BAB 9
Visual ARLAN
Visual SEAN
Love dulu buat part ini ♥️
JANGAN SPAM NEXT YA 🙃
**
Aditya benci ketika melihat Ana akrab dengan laki-laki lain. Ada rasa yang mengganjal di hatinya. Ia tidak menyukai hal itu. Apa ia masih menyukai gadis yang pernah menolaknya itu bahkan mempermalukannya di depan umum dulu. Walau gadis itu sendiri sudah meminta maaf padanya. Tapi rasa sakit itu masih ada.
Aditya menghela napas, apa yang harus ia lakukan? Mungkin mengerjai gadis itu tidak salah. Ia akan pastikan jika gadis itu akan merasakan rasa sakit yang pernah ia rasakan.
"Permisi, ada apa pak?" Sebuah suara membuat mata Aditya yang tadi terpejam menjadi terbuka. Ia menatap tajam gadis di hadapannya. Gadis yang membuatnya gila akhir-akhir ini.
"Saya lapar." Ucapan itu sontak membuat Ana terpaku. Jadi ia dipanggil sambil di bentak-bentak hanya untuk hal ini. Kenapa tidak bilang dengan baik-baik saja? Tidak perlu membentaknya seperti orang bodoh.
"Kalau begitu saya pesankan makanan pak. Bapak mau makan apa?" Tawar Ana, ia tahu tugasnya sebagai asisten Aditya harus membuatnya siap siaga di setiap pria itu membutuhkannya.
"Saya tidak ingin kamu beli," tolak Aditya, ia berusaha mencari cara agar Ana tidak berduaan dengan pria lain. Enak saja dia sibuk bermesraan sedangkan Aditya harus sibuk berkasih ria dengan kertas-kertas perusahaan.
Itu tidak adil!
"Maksud bapak?" Tanya Ana dengan bingung ia kadang tidak pernah mengerti apa yang Aditya inginkan.
"Kamu masak sendiri. Saya ingin dibuatkan Nasi Goreng dengan telor ceplok setengah matang." Perintah Aditya membuat Ana jadi melongo, ia tidak menyangka jika pria itu dengan kejamnya menyuruhnya memasak padahal tugas dari pria itu saja tadi belum selesai dan buruknya dia juga belum makan. Seberat inikah berkerja dengan iblis seperti Aditya.
"Kamu bisa menggunakan dapur di atas."
"Maksud bapak bagaimana?" Ana bingung karena tidak melihat dapur sama sekali.
Aditya kemudian menunjuk tangga hitam yang melingkar di pojok kanan ruangannya.
"Saya punya ruangan pribadi di atas, ada kamar dan dapur disana. Jangan menyentuh barang apapun di kamar saya. Kamu hanya boleh menyentuh apapun yang ada di dapur." Ana mengangguk mendengar itu. Ia tidak percaya jika Aditya memiliki ruangan seperti itu dan dia baru menyadarinya.
"Jangan terlihat kaget seperti itu. Saya jarang pulang ke rumah dan menghabiskan hampir seluruh waktu saya untuk bekerja." Ana tersenyum kecil mendengar itu, lagi pula siapa yang peduli dengan pria itu. Ia bahkan tidak ingin tahu hal itu.
"Kalau begitu saya permisi dulu pak. Saya akan buatkan bapak makanan." Baru saja Ana akan melangkah, lagi-lagi suara Aditya menghentikan langkah gadis itu.
"Buatkan dua porsi." Ana menarik napas kemudian tersenyum sangat manis untuk Aditya. Padahal dalam hatinya ia ingin berkata rakus sekali makan sebanyak itu. Rasanya ia ingin menguliti bos iblisnya ini. Tapi ia bisa apa selain tunduk dan patuh. Dirinya saat ini benar-benar mirip seperti pembantu pria itu saja. Yang bisa disuruh seenaknya. Asistenkan juga manusia pak.
Ana menaiki tangga itu dengan kagum ketika di suguhi sebuah kamar yang atapnya terbuat dari kaca yang langsung memperlihatkan langit biru. Pasti sangat menyenangkan sekali bisa tidur sambil melihat bintang di sini. Ia mengamati kamar pria itu, padahal hanya ada kasur dan lemari tapi kenapa pria itu seolah-olah disini banyak barang berharga. Ana menggelengkan kepalanya kesal jika teringat perkataan Aditya tadi. Ia langsung berjalan lagi menuju dapur yang di katakan Aditya.
Ketika Ana membuka kulkas ternyata lengkap sekali dipenuhi dengan bahan-bahan makanan. Menyenangkan sekali rasanya. Ia tidak perlu belanja. Ia hanya tinggal memasak. Tapi bahan sebanyak ini Aditya gunakan untuk apa. Apa dia juga sering memasak? Mengingat pria itu tadi mengatakan jarang pulang ke rumah.
"Ah.. sudahlah untuk apa memikirkan pria itu. Bahkan Si Gila Adit tidak pernah memikirkan sama sekali perasaanku. Gara-gara Adit juga aku harus di pecat dan kehilangan pekerjaan.." Gerutu Ana sebal.
Ana mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Lalu menggulung lengan blousenya biru agar tidak kotor.
Ana menghela napas sambil menyemangati dirinya bahwa ia mampu melewati ini semua. Ana mulai memasak sambil bersenandung untuk mengurangi rasa kesalnya. Mungkin menghadapi Aditya harus dengan kesabaran agar pria itu sadar bahwa semua orang itu bisa berubah. Dan pria itu juga capek untuk terus mengerjainya.
Semua hal yang Ana kerjakan tentu saja tak luput dari pandangan Aditya. Pria itu mengamati tindak tanduk gadis itu melalui kamera CCTv yang ia pasang. Ia takut gadis itu bertindak ceroboh dan menghancurkan dapurnya.
"Nonton apa bro?" Sela Arlan melihat sahabatnya tengah serius menatapi layar laptop.
Aditya yang terkejut langsung menutup laptopnya. Ia salah tingkah karena hampir ketahuan oleh sahabatnya sedang melihat Ana.
"Ada keperluan apa?" Tanya Aditya menyembunyikan rasa malunya. Ia menatap tajam Arlan seakan mengatakan jika tidak ada yang penting lebih baik kamu keluar dari pada menganggu hariku yang nyaris sempurna ini..
"Santai bro... Gua kesini cuma mau minta tanda tangan aja. Lu ngak lupakan gua masih sekertaris lu. Apa jangan-jangan asisten baru itu buat lu lupa sama gua. Sampai pekerjaan gua banyak banget di alihkan ke cewek itu." Aditya tidak menjawab apa yang Arlan katakan. Matanya malah semakin tajam menatap Arlan.
"Ini berkasnya." Arlan menaruh berkas itu di meja Aditya. Lalu langsung pamit pergi. Ia sudah tidak kuat di tatap tajam seperti itu oleh Aditya. Ia sepertinya salah menggoda Aditya.
Setelah kepergian Arlan. Aditya bernapas lega, ia kembali membuka laptopnya untung saja Arlan tidak nekad untuk mengintip tadi. Andai saja ia lengah sedikit pasti ketahuan. Aditya kembali mengamati laptopnya mengamati Ana. Ia tersenyum ketika gadis itu menggerutu mengumpat dirinya. Bahkan ia tidak peduli dengan berkas yang tadi Arlan taruh di mejanya. Gadis ini dengan sekejap mampu mengalihkan perhatiannya. Aditya langsung menggeleng memikirkan itu. Ia langsung menutup laptopnya kesal.
"Sialan!!!"
"Untuk apa aku menghabiskan waktuku dengan percuma hanya untuk mengamati gadis itu!!!" Dengan kesal Aditya mengambil berkas yang Arlan berikan tadi. Ia berusaha untuk fokus dan konsentrasi memeriksa berkas itu. Tapi sial tidak ada gunanya bayangan gadis itu sedang memasak membuatnya gila.
Aditya kemudian berdiri membanting berkasnya ke lantai. Tepat saat itu
Ana turun dengan membawa segelas minuman.
"Bapak kenapa marah-marah?" Pertanyaan itu membuat Aditya kelabakan. Pria itu mencoba berdehem.
"Mana makanan saya?" Tanya pria itu mencoba mengalihkan perhatian. Ia tidak ingin Ana tahu jika penyebab kemarahannya saat ini adalah gadis itu. Apalagi sampai ketahuan jika sedari tadi Adit menguntit semua kegiatan Ana melalui CCTv.
Hancurlah harga dirinya, pasti Ana akan mengejeknya sebagai laki-laki kurang ajar yang tidak bisa move on.
"Ada di atas pak. Saya ini bawa minuman buat bapak," Ana menaruh segelas es jeruk untuk mendinginkan kepala Aditya yang ia rasa panas seperti neraka. Ia berharap es ini mampu membuat Iblis di dalam diri Aditya beku sehingga pria itu tidak akan marah-marah tidak jelas seperti ini.
"Cepat bawakan makanan saya. Saya sudah kelaparan dari tadi." Ana mengangguk bahkan bukan hanya pria itu saja yang kelaparan tapi juga dirinya.
Baru saja Ana ingin berbalik pria itu Kembali memanggilnya.
"Jangan lupa buatkan satu lagi minumannya!" Bukannya berterima kasih pria itu malah menyuruhnya seenaknya lagi. Andai saja Ana boleh berteriak ia akan meneriakan pria itu sekeras mungkin tapi ia hanya bisa diam dan patuh.
"Baik pak."
"Ana." Panggil Adit membuat tangan Ana terkepal menahan amarah.
"Iya pak? Ada lagi yang bapak butuhkan?"
"Tidak, aku hanya ingin sekedar mengetes telingamu apakah masih berfungsi dengan baik atau tidak?" Adit mengatakan itu dengan polos seakan ucapannya tidak menyinggung Ana. Apa bosnya itu berpikir ia mengalami gejala budek?Ana mendesah, padahal belum ada satu hari tapi rasanya seperti satu tahun tinggal di neraka.
Adit benar-benar menguji kesabarannya. Ingin rasanya Ana mencium wajah tampannya itu. Tersadar apa yang dipikirkannya, Ana menggeleng keras menghalau semua rasa itu.
Aditya duduk di sofa ruang kerjanya sambil menunggu Ana turun membawa makanan. Ia menyesap minuman yang Ana buatkan, tenggorokannya terasa segar dan kepalanya menjadi rileks. Ia akan meminta gadis itu untuk terus membuatkannya minuman ini jika emosinya tidak bisa di kontrol.
Suara langkah kaki dari tangga menyadarkan Aditya. Ana turun sambil membawa nampan ke arahnya. Ingin sekali ia membantu wanita itu, namun ia takut jika wanita mengira ia peduli padanya. Ia tidak ingin terlihat cari perhatian.
"Ini pak makanannya sudah siap dan juga segelas minuman yang bapak inginkan tadi." Ujar Ana sambil menaruh semua itu di atas meja.
"Ada yang bapak perlukan lagi? Kalau tidak ada saya pamit mau melanjutkan pekerjaan saya." Ana ingin segera pergi dari situ ia sudah tidak kuat satu ruangan dengan tuan menyebalkan ini. Namun sepertinya takdir tidak pernah berkehendak padanya. Lagi-lagi pria itu menghentikan langkahnya.
"Lalu pergi makan bersama Sean lagi," sindir Aditya, ia tidak akan membiarkan itu terjadi.
"Maksud bapak?" Ana merasa aneh dengan perkataan Aditya. Memang apa salahnya jika makan kembali bersama Sean.
"Lupakan!"
"Makan disini bersama saya!" Mendengar perintah bosnya membuat Ana bingung, wajahnya melongo menatap Aditya bingung.
"Saya tidak akan bisa menghabiskan makanan ini sendirian, saya butuh kamu di samping saya." Kata-kata itu membuat Ana terpaku, entah kenapa terasa indah di telinganya, bahkan tanpa sadar pipinya merona. Ingin sekali Ana memaki Aditya karena mengucapkan kata seperti itu.
"Ini perintah dan saya tidak menerima penolakan," lanjut Aditya ia hanya kesal melihat Ana berdua dengan pegawainya itu. Namun malah menolak tawarannya. Emang apa kurangnya dia dibanding Sean, pegawai rendahan itu.
"Kamu mau saya pecat?"
"Jangan pecat saya pak." Ana dengan cepat menjawab itu lalu duduk di sofa.
Ana tiba-tiba menjadi gugup ketika Adit duduk di sebelahnya. Ia mengutuk dari sekian banyak tempat kenapa bosnya yang arogan ini harus memilih di sampingnya. Entah kenapa jantungnya berdebar kencang di samping pria itu. Ana menggelengkan wajahnya tidak mungkin bukan dia mencintai pria ini.
Ana baru sadar jika ia memakan nasi goreng yang dibuatnya, bukankah pria itu meminta dua porsi, apa Aditya memang sengaja agar bisa makan bersamanya. Apa pria itu masih menyukainya? Bagaimanapun pria itu pernah menyukainya? Tanpa sadar Ana memperhatikan Aditya. Pria itu terlihat lahap dengan makanannya. Dalam hati ia tersenyum melihat Adit menyukai masakannya.
Aditya yang sekarang beda dengan yang dulu. Pria yang dikenalnya dulu tidak se-menyebalkan ini, bahkan pria itu dulu hangat dan suka tersenyum bukan menjadi ambisius dan arogan seperti sekarang. Bahkan selalu memamerkan kekuasaannya dan melakukan apapun yang ia mau tanpa memikirkan orang lain.
Merasa diperhatikan Aditya memalingkan wajah ke arah Ana. Mereka saling menatap satu sama lain, tak ada satupun dari mereka yang memutuskan kontak. Ia bahkan tak sadar ada noda nasi di sudut bibirnya.
Ana yang melihat noda itu gemas, tanpa sadar gadis itu mengulurkan tangannya membersihkan noda itu. Tentu saja itu membuat Aditya terpaku. Perasaan asing itu kembali hinggap seakan minta di isi. Bahkan jantungnya berdebar begitu kencang.
Menyadari kecerobohannya yang dengan lancang memegang wajah Aditya, Ana dengan cepat mencoba melepaskan sentuhannya. Namun kalah cepat dengan Aditya. Pria itu menggenggam tangan Ana yang terasa hangat di sentuhannya. Mata pria itu menatapnya dalam seakan tenggelam di sana.
"Kamu pikir saya anak kecil yang makan belepotan, lebih baik kamu habiskan makananmu," dengan kasar Aditya melepaskan genggaman itu. Ia malu dan salah tingkah karena diperlakukan Ana semanis ini. Seharusnya ini tidak boleh terjadi. Ia hanya boleh membenci gadis ini bukan menyukainya.
Sial!
Aditya sadar jika perasaannya pada gadis itu masih tumbuh di hatinya. Kenapa nasibnya harus menyedihkan seperti ini menjadi pria yang gagal move on? Padahal ia memiliki semuanya wajah tampan, dan harta melimpah tapi kenapa hatinya hanya berdetak untuk Ana seorang. Sungguh takdir yang kejam.
Ana tahu posisinya, ia hanya diam dan melanjutkan makannya. Dalam hati ia merutuki kecerobohannya yang telah menganggu Aditya pasti pria itu akan selalu kasar padanya. Ia tahu ia hanya dijadikan objek balas dendam, jadi tidak mungkin Aditya bersikap baik sebelum hatinya lega memenuhi hasrat dendamnya itu.
"Setelah makan nanti kamu cuci piringnya, ingat jangan sampai pecah. Piring milik saya mahal kamu tidak akan kuat untuk menggantinya." Ana hanya meringis mendengar itu.
"Gaji kamu juga tidak akan cukup untuk membayarnya." Lagi-lagi Aditya mengeluarkan kata-kata kasarnya. Seolah mengejek Ana tidak selevel dengannya.
Aditya membasuh wajahnya dengan air. Tanpa sadar ia memegang bekas sentuhan Ana di sudut bibirnya. Rasanya begitu membekas dan menghangat. Apakah perasaan cintanya masih ada? Seharusnya ia membenci gadis itu. Bukan mengajaknya makan bersama. Namun ia menyukai perasaan itu. Berada di samping Ana walau hanya diam dan tanpa kata-kata. Aditya mengacak rambutnya kasar, sepertinya dia harus ke rumah sakit jiwa memeriksa isi jiwanya yang sudah tidak dapat ia kendalikan.
Ana adalah masalalu terburuknya. Kenangan yang membuatnya terluka.
Satu-satunya wanita yang membuatnya ambisius untuk menjadi pria terpandang dan terhormat, ia tidak ingin di hina menjadi orang miskin lagi. Ia juga tidak ingin Ana kepedean karena kebaikannya tadi. Sepertinya ia butuh wanita lain untuk menunjukkan pada Ana bahwa dia tidak lagi mencintai Ana. Gadis itu tidak ada artinya di hidupnya. Aditya berusaha menguatkan pikirannya.
Tangannya bergerak mengambil ponsel di saku. Dia menghubungi Indah salah satu wanita yang akhir-akhir ini gencar mendekatinya. Mungkin dia bisa menghabiskan waktu sementara bersama Indah untuk menunjukkan pada Ana. Bahwa dia tidak menyukai Ana, ia juga bisa mendapatkan wanita manapun. Aditya berusaha mengelak dari perasaannya.
Ana yang sibuk membereskan piring tiba-tiba dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita cantik yang datang mencari Aditya. Disaat itu juga Aditya keluar dari kamar mandi. Dan yang membuatnya terpaku adalah lengan Aditya di rangkul oleh wanita itu. Pria itu tidak risih bahkan menerima tanpa sadar Ana kecewa. Hatinya merasa sakit melihat kedekatan Aditya dengan wanita lain. Padahal baru beberapa waktu lalu Aditya mengatakan perkataan yang membuat hatinya luluh.
"Biarkan OB yang membersihkan sekarang kamu ikut saya ke mall."
"Tapi pak untuk apa saya ikut bapak ke mall?" Tanya Ana bingung.
"Untuk membawa belanjaan Indah." Ana menghela napas sudah ia tebak Aditya pasti hanya akan menjadikannya babu. Ia tersenyum pahit setelah kemarin pria itu menciumnya sekarang ia harus menemani Aditya kencan dengan wanita lain. Entah kenapa hati kecilnya sakit.
***
Selamat membaca
Jangan lupa follow Instagram
@wgulla_
@adityaarjanggi
@anatasya_ryhn
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top