Dua Puluh Delapan
Sudah seminggu sejak kejadian di halte, tapi aku belum berani untuk menemui Khana kembali. Selama ini aku selalu melihat Ayya dari kejauhan, aku melihat bagaimana Teressa menyayangi Ayya. Kepercayaan diri yang aku bangun untuk bertemu Khana menguap entah kemana, apalagi ketika kejadian tiga hari yang lalu.
Flashback
Aku sedang berjalan-jalan di taman, aku duduk di sebuah kursi di taman. Tak lama kemudian ada seseorang yang duduk di kursi tepat belakang aku. Tepatnya kami saling membelakangi.
"Ayya sayang, ini siapa?" ucap seseorang yang suaranya begitu familiar di telingaku.
Seketika tubuhku menegang.
"Daddy." Ah sekian lama aku baru bisa mendengar suara putriku. Ternyata ia sudah besar dan sedang belajar berbicara.
Seketika keberanianku muncul untuk berbicara pada Khana. Aku yang hendak berdiri mengurungkan niatku dan duduk kembali ketika aku mendengar seseorang.
"Lama ya, maaf," ucap seorang perempuan.
Aku melirik sedikit dan perempuan itu telah berada di samping Khana. Aku yakin ia adalah Teressa.
"Sayang, ini siapa?" kembali kudengar suara Khana.
"Momm,." ucap Ayya dan kemudian ia tertawa.
Hatiku mencelos mendengar itu, bayangkan bagaimana sakitnya ketika putri kita memanggil ibu pada orang lain. Seketika air mata menetes dari mataku. Aku segera beranjak pergi tak sanggup untuk mendengar yang lainnya.
"...." Ketika aku berjalan perempuan itu seperti berbicara tapi aku tak mendengar dengan jelas yang ku dengar hanya suara Ayya.
"Mommy Ca."
Betapa teririsnya hatiku mendengar semua percakapan mereka, sepertinya aku memang sudah benar-benar tergeser dari kehidupan Khana.
Flashback Off
Sekarang aku sedang duduk sambil nonton TV. Aku sedang memikirkan bagaimana aku menemui Khana. Tiba-tiba ponselku berbunyi.
Bu Calysta Calling ...
"Assalamu'alaikum Bu," salamku.
"Waalaikumsalam. Sya bisa bantu ibu?"
"Iya Bu, ada apa?" tanyaku.
"Ibu sekarang ada rapat sangat penting Sya, tapi flashdisk ibu yang berisi slide presentasi tertinggal di kamar. Kamu bisa kan antarkan sekarang?"
"Siap bu. Rapatnya dimana?" tanyaku.
"Di kantor Sya, di ruang meeting utama."
"Baik bu," jawabku.
Aku segera masuk ke kamar bu Calysta, setelah menemukan flashdisk aku langsung bersiap dan pergi ke kantor.
***
Sesampainya di kantor aku langsung masuk lift dan menekan tombol 20 tempat ruang meeting utama berada. Ketika sedang di lift aku berpikir dengan siapa ya bu Calysta meeting sampai menggunakan ruang meeting utama. Ya ampun, dasar bodoh! Ini kantor suamimu, mungkin saja bu Calysta meeting dengannya.
Ting ...
Lift terbuka, dengan ragu-ragu kulangkahkan kaki keluar dari lift. Semoga saja tidak ada Khana.
Sementara itu setelah Syaqira memberikan flashdisk ia pun segera bergegas untuk pulang sebelum bertemu suaminya. Ketika Syaqira masuk ke dalam lift, ketika itu pula Dane keluar dari lift khusus petinggi perusahaan. Takdir sepertinya belum ingin mempertemukan keduanya.
***
Waktu telah sore, aku langsung bergegas pulang dari kantor. Di perjalanan hujan turun dengan lebat, akhir-akhir ini hujan sering turun. Sedangkan aku tidak suka dengan yang namanya hujan. Emm lebih tepatnya kehujanan. Mungkin semua orang juga sama tidak ingin kehujanan.
Aku membawa mobil dengan pelan, tidak jauh dari taman kulihat seorang wanita berkerudung sedang berjalan di bahu jalan sambil hujan-hujanan. Apakah wanita itu tidak punya payung? Kenapa ia berjalan amat santai ditengah hujan.
Aku memberhentikan mobil, entah apa yang aku pikirkan, tapi aku ingin melihat sedang apa perempuan itu ditengah hujan. Kulihat ia berhenti berjalan dan kemudian ia duduk dan menelungkupkan kepalanya pada kedua kakinya. Mengapa aku merasa kasihan pada wanita itu dan entah dorongan dari mana, aku keluar dari mobil sambil membawa payung biru pemberian dari anak SMA ketika itu. Sepertinya payung ini ditakdirkan untuk membantu orang yang kehujanan. Aku melangkahkan kaki menuju perempuan itu dan kupayungi wanita itu.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku.
Seketika ia mengangkat kepalanya, dan tubuhku menegang melihat siapa perempuan itu.
***
Sore ini aku berjalan-jalan kembali di taman. Syukurlah rumah Bu Calysta tidak jauh dari taman. Setelah puas berjalan-jalan aku memutuskan untuk pulang karena cuaca juga sudah mendung, sepertinya hujan akan turun. Akhir-akhir ini sering turun hujan, sepertinya langit pun mengerti dengan apa yang aku rasakan.
Baru aku berjalan tidak jauh dari taman tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Aku pun memutuskan untuk hujan-hujanan saja. Tiba-tiba ingatanku tertuju pada putri kecilku. Aku berhenti dan terduduk kemudian kutelungkupkan kepalaku pada kedua kaki ku. Aku menangis ditengah hujan. Tiba-tiba hujan berhenti, lebih tepatnya aku tidak kehujanan lagi. Aku merasa ada seseorang dihadapanku, mungkinkah ia memayungiku?
"Kau baik-baik saja?" tanya orang itu, dan suaranya aku begitu mengenalnya.
Ku angkat kepalaku dengan perlahan, dan seketika tatapan kami bertemu dan tubuhku langsung menegang.
"Khana ..." lirihku
Seketika aku langsung berdiri. Kupeluk tubuhnya, pelukan yang begitu aku rindukan. Tak ada balasan darinya tapi tak apa. Aku hanya ingin seperti ini walaupun hanya sebentar. Tiba-tiba ia menyentuh pundakku, kupikir ia akan membalas pelukanku, tapi ternyata ia malah melepaskannya.
Aku memandangnya begitupun Khana. Seketika ia menghempaskan payungnya dan kami sekarang berdiri di tengah hujan. Ia langsung berbalik badan hendak pergi. Namun kutahan tangannya dan seketika ia menghempaskannya.
"Khana aku mohon jangan pergi," ucapku dengan air mata yang sudah membanjiri pipi ku.
Ia pun membalikkan badannya kembali menghadapku.
"Kau siapa malarangku pergi?" Tanya dia.
Kalian bisa bayangkan bagaimana sakitnya hatiku ditanya seperti itu oleh suamiku sendiri.
"Aku istrimu Khana, aku ibu dari putrimu," ujarku berteriak. Sepertinya rasa rinduku dan rasa bersalah menjadikan emosi ku tak karuan.
"Istri? Ibu? Maaf, istriku dan ibu dari putriku sedang berada di rumah. Ia bukan orang yang suka pergi dan datang seenaknya," ucapnya dengan penuh penekanan dan itu berhasil membuatku lemas dan terduduk kembali di pinggir jalan.
"Maaf," ujarku pelan.
Ia pun langsung pergi meninggalkan ku di tengah hujan. Ya tuhan apakah ini memang akhir yang kau ciptakan untukku? Tidak. Ini bukanlah akhir, mungkin saja ini adalah awal dari segalanya. Mungkin saja ini adalah awal untukku memulai kembali semuanya.
Setelah mobil Khana berlalu dari hadapanku, aku memandangnya hingga hilang dari pandangan. Aku berjanji Khana, aku akan memperjuangkan hubungan kita. Aku menarik kata-kataku yang dulu bahwa aku akan pergi jika kau memintaku pergi. Tidak. Aku akan selalu berada di samping mu sekalipun kau memintaku pergi, sekalipun kau tidak menganggapku ada. Aku akan berjuang untukmu dan putri kita.
Aku segera pergi meninggalkan tempat itu, aku tidak bisa melihat Kia menangis. Tapi kekecewaan ku padanya membuatku terkalahkan oleh ego ku sendiri. Padahal dulu saat Teressa pergi dan ia kembali kekecewaanku tidak sebesar ini. Mungkinkah ini karena rasa cintaku pada Kia lebih besar dari pada kepada Teressa? Mungkin dulu aku menaruh harapan yang amat besar pada Kia, sehingga kekecewaanku pun amat besar.
Ku pandang ia dari dalam mobil, Sepertinya Kia masih menangis, walaupun tidak jelas karena hujan. Tapi itu bisa kulihat dari bahunya yang sedikit bergetar. Aku pun melajukan mobilku meninggalkan tempat itu. Aku tak sanggup melihat Kia menangis, tapi aku pun tak bisa memeluknya dan memberikan ketenangan padanya.
Happy Reading :)
Kasih komentar sama vote nya ya :)
Hatur Nuhun :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top