3. Rumah Baru, Hidup Baru

Malam itu sepulang dari bekerja Wulan segera berkemas. Ia sudah mengisi sebuah travel bag berukuran besar dengan baju-bajunya. Beberapa kardus sudah terisi dengan buku juga barang-barang miliknya.

Ia tak sempat membereskan semua barang-barangnya tadi siang karena sejak pagi tadi ia masih harus ke kampus. Sepulang dari kuliah ia juga bekerja. Bu Lestari sudah menawarinya bantuan untuk membantu berkemas, namun Wulan menolaknya. Ia beralasan akan menghabiskan sisa hari terakhirnya di rumah kost sebelum akhirnya pindah ke rumah bu Lestari.

Ya, Wulan akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran wanita baik hati itu. Ia sudah berfikir masak-masak. Setidaknya ia tak perlu memikirkan cara mendapatkan uang untuk biaya hidupnya lagi.

Wulan juga sudah meminta ijin bu Farida, pemilik rumah kost yang ia tempati untuk pindah ke rumah bu Lestari. Wulan juga menjelaskan alasan kepindahannya. Mau tak mau bu Farida memberinya ijin meskipun ia menyayangkan keputusan Wulan. Ia sudah dekat dan akrab dengan gadis itu. Namun jika demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ia bisa apa?

Bu Farida hanya mampu mendoakan agar anak kostnya itu selalu mendapatkan kebahagiaan. Ia tahu, hidup sebatang kara seperti Wulan bukanlah hal yang mudah. Makanya ia tak pernah sekalipun meminta Wulan untuk melunasi biaya sewa kamarnya. Jika Wulan membayar, ia menerima namun jika tidak, ia pun membiarkannya. Bahkan ia juga tak jarang mengajak Wulan untuk makan bersamanya. Setidaknya itulah cara bu Farida untuk membantu Wulan meringankan beban hidupnya. Wanita itu juga berpesan, kapanpun Wulan ingin kembali ia pasti akan dengan senang hati menerimanya.

Setelah membereskan barang-barangnya hingga nyaris dini hari, akhirnya Wulan bisa bernafas lega. Ia bisa beristirahat segera. Tubuhnya begitu lelah setelah seharian tak berhenti beraktifitas. Esok hari masih banyak hal yang harus ia kerjakan. Untung saja besok ia hanya mempunyai satu jadwal mata kuliah. Setidaknya ia masih bisa mengistirahatkan tubuhnya sebelum kembali bekerja menjelang sore hari.

Masalah barang-barangnya yang sudah rapi dalam travel bag juga kardus-kardus yang telah tertata rapi tak perlu ia pikirkan. Bu Lestari yang akan mengurusnya nanti. Wanita itu akan menyuruh sopirnya untuk mengambil barang-barang Wulan.

***
"Barang-barang kamu sudah ada di kamar semua, Lan. Sebenarnya ibu mau menyuruh bibi menatanya. Tapi ibu khawatir kamu tidak menginginkannya. Jadi ibu, nunggu kamu aja," bu Lestari memberitahu Wulan saat gadis itu memasuki kamar yang sudah disiapkan untuknya.

Kamar luas yang terlihat begitu hangat dengan perabot yang di dominasi warna putih. Di tengah ruangan tampak sebuah ranjang berukuran besar dengan helaian kain yang menjuntai berkibar tertiup angin akibat jendela dan pintu yang terbuka yang mengarah ke taman belakang rumah. Benar-benar kamar yang luar biasa.

Wulan bahkan tak mengira ia akan mendapatkan semua ini saat pindah ke rumah bu Lestari. Ia mengira akan menempati salah satu kamar yang di sediakan untuk para pekerja di rumah ini. Namun ternyata dugaannya salah. Kamar luas dan nyaman inilah yang akan menjadi kamarnya.

Di kamar ini ia tak perlu lagi mengantri bergantian kamar mandi di pagi hari saat ia harus terburu-buru ke kampus karena jadwal kuliah pagi. Sudah ada kamar mandi nyaman yang lengkap dengan bath tub dan shower air hangat yang memungkinkan ia mandi kapan saja tanpa takut masuk angin dan kedinginan.

Jangan lupakan juga pendingin ruangan yang tak akan membuatnya gerah lagi saat ia tertidur nanti. Bahkan seprei dan bantal pun terlihat begitu menggoda untuk direbahi.

Saat Wulan bertanya di mana ia bisa menata baju-bajunya, sekali lagi ia dibuat menganga saat bu Lestari membuka sebuah pintu dan ternyata di dalamnya adalah sebuah ruangan penyimpanan baju. Bagaimana mungkin bajunya yang hanya sedikit itu akan ditata di sini? Pasti masih banyak ruang yang tersisa. Wulan hanya terkikik sendiri.

Lalu bagaimana dengan tas juga sepatunya? Tak mungkin ia menyimpan tas usang juga sepatunya yang sudah butut itu di sini.

"Bu, ini terlalu berlebihan. Saya tinggal di belakang saja. Kamarnya kan juga bersih, nyaman juga di sana," Wulan sepertinya lebih memilih tinggal di kamar yang diperuntukkan untuk para pekerja di rumah ini.

"Loh, ngapain? Kamu kan nggak kerja untuk ibu, Lan. Kamu anak ibu, ya tidurnya di sini bukan di belakang. Kamu ke sini bukan untuk bekerja. Tapi untuk menemani ibu," bu Lestari menolak keinginan Wulan. Ia memang sudah menduga sebelumnya. Gadis sederhana namun juga kuat seperti Wulan tak akan mau menerima pemberian orang-orang di sekitarnya dengan mudah jika tak terpaksa. Ia sudah banyak mendengar permasalahan Wulan dari bu Farida, ibu kost Wulan.

"Saya nggak nyaman kalau seperti ini, bu. Saya nggak mau membebani ibu." Wulan memang menerima tawaran bu Lestari, namun ia cukup tahu diri untuk tak meminta lebih. Dan ini semua sangat berlebihan menurut Wulan.

"Kamu sama sekali tidak membebani ibu, justru ibu yamg merasa memanfaatkan kesulitan kamu demi mendapatkan keuntungan. Ibu kesepian dan memaksa kamu untuk tinggal bersama ibu." Wulan seketika menggelengkan kepalanya berulang-ulang.

"Nggak, bu. Tolong ibu jangan berfikir seperti itu. Saya ke sini atas keinginan saya sendiri. Saya juga sudah mempertimbangkan masak-masak semua keputusan saya," Wulan menghampiri bu Lestari dan meraih tangan wanita itu.

"Kalau begitu mulai sekarang jangan pernah lagi merasa membebani ibu. Ibu senang kamu di sini. Kamu anak ibu, Lan."

"Iya, bu. Wulan anak ibu," balas Wulan dengan senyum lebar. Akhirnya dengan di bantu dua orang asisten rumah tangga bu Lestari, Wulan menata barang-barangnya di kamar barunya.

Setelah makan siang dan mengahabiskan waktu mengobrol dengan bu Lestari, Wulan pun berangkat ke restoran untuk bekerja.

Pak Triman, sopir keluarga bu Lestari mengantarkan Wulan ke Amary's--restoran tempat Wulan bekerja. Sebenarnya Wulan sudah menolak,namun ia bisa apa jika sang nyonya besar sudah memaksa. Ia hanya bisa pasrah menurutinya.

***
Pukul tujuh malam, Wulan sudah kembali pulang. Lebih cepat dari jadwal kerjanya. Restoran memang tutup lebih awal karena ramainya pengunjung sedari pagi. Stok menu juga sudah habis tak tersisa. Hal yang menyenangkan bagi semua orang. Baik pemilik maupun pekerja restoran.

"Kok sudah datang, Lan?" sapa bu Lestari saat Wulan memasuki rumah melalui pintu samping. Mendengar sapaan bu Lestari di ruang keluarga ia pun menghampiri wanita itu, kemudian meraih punggung tangannya kemudian menciumnya.

"Restoran ramai sejak pagi, bu. Jadi stok hari ini lebih cepat habis, makanya saya bisa pulang awal. Bapak sudah datang, bu? Saya belum menyapa beliau," sejak menginjakkan kaki di rumah ini, Wulan memang belum melihat Bambang Wijanarko, suami bu Lestari.

"Bapak di kamar, sebentar lagi turun makan malam. Kebetulan kamu sudah datang, sekalian kita makan sekarang." Wulan mengiyakan permintaan bu Lestari kemudian bergegas ke kamar mengganti bajunya.

Lima menit kemudian Wulan sudah kembali ke ruang makan dan menyapa pak Bambang, sang pemilik rumah. Pria bertubuh tinggi besar itu ternyata ramah dan menyenangkan, berbanding terbalik dengan fisiknya yang terlihat berwibawa dan sedikit dingin menurut Wulan.

"Makan yang banyak, Lan. Biar nggak kurus. Kamu butuh banyak energi untuk kuliah juga bekerja," pak Bambang membuka percakapan sesaat sebelum Wulan mengambil makanan di depannya.

"Kamu nggak usah sungkan, ini rumah kamu juga. Kalau mau apapun bilang saja." Wulan hanya tersenyum canggung mendengarkan pria baya itu berbicara di depannya.

"Besok mas-mas kamu bapak suruh datang. Biar mereka kenal anggota baru keluarga ini," Lanjut pak Bambang yang seketika membuat Wulan mengeryitkan kening tak mengerti.

"Maksud bapak, anak-anak bapak sama ibu, Lan. Kamu belum mengenal mereka kan? Tadi bapak sudah menghubungi mereka. Besok pagi mereka datang. Malam ini mereka masih punya urusan jadi tidak bisa langsung pulang ke sini," Wulan mengangguk paham dengan ucapan bu Lestari. Bu Lestari memang pernah menjelaskan bahwa anak pertama dan ketiganya tak setiap hari pulang ke rumah karena si sulung sudah mempunyai rumah sendiri. Sedangkan si bungsu lebih sering tidur di rumah kakaknya.

"Mereka pasti senang ada kamu di sini, Lan. Semoga saja mereka mau kembali lagi ke rumah ini. Setelah Masayu menikah mereka enggan di sini. Tidak ada yang bisa di kerjain kata mereka," bu lestari tertawa geli membayangkan ulah kedua putranya yang selalu menyayangi saudari mereka.

Wulan hanya bisa menganggukkan kepala. Ia juga berharap semoga saja anak-anak pak Bambang dan bu Lestari menyukainya. Akan sangat tidak nyaman jika ada yang tak menginginkan kehadirannya di rumah ini.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top