[Name]: z w e i

Aku menghembus napas lega. Untuk bagian kerjaan baruku—yaitu memandu kedua pria calon penerus perusahaan dan memperkenalkan sebagian isi perusahaan telah selesai. Langkahku mendahului mereka yang berada di belakang dengan tanganku yang memegang buku jurnal berukuran A5 bersampul kulit cokelat dengan bookmark dimana-mana. Seharusnya bos besar sudah tahu aku tidak bisa melakukan sesuatu yang mendadak, namun alasan klisenya selalu 'Kau 'kan anak pintar! Tentu kau bisa mengatur semuanya bukan?'. Bukannya aku tidak mau menerima alasan itu, lama-lama aku bisa gila juga hei kalau diberi pekerjaan mendadak.

Kau tahu, sebagai manusia yang selalu mengutamakan kesempurnaan—aku mengatur semua jadwalku setiap harinya di jurnal harianku. Dari aku bangun pagi sampai aku pulang kerja semua kujadwal, kecuali jika aku libur aku bebas tidak begitu terikat dengan jadwal harianku. Bagi setiap orang itu menyiksa, namun begitulah aku hidup dari dulu. Walau orangtuaku adalah dua orang yang berbeda, yang dimana ibuku hanya melakukan sesuatu begitu spontan dan menerima semua kerjaan mendadak sementara ayahku adalah orang yang berkebalikan, sifat perfeksionis itulah menurun dari ayahku. Untung saja di rumah kami tidak begitu menguatkan ego dengan mengikuti perkataan masing-masing, yah walau sesekali ada pertengkaran juga.

Kini aku juga sudah tahu nama kedua pria ini. Si pirang berkacamata dengan lidah tajamnya—begitu judes—dan memang sudah kutahu dari zaman sekolah namanya Tsukishima Kei. Dulu aku hanya mendengar desas-desus anak-anak saja kalau saat angkatanku (dan juga angkatan Tsukishima) tim voli laki-laki SMA Karasuno begitu kuat. Apalagi mereka memiliki rival tetap dari kota pusat, SMA Nekoma—yang dulu ditempati oleh pria bermahkota obsidian ini—bernama Kuroo Tetsurou. Sekilas aku juga mendengar kalau pria ini pernah menjadi kapten di tim volinya. Aku dulu tidak begitu minat di olahraga sih, makanya aku hanya pernah mendengar omongan dari teman-temanku saja.

Ketika langkahku makin mendekat ke meja kerjaku, aku merasakan tatapan mengintimidasi yang membuatku tersentak. Kepalaku spontan menoleh ke belakang, mendapati reaksi Kuroo yang terkejut, sementara Tsukishima langsung mengalihkan pandangan. Iya, aku tahu sekali si pirang ini memang menatapku daritadi.

"Apa kalian memerlukan sesuatu?" Aku berbalik, kutanya dengan ulasan senyuman tipis di wajah.

"Kayaknya Tsukki perlu sesuatu!" Kuroo yang berada di sisi Tsukishima menjawab, membuat si pirang mendecak. Tergambar sekali ekspresi kekesalan di wajah pria itu, namun yang mengusilinya mendengus.

Aku terdiam, menatap si kacamata untuk menuntut jawaban 'apakah benar kau memerlukan sesuatu?'. Namun kelihatannya Tsukishima tidak ingin menjawab hal tersebut, membuat helaan napas kasar tercipta dariku.

"Kalau tidak ada, saya akan menga—"

"—Kau... anak kelas 3-5, [Full Name], yang berada di peringkat 3 terbesar?" Si pirang memotong omonganku. Mendengar perkataannya pun membuatku mengerjap, lalu spontan aku menutup wajahku dengan buku jurnal yang kupegang sedaritadi. Sial, dia tahu kelasku darimana?!

"Sudah kubilang kita satu sekolah 'kan?" Ia melanjutkan disertai senyuman miring. "Kau tidak mempercayaiku hah, Kuroo-san?"

"Bagaimana aku mau percaya kalau pihak di depan kita tidak mengakuinya?"

"Mana mungkin dia mau mengaku karena anak dari tiga besar di SMA Karasuno akan menjadi babuku," ujarnya—seperti mengejekku—membuat perempatan muncul di dahiku. Bagai panah menusuk hatiku, aku menggerutu. Enak saja, aku dikatai babu! Memang aku dari kelas satu hanya memutar posisi dari tiga ke lima besar, begitu seterusnya. Tetapi kata-katanya ini loh...

"Babumu? Dia akan menjadi bawahanku nanti!"

Satu panah lagi mengenai hatiku, membuat perempatan imajiner bertambah di wajahku. Mereka ini mentang-mentang mau jadi atasan seenaknya menyebut orang dengan sebutan tidak elit!

"Babu?" Aku mengulangi, memandang mereka dengan perempatan imajiner dan juga api yang membara di sekitarku membuat mereka tersentak. "Kalian tahu, babu dan sekretaris itu beda sekali 'kan?"

"Memang, tapi secara kasarnya 'kan babu toh?" Tsukishima berujar seraya menaikkan kacamatanya, membuat kedua tanganku mengepal.

"Heh, dengar ya!" Tanganku menunjuk wajah si jerapah berkacamata itu. "Miyagi-san tidak pernah mengataiku babu atau sejenisnya! Asal kalian tahu..." Kutaruh tanganku di pipi, lalu tersenyum—menahan amarah. "Posisiku penting untuk saat ini karena aku akan melihat potensi kalian menjadi penerus. Kalau kalian mau tahu lagi, aku dan keluargaku sudah begitu lama mengabdi disini."

Keduanya terdiam setelah aku menjelaskan, namun tak lama kemudian tawa mereka pecah. Yang satunya tampak menahan tawa, satunya lagi tertawa ngakak membuat orang-orang yang berada di sana melihat ke arah kami. Aku sendiri juga kaget, bingung, lalu kekesalanku bertambah karena mereka benar-benar menganggapku begitu enteng. Sialan.

"Masa' sih? Cuma jadi babu kok lagaknya kayak atasan," ujar si kacamata yang membuat perempatan imajiner makin bertambah di wajahku.

"Lucu sekali, Nona Sekretaris! Berarti aku hanya perlu memohon padamu ya?" si rambut ayam berujar, semakin membuat perempatan imajinerku bertambah.

Mereka memang tidak tahu, tapi orang-orang yang sudah begitu lama bekerja di perusahan ini tahu. Sudah kubilang, aku dan keluargaku sudah mengabdi bersama Paman Miyagi begitu lama, ia sudah mempercayai aku dan keluargaku dalam hal apapun. Kali ini beliau memberiku kesempatan untuk melihat potensi keduanya, tapi baru bertemu saja aku sudah dipijak-pijak, bagaimana kalau kami nanti menjadi partner kerja?!

"Kalau begitu..." Aku berujar, berjalan ke arah meja kerjaku dan mengambil dua map berisi berkas dan laporan persetujuan kerja sama dan memberikannya masing-masing satu pada mereka. "Lakukan ini. Meeting dengan klien kalian, untuk si kacamata akan dilakukan jam 13.15, setelah makan siang. Untuk anda," Aku menunjuk map yang dipegang Kuroo. "Dalam 30 menit klien anda akan sampai."

"Hah? Secepat itu?" Kuroo protes, melihat map yang dipegangnya. "Terus aku harus ngapain?"

"Mana kutahu, aku 'kan cuma babu. Kalian harusnya pikir sendiri dong?"

Aku mendecih dan berbalik, tak memedulikan mereka yang kebingungan. Salah sendiri, malah menghidupkan sumbu api dariku 'kan kebakar aku jadinya. Toh aku juga percaya mereka mampu melakukan ini, dua-duanya 'kan pintar. Aku tidak perlu khawatir, harusnya.

-ooooo-

Kalian tahu, aku masih marah dengan mereka. Seharusnya aku masuk ke dalam ruangan dan menemani Kuroo—hanya saja mood-ku sedang buruk jadi aku hanya menunggu di ruang tunggu. Di seberangku, Tsukishima membaca isi map begitu serius. Aku memang tidak begitu mengkhawatirkan si kacamata karena kutahu dari SMA dia sudah pintar, kalau si ayam ini ... tampangnya gak menunjukkan sama sekali. Sejenak aku menggeleng, [Name], kau tak boleh menilai seseorang dari sampulnya!

Tak lama kemudian pintu terbuka, klien mulai keluar diikuti Kuroo di belakangnya dengan map yang berada di tangan. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi bahagia, tanpa sadar tubuhku bangkit dari sofa dan melihat pria itu berjalan begitu lesu menghampiriku. Mataku mengerjap, melihatnya menyodorkan map padaku dan kuambil map tersebut—membuka bagian laporan persetujuan kerjasama. Mulutku spontan ternganga ketika melihat lembar tersebut bahwa kerja sama kali ini disetujui oleh klien yang kutahu naudzubillah susahnya minta ampun. Asal kalian tahu, ini sudah ketiga kalinya kami mengajak kerja sama dengan klien ini.

Tawa Kuroo pecah, membuatku tersentak. "Gimana gimana? Aku hebat 'kan!" ujarnya dengan begitu bangga, lalu menepuk dadanya. "Aku ini memang hebat kalau mengajak orang kerja sama!"

Aku mendecih, lalu membawa map tersebut. Arlojiku berdenting sejenak, membuatku mengalihkannya pada benda digital yang bertengger di pergelangan tangan kiriku. Sudah memasuki jam makan siang ternyata. Aku menoleh pada Kuroo, lalu bergantian ke arah Tsukishima.

"Sekarang jam makan siang, jadi kalian istirahat dulu."

"Oh, sudah jam istirahat?" Si kepala ayam berujar, lalu menghela napas. "Akhirnya aku bisa makan! Aku begitu kelaparan saat meeting tadi."

Tubuhku sedikit membungkuk, pamit pada keduanya dan melangkah meninggalkan mereka. Namun baru beberapa langkah, suara Kuroo menghentikanku.

"Nona Sekretaris gak mau makan siang bareng?"

Aku tersenyum—marah—pada mereka, lantas menolehkan kepala dan berujar, "Aku hanya babu. Jangan pedulikan babu, oke?"

Kutekan kata 'babu' di kalimatku, lalu kembali berjalan meninggalkan mereka. Aku tidak peduli, aku benar-benar kesal ketika mereka mengataiku dan menertawaiku. Padahal kalau tidak ada sekretaris mereka bisanya planga-plongo aja! Lagi-lagi aku mendecih, mengingat sikap mereka malah ingin membuatku menginjak wajah mereka satupersatu.

-ooooo-

Sore hari, aku belum sempat menyentuh makanan yang telah dibeli oleh juniorku. Sebenarnya aku merasa tidak nyaman karena mereka selalu membelikan makanan untukku walau hanya sekadar makanan ringan seperti nasi kepal, sushi atau hanya nasi kotak. Biasanya hanya kumakan sedikit, lalu kubawa pulang atau bahkan parahnya kubuang. Mereka memang begitu menghormatiku, tapi sudah berkali-kali kubilang kalau aku tidak akan makan sebelum kerjaanku selesai. Yah, setiap hari aku berbohong sih dengan bos besar kalau aku sudah makan. Paling tidak, ia melihatku makan walau hanya dua suap—lalu kembali bekerja. Sungguh, kalau pekerjaanku belum selesai, aku tidak akan tenang untuk menikmati makananku.

Baru satu hari dua pria itu disini, tapi kepalaku sudah pusing. Beban kerjaku bertambah, jujur saja. Apalagi sikap mereka benar-benar membuatku kesal setengah mati! Mereka pikir dengan mereka berhasil menarik klien aku akan luluh? Maaf saja, pengalaman kerja seorang [Name] sudah begitu lama. Aku dulu seperti kutu loncat yang berpindah-pindah kerjaan, walau kalian tahu aku dan keluargaku memang sudah ditakdirkan untuk mengabdi—namun ketika masih magang aku selalu mencari pekerjaan yang membuatku nyaman dengan suasana kondusif. Aku pernah menemui satu perusahaan dulu dan aku hanya menjadi pekerja biasa, tapi karena adanya Paman Miyagi akhirnya aku diajak untuk menjadi pekerja magang hingga pekerja tetap disini. Tempat itu begitu nyaman, aku pun menyukai bosnya disana. Ia begitu baik, sangat-sangat baik. Tetapi karena tempat kerjaku memang disini, ya mau bagaimana lagi.

Jam kantor selesai pukul lima sore yang berarti sekitar 10 menit lagi para pekerja kantor disini akan pulang. Apa kalian pikir aku akan pulang tepat waktu? Tidak, aku biasanya pulang lebih larut—sekitar jam 8 malam bahkan aku pernah pulang sampai jam 10 karena kerjaanku begitu banyak. Percayalah, walau aku mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan setiap harinya, mereka terus bertambah bertambah dan bertambah banyak. Apalagi kedatangan dua manusia menyebalkan ini, pekerjaanku makin bertambah.

Dua map yang kuberikan pada si pirang dan kepala ayam sudah berada di mejaku. Sebelum aku ke pekerjaan itu dan membuat laporan, kukerjakan pekerjaan yang sudah menantiku sedaritadi di komputer. Tak hanya komputer, di hadapanku juga adalah buku administrasi yang kugunakan untuk mencatat laporan pemasukan dan pengeluaran. Memang ini diisi oleh bagian keuangan, namun aku harus mengecek segalanya untuk mengetahui semuanya sesuai atau tidak 'kan?

Kulihat Kuroo berjalan melewati mejaku, tampak ingin pulang. Namun langkahnya memundur dan berhenti tepat di samping mejaku. Aku tahu, namun aku tak memedulikannya. Fokusku masih pada kerjaan yang kini berada di hadapanku.

"Hee~ Nona Sekretaris belum mau pulang?"

"Belum," jawabku spontan.

"Pulang dong~ Nanti sakit loh terus gak ada yang jadi—"

"Apa? Babu?" Kutanya, mengadahkan kepalaku dan menatapnya dengan kesal. "Kalau anda hanya mau mengatai saya lagi, lebih baik anda melangkah pelan-pelan dan pulang ke rumah oke?"

"Oya oya, ngambek nih ceritanya?"

"Iya, kenapa? Gak suka?"

"Jangan ngambek dong, Nona Sekretaris~ Toh dah kupanggil begitu juga, masa' kau masih mengira aku mengataimu babu sih?"

Aku mendengus, tak memedulikannya lagi dan berlanjut pada pekerjaanku. Kudengar derap langkah Kuroo berjalan melewatiku, lalu duduk di kursi kosong yang berada di sebelahku. Memang, rekan kerja yang duduk di sebelahku sudah minggat daritadi. Menyisakan aku sendiri disini, di deretan ini.

"Aku temenin deh biar semangat," ujarnya, menarik kursi mendekatiku dan meletakkan sikunya di mejaku—serta menopang pipinya—menatapku dengan senyuman narsisnya. Perlahan kumenoleh padanya lalu mengernyit.

"Anda mau banget ya menemani babu?"

"Aku gak ada ngatain kau babu loh, ya. Harusnya kau marah sama Tsukki noh." Kuroo berujar lalu menggeleng pelan. "Itu anak mulutnya aja udah gak bener gimana mau mimpin perusahaan coba."

"Sama juga kayak anda, jangan ngatain orang lain kalau anda sendiri gak ngaca."

Kayaknya kata-kata itu membuat panah menusuk hati Kuroo. Sejenak aku mengerling padanya, lalu mendengkus. Maaf maaf saja, begini-begini mulutku juga jadi ganas kalau lagi kesal. Tadinya aku ingin menahan, tapi gara-gara diketawain tadi aku bener-bener gak bisa ngerem.

"Nusuk banget sih, non. Cocok nih kerja sama aku, ya gak?"

"Tolong ya, Kuroo-san," Aku berujar, namun pandanganku tak beralih dari komputer. "Berbicara dengan anda sudah membuat waktu saya sebanyak satu menit. Tidak bisakah anda pulang saja ke rumah dan biarkan saya menyelesaikan pekerjaan saya?"

"Buset, pinter banget ya situ bisa tahu berapa lama ngomongnya!" Suaranya terdengar seperti kagum, tapi di telingaku malah seperti menyindir. "Kalau gitu ngomongnya sepatah-sepatah aja, 'kan cuma satu detik atau paling banyak lima detik kebuang."

Helaan napas kasar tercipta dariku. Kuhentikkan aktivitasku sejenak, lalu menoleh dan menatap lawan bicaraku dengan alis yang berkedut. Kuroo sendiri masih cengar-cengir kayak kuda, semakin membuatku kesal. Kayak gini mau mimpin perusahaan, bakalan hancur sampai ke akar-akarnya.

"Eh, kau belum makan 'kan? Makan dulu gih, nanti gak ada yang jadi sekretaris."

"Astaga, tolong ya, Kuroo-san," Aku berujar seraya menepuk dahiku. "Urus saja urusan anda oke? Kenapa tidak pulang saja sekARANG HAH?!" Nada bicaraku semakin meninggi, lama-lama hipertensi karena menghadapi pria seperti ini. Ini baru satu, satunya lagi gimana.

Kuroo mengibaskan tangannya padaku—layaknya mengipasiku. "Panas banget kayaknya si non. AC-nya gak ngaruh ya?"

Ya Tuhan.

Mau kusembelih saja manusia ini.

"Saya akan makan dan pulang setelah pekerjaan saya selesai dan tolong dengan sangat jangan duduk di kursi itu dan berada di hadapan saya karena saya begitu terganggu. Paham?"

Aku berbicara begitu panjang dan lebar, tapi pria itu mengabaikan dengan menatap arlojinya—membuat perempatan muncul di dahiku. "Anda dengar tidak?!"

"Masih 50 detik sih, 10 detik lagi satu menit deh kau bicara denganku. Memang bener ya, sasuga!"

Alisku berkedut, amarahku benar-benar sudah sampai ke ubun-ubun. Kuhela napas, lalu berujar, "Terserah anda deh."

Aku kembali pada pekerjaanku, mengabaikan semua pembicaraan yang terlontar dari Kuroo. Bahkan aku tak memedulikannya yang mengajakku untuk makan nasi kepal yang telah diberi juniorku, benar-benar kuabaikan dia. Waktuku benar-benar sudah terbuang hanya karena meladeninya!

-ooooo-

Tepat pukul delapan malam lebih dua menit pekerjaanku selesai. Kuregangkan kedua tanganku, lalu mematikan komputer serta merapikan meja. Masih begitu terang di ruangan ini, mengingat ada beberapa pekerja yang masih tetap di kursi kerjanya. Kutolehkan kepalaku pada meja yang berada di sebelahku, melihat si kepala ayam tertidur dengan kedua tangan terlipat di atas meja dan kepalanya berada di atas tangannya. Benar-benar deh, mengoceh 'kan membuat tenaga habis, kenapa juga dia tadi tidak diam saja? Lagi, ia benar-benar menemaniku sampai pekerjaanku selesai. Aku tidak habis pikir, ini anak gak ada kerjaan apa?

Kulempangkan tasku di bahu, memasukkan kursiku di bawah meja dan menyentuh pipi sang pria seraya mengucap namanya—membangunkannya hingga terdengar erangan dan juga ia mengusap kedua matanya yang baru saja terpejam.

"Oh, sudah selesai kerjaannya?" Adalah pertanyaan pertama yang terlontar dari mulutnya ketika meregangkan tubuh, aku mengangguk—menatapnya dengan tatapan datar.

"Kenapa anda tidak pulang sih? Kenapa malah menunggu saya selesai bekerja?"

"Setidaknya aku harus tahu apa yang dilakukan sekretarisku dong? Masa' aku hanya menyuruh-nyuruh saja nantinya?"

Mendengar kalimat itu membuatku tertegun, sekilas kalimat itu sama seperti bos yang pernah menjadi atasanku—yang kubilang suasana kerjanya begitu nyaman. Kulihat Kuroo berdiri dari kursi, lalu memasukkan kursinya ke bawah meja. Ia lalu mengusap tengkuk belakangnya.

"Tapi maaf ya aku malah ketiduran, Nona Sekretaris. Yah, paling tidak aku tahu pekerjaanmu satu persatu." Ia mengeluarkan kunci mobilnya dari saku celana. "Kuy, kuantar."

"Tidak usah repot-repot, Kuroo-san. Saya akan naik bus lagipula saya sudah biasa pulang jam segini—bahkan lebih larut."

"Weh, bahaya itu! Memangnya kau tahu atau tidak kalau ternyata sedang diintai?"

"...Kenapa saya harus mencurigai hal seperti itu?"

Kuroo mengusap kasar wajahnya. "Begini, kau ini sudah begitu terkenal di setiap perusahaan—bahkan namamu sudah masuk di perusahaan Tokyo. Orang-orang tahu kau jenius, mereka akan mengambil keuntungan hanya dengan berbicara denganmu—untuk mengambil informasi dari perusahaan Miyagi."

"...Begitu?"

"Pokoknya aku antar! Aku tidak mau calon sekretarisku kenapa-kenapa."

"Tapi setiap malam saya pulang biasa saja tidak ada apa-apa—"

"Ayolah, aku tidak mau bekerja sendiri hanya karena sesuatu terjadi pada sekretarisku!" Kuroo berujar, begitu bersikeras mengantarku pulang. Mau tak mau aku menerima, walau tak enak sebenarnya. Terkadang bos besar juga begini padaku, tapi aku benar-benar tak mau merepotkannya. Sudah berapa kali ia menyuruhku untuk menelpon supirnya jika pulang larut, tapi aku tetap naik bus dan tidak mau merepotkan. Ah, kuharap aku tidak merepotkan Kuroo.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top