Dua puluh

Bagian Dua Puluh

Malam ini diadakannya resepsi pernikahanku dengan Khana, kami melaksanakan pernikahan di rumah Khana yang di Bandung, dan melaksanakan resepsi di sebuah Hotel. Tapi resepsi ini pun kami tidak mengundang orang-orang kantor.

"Kakak cantik," puji adikku Keyla.

"Memang kakak selalu cantik kok," ujarku menyombongkan diri.

"Ish, aku menyesal memuji mu Kak," jawab adikku dengan mengerucutkan bibirnya.

"Hallo, lagi ngapain nih." Tiba-tiba datang Ashilla ke kamar riasku.

"Lagi ngobrol aja sih gak ngapa-ngapain," jawab adikku.

"Kakak jangan kaget kalau nanti melihat kakak ku itu ganteng banget," ucap Ashilla yang terlihat menggoda ku.

"Mau ganteng kek, nggak kek, gak berefek sama Kakak," jawabku acuh.

"Iyalah nggak ngefek kan dia udah jadi suami Kakak," Ujar Keyla menimpali.

Aku menghembuskan napas melihat kelakuan adikku yang ketemu orang setipenya yaitu Ashilla. Mereka terus saling menimpali untuk menggodaku, aku pun mengambil handphone dan hendak mengirim pesan pada Khana.

To : Khana

Khana tolong, aku dijaili oleh adikku dan adik ipar :D

From : Khana

Biarin aja, nikmatin ya my wife :*

Aku mendengkus kesal melihat jawabannya, dan segera aku terpikirkan sesuatu.

To : Khana

Tapi Ashilla bawa-bawa nama kamu terus.

From : Khana

Oke, aku kesana sekarang.

Aku tersenyum melihat balasannya, aku yakin dia sekarang sedang mengomel sambil jalan.

Tiba-tiba pintu dibuka, serentak kami bertiga menolehkan kepala dan di sana telah berdiri Khana dengan berkacak pinggang. Oh Tuhan kenapa dia sangat tampan.

"Kalian berdua, keluar!" Perintah Khana.

"Apaan sih Kak, datang-datang main ngusir aja," protes adikku.

"Iya kak, orang resepsi bentar lagi. Kakak udah gak tahan ya?" Timpal Ashilla.

"Ashilla ... mau kartu kredit kamu Kakak blokir?" ujar Khana dengan muka yang merah padam.

"Aish! Bisanya ngancam aja, yaudah aku keluar. Oh ya ini Kakak ipar aku kesini mau ngasih sepatu yang harus kakak pakai," ujar Ashilla sambil menyerahkan bungkusan sepatu yang tadi disimpannya di bawah kakinya.

"Bye kak, kita tunggu di ruang ganti satu lagi ya," ucap adikku.

Mereka berdua pun akhirnya pergi dan meninggalkan ku berdua dengan Khana.

"Kia, tadi Ashilla gak bilang yang aneh-aneh kan tentang aku?" tanyanya yang sekarang telah duduk di kursi sampingku.

"Emm ... gimana ya ..." jawabku dengan nada jahil.

"Aku tahu. Kau pasti mau berbohong untuk menjailiku kan?" tanya nya dengan nada mengejek.

Aku pun hanya bisa mendengkus kesal dan membuka bungkusan sepatu yang harus ku pakai sekarang. What? Aku harus pakai sepatu kaya gini dalam jangka waktu yang cukup lama? Ini gila!

"Khana, coba lihat sepatu ini, kamu bilang sama Mom untuk menggantinya ya," pintaku dengan nada memelas.

"What? mom? Sejak kapan kamu bilang mom?" tanyanya dengan wajah mengkerut.

"Sejak tadi. mom bilang kalau kamu dan Ashilla gak ada yang mau panggil mom, ya jadi aku deh yang harus manggil mom," jawabku menjelaskan dan Khana pun hanya mengangguk mengerti.

"Kia ayo aku pakaikan sepatunya. Rasanya gak mungkin dengan pakaian seperti ini kamu mampu berjongkok memakai sepatu," ujarnya.

"Khana aku mohon jangan pakai sepatu ini ya," ujarku merengek. Pasalnya sepatu ini begitu lancip dan aku yakin kaki ku tak akan baik-baik saja.

"Wah Kia ku ini sekarang udah mulai suka merengek ya. Tapi maaf gak bisa ditolak Kia ini perintah ibunda ratu," ucapnya sambil mengambil sepatu yang akan ku pakai.

Khana pun berjongkok dan memakaikan sepatu untukku. Kalian tahu, sekarang jantungku hampir melompat keluar melihat perlakuannya.

"Selesai," ucapnya sambil berdiri.

"Ayo berdiri Kia, aku mau lihat keseluruhan gaun mu," ujarnya sambil mengulurkan tangannya padaku.

"Mau lihat gaunnya? Huh?" Aku mendengkus tapi tak ayal kusambut uluran tangannya.

"Amazing Kia. Kau cantik sekali. Kok gaun mu gak kusut ya walaupun kau duduk?" tanyanya sambil memperhatikan gaunku. Kalian tahu pipiku sekarang memanas mendengar pujiannya.

"Khana, kau tahu? Sekarang aku tidak bisa duduk lagi. Aku takut gaunnya kusut," ujarku dengan memandang sinis ke arahnya.

"Hemm ... Kita pergi saja sekarang sebentar lagi acara dimulai," ujar Khana.

Kenapa dia tiba-tiba datar kepadaku? Sudahlah aku pun mengikuti langkahnya. Kalian tahu? Langkahku sangat lama karena aku memakai hills yang tinggi dan gaun yang ribet. Kemana semua orang yang harusnya membantuku berjalan?

***

"Khana, kau tahu? Sekarang aku tidak bisa duduk lagi. Aku takut gaunnya kusut." Aku benci dengan kata-kata itu, kenapa banyak sekali kata-kata Kia yang sama dengan kata-kata Teressa? Aku takut tidak bisa mengontrol diriku saat aku teringat akan Teressa.

Aku tahu Kia berjalan kesusahan di belakangku, dengan gaun yang ribet seperti itu tentu saja. Tapi bukannya aku tak mau membantu, aku hanya takut dia melihat ekspresiku saat melihatnya.

Asal kalian tahu, hatiku sangat sakit ketika berdekatan dengannya. Aku sakit karena saat itu aku selalu membayangkan Teressa. Namun akhir-akhir ini Kia telah mulai mengalihkan ingatanku dari Teressa. Tapi saat ia berbicara seperti Teressa aku mulai mengingatnya lagi. Katakan lah aku lelaki brengsek yang mengingat perempuan lain saat hari pernikahanku.

"Wow, cantiknya menantu Mom," puji ibuku.

Ku lihat sekilas ke arah Kia yang pipinya sedikit memerah. Memang tak kupungkiri bahwa Kia sangat amat cantik malam ini.

"Ya sudah kita pergi sekarang, para tamu sudah hadir." Intrupsi Ayahku.

Kami pun berjalan beriringan menuju Ballroom. Saat di depan pintu Ballroom aku lihat Kia agak gugup.

"Tenanglah." Bisikku sambil menggenggam tangannya. Bagaimanapun Kia adalah sahabat ku, teman terbaikku. Walaupun aku tidak mencintainya, tapi aku menyayanginya layaknya sahabat.

---

Aku kaget dengan perlakuan Khana, namun aku meliriknya dan tersenyum kearahnya. Aku pun melepaskan genggaman tangannya dan menyuruhnya dengan kode agar aku menggandeng tangannya saja.

Seketika pintu ballroom pun terbuka, aku berjalan paling depan dengan Khana, di belakangku berjalan pula kedua adikku, dan diikuti oleh orang tua kami.

Aku begitu kagum dengan dekorasinya, aku pikir hanya akan sederhana saja, tapi ternyata ini sangat mewah. Aku lihat para tamu berdiri, dan yang paling kusayangkan Livia tidak bisa hadir di hari bahagiaku ini. Ia sangat minta maaf karena tiba-tiba ibunya harus masuk rumah sakit.


Kami telah berdiri di pelaminan, dan kemudian Khana menuntunku untuk duduk. Ternyata akan ada pidato penyambutan dan sebagainya. Aku hanya memperhatikan saja berjalannya semua acara.

"Kau sedih?" tanya Khana yang telah duduk kembali di sampingku, barusan ia baru saja berpidato sebagai sambutan rasa terima kasihnya pada para tamu yang telah hadir.

"Livia tidak hadir, itulah yang aku sesalkan," jawab ku.

"Aku mengerti. Kau lihat semua tamu itu Kia," ucapnya dengan pandangan menyapu para tamu.

"Ada apa dengan mereka? Bukankah mereka keluargamu?" jawabku aneh dengan ucapannya.

Keluarga Khana sangat banyak, aku sendiri sampai tercengang melihatnya. Dan ternyata keluarganya itu bukan hanya yang ada di Indonesia saja.

"Bukan mereka, tapi para rekan bisnis ku," ralatnya dan aku hanya menganggukkan kepala.

"Mereka para kaum sosialita," gumamku.

"Kau tahu itu. Dan inilah alasan ibu mengadakan pernikahan mewah seperti ini," ucap Khana.

"Kau bisa menebak pikiranku Khana?" tanyaku. Aku heran kenapa ia bisa tahu bahwa dalam hatiku aku bertanya-tanya mengapa pernikahan ini sangat mewah.

"Hanya menebak. Tapi aku harap kau nanti tidak banyak bergaul dengan para ibu sosialita itu," ucap Khana.

"Kenapa?" tanyaku.

"Banyak hal negatif yang akan kau dapatkan dari pada hal positifnya. Contohnya pernikahan ini. Ibu ku tidak mau kalah dengan pernikahan mewah anak temannya itu. Dan kau tahu, acara seperti in hanya menjadi ajang pamer kemewahan bagi mereka," ucap Khana. Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasannya.

"Ayo berdiri," ucap Khana menyadarkanku yang tengah melamun.

Kami pun menyalami satu-persatu tamu yang hadir, hingga ada seorang perempuan yang ku yakini temannya Khana.

"Aku kira kau tidak akan bisa move on dari Teressa," ucap perempuan itu.

"Sudahlah jangan bicarakan dia. Kau lihat yang ada di sampingku ini Syaqira Adzkiatunnisa Balla, dia istriku," jawab Khana dengan ketus. Perempuan itu pun beralih menyalami ku.

"Selamat ya, sudah meluluhkan hati orang ini," ucapnya sambil tersenyum ke arahku.

"Terima kasih sudah hadir," ucapku sambil balas tersenyum.

Setelah itu banyak sekali teman-teman Khana yang selalu menyebut-nyebut nama Teressa, dan Khana selalu menjawabnya dengan nada yang merasa bersalah padaku. Saat ini aku merasa bahwa aku lah tokoh jahat diantara Khana dengan Teressa, bahkan tak sedikit teman perempuan Khana yang memandang sinis ke arahku, mereka pasti sedang membandingkan ku dengan Teressa.

Setelah acara demi acara selesai, aku lihat para tamu undangan sedang sibuk makan, mengobrol, dan sebagainya. Sesi foto juga telah selesai.

"Duduklah jangan pedulikan gaunmu. Aku yakin kakimu telah amat pegal sekarang," perintah Khana.

"Maafkan temanku yang tadi selalu membahas Teressa," ucapnya saat aku telah duduk.

"Tidak apa Khana, aku yakin kau dulu sangat populer bukan dengan Teressa?" ucapku seceria mungkin.

"Heem ... Ayo kita berjalan-jalan saja aku akan memperkenalkan mu dengan rekan bisnis ku," ajak Khana dan aku pun mengangguk setuju.

Khana pun menggandeng tanganku dan memperkenalku pada satu-satu rekan bisnisnya. Setelah lama, aku mulai capek dan juga merasa tak nyaman dengan pandangan para perempuan kaum sosialita itu.

"Khana kaki ku pegal, boleh aku duduk dengan Ashila dan Keyla saja?" Bisikku pada Khana yang tengah mengobrol dengan salah satu rekan bisnisnya.

"Baiklah biar ku antar," ucapnya, dan ia berkata entah apa pada rekan bisnisnya.

Khana menuntunku ke arah pintu belakang.

"Khana kenapa ke sini?" tanyaku bingung.

"Kita langsung ke kamar saja. Aku tahu kau lelah." Jawabnya sambil tetap menggenggam tanganku. Aku pun hanya mengangguk dan mengikuti langkahnya.

Bukan hanya kasihan melihatnya lelah, aku pun merasa bersalah padanya karena dari tadi temanku terus saja membahas tentang Teressa. Dan aku dapat melihat tatapan sinis teman-teman perempuanku kepada Kia, mereka tidak tahu sebenarnya Kia lah korban disini. Ia mau melakukan ini demi aku sahabat yang tak tahu terima kasih ini.

Aku juga melihat pandangan yang tak mengenakkan dari Nyonya-nyonya sosialita yang menyebalkan itu. Mereka pasti memandang Kia yang bukan dari kalangan keluarga pebisnis itu dengan meremehkan. Aku yakin mereka berpikir yang aneh-aneh tentang Kia sejak saat kami berunangan.

Kia berapa banyak lagi luka yang akan aku torehkan padamu? Bahkan di hari pernikahan saja kau sudah banyak terluka.









Hai, aku update cepat..

ini part terpanjang yang aku buat..

maaf kalau banyak typo ya,, mohon komentar dan sarannya juga ya..


jangan lupa kasih vote juga :)

Happy reading..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top