah. Mama tahu kamu sebenarnya berkali-kali dekat dengan wanita. Apa tidak ada yang ingin kamu kenalkan ke mama dan papa?" bu Lestari tak ingin melepaskan anaknya begitu saja.

"Jangan aku terus dong, ma. Tuh Mas Bhagas sudah tua. Sudah tiga puluh tiga, sudah ada calonnya pula." Panji kembali mengelak. Bhagas hanya tersenyum geli mendengarkan.pembelaan adiknya.

"Jangan suka bermain-main dengan wanita. Suatu saat kamu bisa mendapat balasannya. Usiamu sudah bukan untuk bermain-main lagi dengan wanita. Pilih yang terbaik untuk kamu. Yang tidak hanya cantik fisiknya tapi juga hatinya. Kelak wanita seperti itulah yang akan tetap bisa menjadi penyanggamu saat kamu sedang jatuh. Wanita yang mencintaimu bukan karena uangmu. Bhagas juga seharusnya mencari wanita yang seperti itu." suara tawa seketika terdengar. Panji terbahak. Akhirnya kakaknya yang selalu sempurna itu mendapatkan petuah dari ibu mereka.

"Gas, kamu sudah lebih dari satu tahun bertunangan. Kapan kamu akan membawa tunanganmu yang cantik jelita itu ke pelaminan? papamu sampai bosan mendapatkan pertanyaan yang sama setiap kali bertemu calon mertuamu itu," Bu Lestari berdecak. Pembicaraan tentang hubungan Bhagas dengan tunangannya selalu berakhir tak menyenangkan.

"Mas Bhagas masih nunggu papa dan mama membuka hati untuk tunangannya yang cantik jelita itu. Mas Bhagas kan anak berbakti. Dia tidak akan menikah jika mama dan papa masih berat." lagi-lagi Panji yang menjawab. Bhagas hanya berdecak enggan mengeluarkan kalimatnya.

Apa yang adiknya ucapkan memang tak sepenuhnya salah. Hingga saat ini ia belum juga membawa hubungannya ke jenjang yang lebih serius karena terkendala restu kedua orang tuanya.

Bukannya kedua orang tuanya tak menyetujui hubungannya dengan tunangannya. Mereka menghormati semua keputusannya. Bahkan lebih dari satu tahun yang lalu pak Bambang dan Bu Lestari sudah melamar gadis yang menjadi kekasih Bhagas itu.

Namun kedua orang tua Bhagas pernah mengatakan bahwa mereka tidak suka dengan kekasihnya itu. Mereka berharap Bhagas memikirkannya masak-masak. Banyak hal yang membuat kedua orang tuanya hingga saat ini masih tak menyukai tunangannya itu. Dan Bhagas tak mampu berbuat apapun.

Amanda adalah gadis yang nyaris sempurna. Ia bisa membawa diri dengan baik. Wajah cantik tanpa cela selalu membuat ibu juga adiknya menyebutnya cantik jelita. Cantik jelita bukan dalam makna yang sebenarnya, ia tahu mereka selalu mengolok-oloknya.

Mereka selalu mengomentari kuku-kuku juga rambut indah tunangannya. Tak ketinggalan juga cara gadis itu berbicara dan berpakaian. Menurut Bhagas semua itu wajar. Amanda memang memiliki segalanya jadi tak masalah jika gadis itu ingin menunjukkannya pada semua orang di sekitarnya.

"Besok-besok kalau ke sini lagi kasih tahu, mas. Jangan pakai hotpants yang cuma nutup pantat aja. Kasihan banget Papa. Masak gara-gara kaget, Pak Udin langsung pangkas bonsai papa seenaknya." Panji tergelak mengingat kejadian satu bulan yang lalu saat Amanda datang ke rumah mereka dengan hanya mengenakan hotpants dan thanktop.

Pak Udin, tukang kebun di rumah mereka yang saat itu sedang merapikan bonsai mahal majikannya begitu terkejut saat melihat gadis itu keluar dari mobil. Ia tanpa sengaja memangkas bonsai di hadapannya tak beraturan. Pria tua itu begitu kaget melihat sosok berbusana tak wajar dihadapannya.

"Heran tuh si cantik jelita, nggak masuk angin apa dia nggak pernah pakai baju. Coba dia tinggal di kota yang suhu udaranya lumayan panas sih wajar. Nah dia di sini, aku jamin pasti dia menggigil." Panji masih tak bisa menghentikan tawanya. 

Bu Lestari sudah berkali-kali menyuruh putra bungsunya itu berhenti berbicara, namun topik tentang si cantik jelita tunangan Bhagas selalu membuat Panji tak bisa menghentikan mulutnya. Ia heran dengan kakaknya. Jika memang mencintai tunangannya itu kenapa hingga saat ini ia tak segera membawa Amanda ke pelaminan meskipun kedua orang tuanya tak begitu menyukai tunangannya, toh meskipun tak menyukai, mereka juga tak melarang kan? Padahal bukan hal mudah untuk meyakinkan kedua orang tuanya untuk melamar kekasihnya itu satu tahun yang lalu.

"Sudah puas?" kali ini Bhagas yang bersuara. Panji hanya mengedikkan bahunya acuh.

"Mama dan papa masih belum sepenuhnya menyetujui hubunganku dengan Amanda meskipun sudah mengalah dan melamarkan dia untukku. Aku akan menikah jika papa dan mama sudah benar-benar ikhlas menerima Amanda menjadi menantu di keluarga ini," lanjutnya sambil memandang kedua orang tuanya.

Kedua orang itu hanya mampu mengembuskan napas berat. Masalah anak sulungnya memang masih menjadi ganjalan di dalam keluarga mereka. Keputusan Bhagas yang menurut mereka terburu-buru dan kurang matang menjadi penyebabnya.

Banyak hal yang membuat mereka tak terlalu menyukai tunangan anaknya itu. Gaya hidup dan sikap Amanda yang bagi mereka cukup mengerikan adalah salah satu penyebabnya. Penyebab lain tentu saja ada. Keluarga Amanda dan masih ada hal-hal yang tak bisa dihiraukan begitu saja.

"Sudah. Nggak usah membicarakan masalah itu lagi. Mama dan papa tahu kamu pasti bisa mengambil keputusan yang terbaik." bu Lestari menghentikan pembicaraan yang cukup berat itu.

"Nah, Lan coba cerita hari ini kegiatan kamu apa saja. Kok tadi Bhagas bilang ketemu kamu di kantor," bu Lestari sudah mengalihkan topik pembicaraan. Ia menyadari jika sedari tadi Wulan hanya membisu, mungkin gadis itu merasa tak nyaman. Dan itu bukanlah hal yang diinginkan bu Lestari.

Akhirnya malam itu mereka berbincang akrab hingga malam beranjak semakin larut dan semua orang sudah tak dapat menahan mata mereka dari kantuk.

###
Kritik, saran n cek typo ya friends. Update dlm keadaan perut lapar bikin konsen banyak hilang😆😆.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top