Dua Puluh Tujuh


Hari ini pekerjaanku begitu berat, aku memijit pelipisku dan menatap nyalang ke langit-langit kantor. Pernikahanku dengan Teressa sudah berjalan selama dua bulan itu artinya Kia telah pergi kurang lebih sebelas bulan lamanya.

"Permisi pak. Di luar ada Ny. Balla ingin bertemu dengan anda," ucap sekretarisku begitu masuk ke dalam ruangan. Sebelumnya ia memang telah meminta izin untuk masuk dengan menekan tombol di pintu ruangan ku.

Ny. Balla? Siapa? Ibu? Tidak mungkin! Apa Teressa? Sejak kapan ia minta izin dulu ingin bertemu denganku, dan orang-orang tak pernah mengetahui bahwa Teressa adalah istriku. Mungkin itu memang ibu.

"Biarkan dia masuk," ucapku.

Sekretarisku pun keluar dan tak lama pintu dibuka menampilkan seorang perempuan yang tengah tersenyum. Aku memandang perempuan yang tengah berdiri di ambang pintu, begitu pun dia memandangku.

"Ashilla," panggilku

"Hai kakak," ucapnya riang.

"Ada apa kau kesini dan menggunakan nama Ny. Balla untuk bertemu denganku?" tanyaku sedikit kesal.

"Hanya untuk bermain-main, dan bukankah namaku juga Ashilla Khanza Balla? Jadi aku pun berhak dipanggil Ny. Balla," ucapnya dengan tenang dan duduk di sofa.

"Katakan untuk apa kau kemari?" ulangku karena aku memang kesal, mungkinkah tadi aku mengharapkan bahwa Ny. Balla itu adalah Kia?

"Ibu menyuruhku kesini dan menyampaikan bahwa kau harus segera pulang ke rumah. Kau ingat kan acara kumpul keluarga itu?" ujar Ashilla.

"Kenapa tidak menelpon saja?" tanyaku heran. Mungkin Ashilla salah satu penganut jika ada yang sulit kenapa harus pilih yang mudah.

"Aku sengaja kesini untuk menghindari Ayah. Kau tahu Kak? Ayah terus memaksaku untuk meneruskan kuliah di luar negeri. Padahal otakku tak sejenius itu untuk kuliah di luar negeri," ucapnya panjang kali lebar.

"Sekarang pulanglah kakak banyak kerjaan," usirku sambil membaca berkas-berkas.

"Ish yasudah aku pulang. Jangan galau terus memikirkan kak Syaqira, ia pasti segera kembali." ujarnya sambil kemudian langsung pergi. Dasar adik tak sopan! Dan sekarang pusing di kepala ku semakin bertambah.

Dane pulang dari kantor dan saat ditengah perjalanan tiba-tiba mobilnya berhenti. Ia turun dan mencoba membenarkan mungkin saja mesinnya rusak. Tapi apa yang diketahui seorang CEO tentang mesin? Ia pun menelpon bengkel langganannya dan meninggalkan mobil disana.

Dane berjalan dan kemudian tak lama turun hujan dengan deras. Ia pun berteduh di halte samping café. Tak lama kemudian duduklah pula seorang wanita disamping Dane dengan membawa payung berwarna biru.

"Boleh aku memi ... Kia?" ucapan Dane terhenti ketika ia melihat siapa yang ada disampingnya.

"Huh? Iya saya Kia. Kianeisa. Ada apa ya Pak?" tanya seorang gadis SMA yang duduk di samping Dane.

"Ah tidak, hanya saya terkejut melihat nama mu mengingatkan ku pada seseorang," jawab Dane.

"Oh ya Pak tadi anda hendak bicara apa?" tanya gadis itu.

"Saya hendak meminjam payungmu dan ke café sebentar," jawab Dane.

"Ambillah. Ini juga bukan payungku. Payung ini diberikan oleh seorang perempuan di depan café tadi," ucap gadis itu sambil menyerahkan payung.

"Kenapa semudah itu kau memberikannya padaku?" tanya Dane heran pada gadis itu.

"Kata perempuan tadi, mungkin saja pria di halte ini membutuhkan payung," jawab gadis itu sambil tersenyum.

"Bus telah tiba, sampai jumpa Pak," ucap gadis itu sambil bersiap menunggu bus berhenti.

Dane yang hendak bertanya kembali tidak jadi karena bus telah berhenti dan gadis itu telah naik ke dalam bus.

Dane melihat ke depan café, tidak ada siapa-siapa kenapa perempuan itu mengatakan bahwa bahwa mungkin saja ia membutuhkan payung? Apa wajah Dane terlihat seperti orang yang membutuhkan payung?

***

Sudah seminggu aku berada di Indonesia. Aku sekarang tinggal bersama bu Calysta, ia memang ibuku di Jakarta. Setelah hampir sebelas bulan aku menjalani pengobatan di Jerman sekarang aku telah dinyatakan sembuh. Uangku semakin hari semakin sedikit, dan dengan kebaikan bu Calysta ia memperbolehkan ku untuk tinggal di rumahnya. Ia telah mengetahui semua kisahku dengan Khana. Awalnya beliau memintaku untuk menjelaskan semuanya pada Khana, tapi aku meminta waktu terlebih dahulu untuk mengumpulkan keberanianku.

Hari ini sepertinya aku harus segera mengakhiri semuanya, aku akan menemui Khana.

Aku berangkat ke kantor Khana. Setibanya di sana aku langsung masuk ke dalam Lift khusus petinggi perusahaan, sebagian orang memang sudah mengenalku sebagai istrinya Khana di sini. Setiba di lantai 39 aku langsung menuju meja sekretarisnya.

"Selamat Pagi," sapaku ramah.

"Selamat pagi. Eh? Ny. Balla. Kenapa tidak langsung masuk?" tanya sekretaris Khana yang memang ia mengetahui bahwa aku ini istrinya.

"Tolong bilang pada Pak Dane bahwa Ny. Balla ingin bertemu," ucapku sambil tersenyum.

"Baik Nyonya," ucapnya sambil berlalu hendak masuk ke dalam ruangan Khana.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.

"Kak Syaqira?" panggil seseorang dengan suara yang begitu ku kenal.

"Ashilla," panggil ku sambil membalikkan badan.

"Kakak? Kapan kembali?" tanya dia.

"Nyonya silahkan masuk," ucap Sekretaris Khana ketika keluar dari ruangan itu.

"Biar aku yang masuk Kak. Tunggulah di bawah ada yang harus aku katakan," ucap Ashilla.

Ia pun masuk tanpa menunggu persetujuanku. Aku hanya bisa menghembuskan napas tidak mengerti dengan yang Ashilla lakukan, tapi aku pun menuruti perintahnya dan bergegas untuk menunggu dia di lobby saja. Tak lama kemudian Ashilla datang dan menghampiri ku.

"Ayo Kak ikut aku,," ajak Ashilla. Aku pun mengikutinya.

"Kakak kemana selama ini?" Tanya Ashilla. Kami sekarang tengah berada di sebuah cafe.

"Maaf Shilla, Kakak tidak bisa ceritakan ini pada siapapun. Kakak ingin orang yang pertama mendengar penjelasan kakak adalah Khana," ucapku sambil tersenyum lemah.

"Baiklah kak," ujarnya sambil melihat ke luar jendela.

"Sepertinya akan turun hujan." Ashilla bermonolog.

"Dan Khana akan segera pulang. Mungkin ia akan tejebak hujan," Aku menimpali.

"Hahaha ... Kakak tahu? Kak Dane itu paling gak suka kalau terkena air hujan. Ia akan cepat-cepat berlindung kalau hujan turun. Bagaimana ya kalau mobilnya mogok dan tiba-tiba hujan? Mungkin kak Dane akan berdiam diri di mobil dan kepanasan," ucap Ashilla sambil tertawa.

"Em, Shilla kenapa kau tadi melarangku bertemu dengan kakak mu?" tanyaku penasaran.

"Berjanjilah padaku Kak untuk tidak memotong ucapanku," ucap Ashilla serius sambil menatapku dan aku pun menganggukkan kepala setuju.

"Setelah kakak pergi, kak Dane ternyata telah bertemu dengan kak Teressa. Kemudian ia tinggal di rumah kak Dane dan mengurus Ayya. Awalnya aku pikir bahwa ia adalah nenek sihir. Namun ternyata ia adalah wanita yang baik. Kepergiannya beberapa tahun lalu bukan tanpa alasan. Ia telah tinggal bersama kak Dane 9 bulan lamanya. Entah apa yang terjadi tiba-tiba kak Dane melangsungkan pernikahannya dengan kak Teressa sebelum ulang tahun Ayya. Tapi tidak ada yang tahu tentang pernikahan ini selain orang tua ku dan orang tua Kakak." Penjelasan Ashilla sukses membuat hatiku hancur.

"Ja ... Jadi mereka sudah menikah?" tanyaku untuk memperjelas.

"Ya, pernikahan siri jelasnya," jawab Ashilla dengan pandangan yang sepertinya dia merasa tidak enak padaku.

"Ya ampun. Aku lupa harus menjemput ibu dari butik. Kak maaf aku harus meninggalkan Kakak. Dengar Kak aku selalu mendukung Kakak, begitu pula ibu. Kami tahu bahwa Kakak pergi pasti ada alasan yang masuk akal. Aku mengatakan ini supaya Kakak tidak terlalu terkejut ketika bertemu kak Dane nanti. Semangat Kak! Perbaikilah hubungan Kakak dengan kak Dane. Aku yakin kak Dane mencintai Kakak," ucap Ashilla sambil menggenggam tanganku.

"Pergilah Shilla. Mungkin mom sudah menunggumu," ucapku sembari tersenyum. Dia pun mengangguk dan pergi meninggal kan ku.

Aku menatap keluar jendela, hujan turun dengan deras setelah kepergian Ashilla. Begitu pun dengan mata ini air mata ini tidak bisa berhenti. Ashilla bilang bahwa Khana mencintaiku? Mungkin aku masih punya harapan bila memang Khana mencintaiku. Tapi, kenyataan yang aku tahu bahwa hanya satu wanita yang dicintai Khana, yaitu Teressa. Dan sekarang ia telah bersamanya? Mungkin kebahagiaanya sekarang telah ditemukan.

Aku menghapus air mataku. Syaqira kamu bukan wanita lemah. Khana masih suami mu. Tetaplah di sampingnya sampai ia sendiri yang memintamu pergi. Batinku.

Aku keluar dari café dan mengambil payung yang berada di dalam tas. Tiba-tiba mataku terpaku pada seseorang yang berada di halte. Pria yang selalu mengisi mimpiku, pria pertama yang aku cintai. Aku melangkah hendak menghampirinya, tapi tiba-tiba.

"Bu, boleh aku ikut ke halte dengan mu. Aku tidak membawa payung," ucap seorang gadis berseragam SMA.

"Bawalah payungnya. Mungkin pria disana membutuhkan payung ini," ucapku sambil menunjuk ke arah Khana.

"Kau kenal dengannya Bu?" tanya gadis itu.

"Mungkin. Ayo cepat sebentar lagi bus datang," ucapku sambil tersenyum dan menyerahkan payung.

"Terima kasih Bu," ucapnya sambil berjalan cepat menuju halte.

Aku memperhatikannya, dan terlihat iaa seperti sedang berbincang dengan Khana. Aku yakin bahwa Khana akan meminjam payunnya dan pergi ke café, bukankah tadi Ashilla mengatakan bahwa Dane tidak suka jika ia terkena air hujan? Aku pun segera bergegas meninggalkan tempat itu sebelum Khana melihatku. Aku tahu ini bukanlah waktu yang tepat untukku bertemu dengannya.

Aku berjalan dibawah hujan. Jika Khana tidak suka hujan, aku amat menyukai hujan. Hujan membuatku bisa menumpahkan kesedihanku dengan menangis tanpa takut terlihat.



Happy Reading :)

Keep Votment :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top