Tujuh Belas
Hari ini aku dan ibu juga ayahku akan menemui ummi dan abi nya Kia. Aku dan Kia sudah berjanji akan mempertemukan orang tua kami di sebuah restaurant. Ya tentu saja di privat room.
"Kak ayo cepat ibu dan ayah sudah di mobil," teriak adikku Ashilla dari luar pintu kamar.
Aku segera merapikan jas yang ku pakai dan segera turun ke bawah menuju garasi. Aku mengendarai mobil yang berbeda dengan ayah dan ibuku.
Ponsel ku berbunyi dan rupanya ada pesan dari Kia.
From : Kia
Khana, aku telah sampai. Cepatlah datang.
To : Kia
Tunggu sebentar. Aku sedang dalam perjalanan.
From: Kia
Baiklah. Hati-hati J
Aku tersenyum melihat balasannya, Kia memang selalu bersikap manis.
***
Aku menunggu Khana di restaurant yang sudah kami tetapkan. Sesekali aku melihat Abi yang melirik jam tangannya.
"Abi, maaf mungkin keluarga Khana terjebak macet," ucapku merasa tidak enak.
"Ya, tidak masalah," kata Abi
Aku tahu, abi paling tidak suka dengan yang namanya terlambat.
Tidak lama kemudian pintu terbuka dan berjalanlah Khana dengan orang tua dan juga adiknya. Kami pun segera berdiri menyambut mereka dan bersalaman sebagai tanda perkenalan diri. Setelah itu para orang tua pun mulai berbincang ringan, dan tak lama kemudian makanan disajikan.
"Sebelum membahas pernikahan, alangkah baiknya kalau kita makan terlebih dahulu." Usul ibunya Khana.
"Itu ide yang bagus," jawab abi.
Kami pun makan dalam diam, tapi tiba-tiba adiknya Khana yang berada di sampingku membisikkan sesuatu yang membuatku tersedak.
"Kak, kok mau sih sama Kak Dane? Padahal dia itu orang yang paling menyebalkan, dan bahkan tidak pernah rapi jika memasangkan dasi," bisiknya.
Semua orang menatapku, dan dari tatapan Dane aku bisa melihat dia bertanya. Ada apa?
Aku pun berbisik kembali ke arah Ashilla, "Karena kakak mencintai kak Dane mu itu."
Ashilla pun tersenyum ke arahku dan tersenyum mengejek ke arah Khana. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran anak ini.
"Jadi begini, kedatangan kami ke Jakarta adalah untuk memastikan tentang pernikahan putri kami," ujar abi ketika kami telah selesai makan. Beliau langsung to the point.
"Iya kami juga telah memikirkan tentang pernikahan ini. Sesuai dengan rencana kami, bahwa pernikahan akan dilaksanakan satu minggu dari sekarang," jawab ayahnya Khana.
"Kami sangat berharap bahwa pernikahan putri kami akan dilaksanakan di Tasikmalaya," timpal ummi.
"Tapi maaf, kami menginginkan bahwa pernikahannya akan dilaksanakan di Jakarta." jawab ibunya Khana.
Aku lihat Khana memijat kepalanya sambil mengetik sesuatu di handpone. Tiba-tiba handphone ku bergetar.
From : Khana
Ibuku adalah orang yang keras kepala, dan sepertinya Ummi mu juga.
Aku melihat pesannya dan segera mengangguk kan kepala ku ke arahnya.
"Jika pernikahan dilaksanakan di Jakarta, itu terlalu jauh untuk kami. Lagi pula biasanya di daerah kami pernikahan dilaksanakan di tempat mempelai perempuan. Juga banyak para pejabat setempat yang akan datang di pernikahan putri kami," ujar Ummi panjang lebar.
"Begitu pula dengan kami. Jika dilaksanakan di Tasikmalaya, itu terlalu jauh. Apalagi banyak rekan bisnis suami ku dan juga Dane yang akan datang," ucap Ibunya Khana tidak mau kalah.
Aku yang mengerti dengan ekspresi wajah Khana yang seolah-olah meminta pertolongan ku akhirnya angkat bicara.
"Ummi, Ibu, maaf jika aku menyela ucapan kalian. Tapi aku dan Khana telah setuju dengan melaksanakan pernikahan di Bandung. Kami juga tidak ingin mengundang banyak orang, hanya teman dekat dan keluarga saja yang akan kami undang," ujarku. Aku lihat Khana memelototkan matanya ke arah ku dan aku hanya mengangkat bahu acuh saja.
"Ibu mau pernikahan di laksanakan dengan mewah," ucap Ibunya Khana.
"Ya, Ummi juga setuju," tambah ummi ku, sepertinya mereka akan akur kembali.
"Jika kalian tidak setuju, baiklah pernikahan ini tidak usah saja," ujar Khana tiba-tiba yang membuat semua orang tercengang, termasuk aku.
"Sudah! Kita lakukan saja sesuai keinginan mereka," ujar Ayahnya Khana menengahi. Aku dan Khana pun tersenyum penuh kemenangan.
"Baiklah. Pernikahan akan dilaksanakan di Bandung. Dan biar Ibu dengan Ummi nya Syaqira saja yang mengurus semuanya," ujar Ibunya Khana yang diamini oleh ummi ku.
"Dane, kamu antar Syaqira saja," titah ibunya Khana ketika kami hendak pulang.
"Baik bu," ucap Khana. setelah berpamitan dengan para orang tua kami pun pergi keluar dari restaurant itu.
***
"Eh iya Kia, bagaimana dengan abi dan ummi mu?" tanya Khana tiba-tiba sambil menyetir.
"Maksudmu?" tanyaku bingung.
"Mereka pulang naik apa?" tanya Khana kembali.
"Bodoh! Kau baru bertanya setelah kita berada di setengah perjalanan?" Ejekku.
"Cepatlah katakan Kia," ucap Khana tak menggubris ejekan ku.
"Tenanglah. Abi membawa kendaraan," jawab ku santai.
"Syukurlah. Kalau tidak mungkin aku sudah di cap menantu durhaka. Hahahaaha," ucapnya sambil tertawa.
"Calon." ujarku dengan penuh penekanan.
"Baiklah calon istri." ujarnya sambil tersenyum jahil.
Aku yang mendengar ucapannya hanya bisa tersenyum miris. Mungkin semua wanita yang disebut calon istri oleh calon suaminya akan tersenyum sambil merona. Tapi tidak denganku.
"Emm ... Kia, kau akan cuti?" tanya Khana tiba-tiba.
"Tentu saja. Aku bahkan sudah mendapat izin dari HR," jawabku.
"Kau akan tetap disini kan Kia?" tanyanya sambil melirik ku.
"Tidak. Besok aku akan pulang bersama ummi dan abi ke Tasikmalaya," jawabku.
"Kau cepat sekali mendapatkan izin. Bagaimana caranya?" tanya Khana.
"Aku meminta bantuan bu Calysta," jawab ku.
"Kenapa bu Calysta begitu baik padamu?" tanya Khana lagi.
"Tentulah. Bu Calysta itu ibuku di Jakarta. Tapi aku tidak mengatakan bahwa aku akan menikah. Aku hanya memberi alasan bahwa aku akan pergi berobat selama dua minggu," jawabku.
"Berobat? Tunggu! Waktu pengangkatan aku jadi CEO, kau juga beralasan sakit. Dan sekarang akan berobat selama dua minggu. Mengapa bu Calysta selalu percaya?" tanya Khana dengan wajah yang tampak berpikir.
"I ... itu karena aku selalu terlihat pucat, mungkin saja bu Calysta percaya karena hal itu," jawabku gugup. Bagaimana pun Khana tidak boleh tahu tentang penyakitku.
"Hemmm ... mungkin," jawabnya dengan ragu.
"Sudah sampai Kia," ucap Khana.
"Kamu mau mampir dulu?" tanyaku.
"Tidak. Oh ya jangan lupa makan yang teratur ya Kia di sana. Kamu itu paling bermasalah dengan makan. Dan hati-hati. Kabari aku besok jika mau berangkat," ujarnya penuh perhatian.
Aku yang mendengarnya tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Tenang saja Khana. Di sana ada yang lebih cerewet dari pada kamu. Hati-hati di jalan dan sampai jumpa," ucapku sambil keluar mobil.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top