[Name]: e i n s
"Kau tahu apa yang lebih songong dari bos besar?"
"Apa?"
"Dua anak didiknya. Sebentar lagi mereka akan berlomba-lomba untuk menjadi penerus perusahaan ini."
"Sungguh? Apa mereka juga sama-sama songong atau lebih dari bos besar?"
"Yang kutahu...dua-duanya sama-sama tidak mau mengalah."
"Ah~ Bagaimana nasib [Last Name]-san ya?"
Lagi-lagi perbincangan itu. Memang dalam seminggu ini bos besar yang memimpin perusahaan Miyagi Revolution akan mencari pengganti sebagai penerusnya. Beliau tak memiliki anak setelah pernikahan mereka yang terbilang cukup lama. Katanya sih karena istrinya memang tidak bisa mengandung, maka dari itu beliau mendidik dua orang lelaki untuk menjadi penerus perusahaan yang sudah dianggapnya sebagai anak. Urusan baik atau tidaknya hanya beliau yang tahu, tapi kalau sampai memilih satu diantara mereka untuk menjadi penerus, berarti mereka berdua dipercaya bukan?
Untuk nasibku sendiri...aku hanya mengikuti arus saja. Sejak dulu pun begitu, mengingat keluargaku dan keluarga bos besar sudah begitu dekat secara turun-temurun dimana keluargaku membantu perusahaan dalam berbagai bidang dengan posisi sebagai sekretaris. Aku juga seorang anak tunggal, boleh jadi aku adalah penerus terakhir yang menjadi sekretaris di perusahaan ini. Kalau dipikir-pikir juga sudah cukup lama aku mengabdi, hampir 5 tahun dan usiaku kini 26 tahun. Aku ingat sekali ketika baru saja lulus kuliah, bos besar sudah menawarkanku untuk magang—belajar untuk menggantikan posisi ibuku yang mulai sakit-sakitan—sampai akhirnya aku resmi menjadi sekretarisnya hingga saat ini. Namun tak lama lagi beliau akan digantikan, wajar saja mengingat betapa tuanya beliau dan memang kudengar beliau tengah mendidik dua orang anak untuk meneruskan perusahaan. Sebenarnya bisa sih kalau satu diantara mereka memimpin, satunya dijadikan supervisor. Tetapi...kalau dua-duanya tidak mau mengalah...ya...susah.
Aku sendiri adalah [Full Name], panggil dengan nama keluarga ataupun namaku juga tak masalah. Namaku sudah begitu terkenal di perusahaan ini bahkan perusahaan lain mengingat betapa kerasnya aku bekerja (meski kadangkala itu membuat bos besar marah padaku) tapi begitulah aku, dikenal sebagai sekretaris yang perfeksionis. Bos besar pun pernah berkata hanya aku yang memiliki sifat menyebalkan seperti ini. Aku sebenarnya tak mau, terkadang sikap yang menuntut kesempurnaan itu malah membuatku tertekan, tapi mau bagaimana lagi, aku tetap harus menikmatinya.
Kali ini aku dipanggil ke ruangan bos besar dan sepertinya ia akan membicarakan dua orang itu. Jujur, aku tak pernah tahu siapa anak didik beliau. Aku hanya pernah mendengar mereka berdua adalah dua orang lelaki dengan latar belakang yang berbeda. Satunya jenius dan cerdas, namun begitu kaku dan harus mengikuti aturan. Satunya lagi cukup pintar juga pandai mengendalikan situasi dan bisa menggaet orang-orang untuk bekerja sama dengannya begitu mudah. Dua-duanya sama-sama memiliki potensi, sih. Tidak heran kalau bos besar masih bimbang dengan keduanya.
"Permisi," ujarku tatkala mengetuk pintu ruangan bos besar. Setelah kudengar suara dari dalam untuk menyuruhku masuk, akupun membuka pintu dan masuk ke ruangan. Kali ini bos besar tak duduk di singgasananya, sebuah kursi kerja hitam berbahan kulit dengan sandaran tinggi, melainkan di sofa dengan secangkir teh di tangannya. Aku tersenyum dan membungkuk sejenak, sebelum akhirnya dipinta untuk duduk berhadapan dengan beliau di sofa seberangnya.
"[Last Name]-san, aku begitu mempercayai dirimu bahkan untuk hal ini." Beliau berujar sebagai pembuka topik untuk saat ini, membuat ulasan senyuman tipis terukir di wajahku disertai anggukkan kepala. "Kau juga pasti sudah tahu apa yang akan aku bicarakan 'kan?"
"Kalau itu tentang penerus perusahaan anda, iya saya sudah tahu, pak."
"Nah," Ia meletakkan cangkirnya di atas tatakan, lalu meletakkan keduanya di atas meja. "Mereka akan datang hari ini, tolong bantu aku sambut mereka dan perkenalkan perusahaan secara singkat."
"Baik, pak. Akan saya kerjakan." Aku mulai menulis semua yang bos besar ucapkan di buku kecilku. Kalau hanya memperkenalkan sih mudah, toh mereka juga sudah tahu bagaimana perusahaan ini. Aku tinggal memperkenalkan bagian-bagian yang ada di gedung ini, memperkenalkan orang-orang disini, terus—
"Wajah anda serius sekali, [Last Name]-san!" tegur beliau, membuat kepalaku mendongak dan tersenyum malu. Tentu saja beliau sudah biasa dengan sikapku yang begitu merencanakan sesuatu dengan baik sampai-sampai aku mengabaikannya, kadang.
"Maaf, pak. Apa ada yang perlu saya lakukan lagi?"
"Itu saja untuk hari ini. Aku mau pulang lebih awal karena istriku memasak makanan yang enak!" serunya. "Hubungi aku kalau kau memerlukan sesuatu, [Last Name]-san." Pria itu beranjak dari sofa, lalu mengenakan jas yang telah disiapkan oleh bodyguard-nya. "Santai saja tapi ya dengan mereka. Mereka sepantaran denganmu, kok. Kei seusia denganmu dan Tetsu hanya beda 2 tahun denganmu."
"B-Baik, pak," ujarku, lalu segera berdiri dari sofa dan membungkuk ketika bos besar keluar dari ruangannya. Aku pun segera membuntuti mereka untuk keluar dari ruangan dan mengunci pintu, lalu menghela napas kasar. Rencanaku untuk memperkenalkan mereka belum selesai, maka dari itu aku harus segera menyelesaikan semua ini begitu cepat karena beliau tidak bilang kalau mereka akan sampai jam berapa.
Sejenak aku berpikir...aku baru mengetahui nama mereka setelah disebutkan oleh bos besar. Tetapi aku tak tahu mana yang jenius mana yang bar-bar kalau didengar dari nama. Ya sudah, kalau begitu aku tetap harus membuat rencana sebelum mereka berdua datang ke gedung ini!
-ooooo-
Gawat gawat gawat!
Aku tak tahu kalau ternyata mereka akan tiba dalam 5 menit lagi!
Tapakku benar-benar kupercepat, padahal tenagaku tak seberapa untuk lari karena sudah banyak energi terkuras habis setelah bolak-balik mengurus berkas dan memberitahu rekan-rekan kerjaku bahwa anak didik bos besar akan datang. Tanganku begitu buru-buru menekan tombol lift namun pintu tersebut tak kunjung terbuka membuatku menghentakkan kaki. Aku panik, jalan tercepat mana yang harus kuambil? Kalau aku menuruni tangga itu akan memakan waktu lebih lama, namun menunggu lift terbuka lebih lama lagi.
Ting!
Setidaknya aku bisa bernapas lega karena pintu lift kini terbuka. Aku langsung memasuki lift tersebut, menekan lantai satu dan buru-buru menutup pintu. Untung sekali hanya aku seorang diri yang berada di dalam sana jadinya tidak ada yang melihat kepanikkanku. Ketika aku berkaca disana, terlihat rambutku yang begitu berantakan dan wajahku yang penuh dengan peluh keringat! Segera kumengambil tisu yang benar-benar sisa satu di saku rokku, mengusapnya perlahan di wajah dan merapikan rambutku. Ketika lift sampai di tujuan lantaiku, aku segera keluar dan mengatur napas, berjalan begitu anggun menuju pintu masuk. Lagi-lagi aku terselamatkan dengan dua mobil yang baru saja sampai disana. Ah, Tuhan benar-benar menyelamatkanku hari ini.
"Oh, sudah lama aku tidak kesini." Seorang pria bermahkota obsidian berujar seraya keluar dari mobil dan merapikan jasnya. Kepalanya mendongak melihat gedung yang berada di hadapannya. "Kau sendiri belum pernah kesini 'kan, kuso megane."
Pria yang dipanggil kuso megane itu mendecih dan sedikit melonggarkan dasinya. Tak lama kemudian seringai kecil terlukis di wajahnya. "Kau mengatai dirimu sendiri? Sebagai orang Tokyo ini kali pertamamu bukan?"
"Haha, tahu apa kau? Perjalanan dari Tokyo ke Miyagi tidak membutuhkan waktu yang lama. Aku sesekali melewati gedung ini."
"Oh, hanya sekadar lewat kenapa kau begitu bangga sekali?"
Ah.
Mereka ini 'kan...
Saingan waktu SMA!
Aku memang tak begitu tahu bagaimana hubungan mereka dulunya. Kuingat sekolah mereka bersaing di olahraga voli laki-laki. Ya, sekolahku juga dulunya—SMA Karasuno—yang ditempati oleh lelaki berkacamata itu...dan juga sekolahku. Tetapi dulu aku tak begitu mengenalnya karena kami tidak sekelas.
Ternyata...mereka berdua anak didik bos besar?!
"Oya? Apa ini sekretaris pak bos?" tanya seorang pria bermahkota obsidian, melihatnya menatapku pun membuatku tersentak lalu mengangguk. [Name], kau harus profesional!
"Salam kenal, saya [Full Name], sekretaris pribadi Miyagi-san," ujarku seraya menundukkan kepala dan menaruh telapak tanganku di dada. "Kalian berdua anak didiknya bos besar?"
"Yup. Kami berdua, walau sebenarnya salah satu dari kami hanya satu yang dipilih untuk jadi penerus." Sang pria berujar seraya menyeringai, membuat si berkacamata menghela napas seraya menaikkan kacamatanya.
"Kau...bukannya murid SMA Karasuno?" Pria berkacamata itu bertanya, membuatku tersentak dan mengibaskan kedua tanganku. Sial, aku mana mau ada yang tahu kalau ada anak dari SMA-ku akan menjadi atasanku nanti!
"B-B-Bukan! Aku—aku dari sekolah lain...Tapi!" Aku menepuk kedua tanganku. "Masa lalu tidaklah penting bukan? Yang penting adalah apa yang ada di hadapan kalian!"
"Di hadapanku ya cewek manis yang akan menjadi sekretarisku nantinya." Pria bermahkota obsidian berujar seraya tersenyum miring, lalu berjalan melewatiku. "Sekarang kita mau ngapain, Nona Sekretaris?"
Wajahnya...begitu serius sekali. Sejenak aku menggeleng kuat, aku harus fokus dengan tugas yang sudah diberikan bos besar padaku! Iya, harus! Tubuhku berbalik, hendak melangkah masuk ke dalam gedung tiba-tiba saja langkahku melemah dan tubuhku hampir saja terjatuh...jika tidak ada yang menahanku.
Dua pria itu memegang tanganku. Si kacamata memegang tangan kiri, sementara pria yang tampangnya seperti kucing memegang tangan kananku membuatku mengerjap. Situasi konyol macam apa ini?
"Apa ini? Nona Sekretaris sudah mau oleng? Padahal kita belum mulai turnya loh."
"Kenapa Miyagi-sensei bisa memilih perempuan seperti ini?"
Astaga...dua pria ini mulutnya ya...ingin kuberi sambal saja.
Pantas saja rekan-rekanku mengkhawatirkanku. Mereka berdua...kelewat songong!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top