Uwaujuh. Tersenyum Dan Menangislah.

Duapuluh Tujuh/Twenty Seven/Juu Ni Hachi

Tersenyum dan menangislah jika itu membantumu,

Keluar dari kecemasan pribadi.

"Maaf," ucap Raka.

Ami mendongak, menatap lelaki yang kini berdiri di depannya dengan wajah yang menunduk. Ami baru menyadari, Raka selalu menunduk sejak mereka pertama kali bertemu di pagar rumah Randy beberapa saat lalu.

Raka memiliki kepribadian seperti Randy. Matanya tajam namun dengan sorotan sayu. Rambutnya terpotong rapi percis seperti kakaknya. Perawakannya tinggi namun hampir setara dengan Ami. Walau Ami memang lebih pendek beberapa senti. Dirinya menjadi malu karena dikalahkan oleh seorang anak yang berbeda umur sepuluh tahun dengannya. Sepertinya Ami yang salah planet, kenapa orang bumi semua selalu lebih tinggi darinya. Bahkan dulu pernah ia melihat perempuan memakai seragam SMP yang hampir menyetarakan tingginya.

Mereka semua itu Titan! Kini Ami mengerti bagaimana menjadi tokoh pendek dalam sebuah anime yang ditontonnya. Salah satunya menjadi Levi dalam anime Attack On Titan. Kira-kira lebih tinggi siapa?

Ami tersenyum, menatap Raka dengan gelengan kepala. Menyiratkan kalau hal tersebut sudah biasa terjadi. Semua memang memandangnya seperti anak kecil. Tidak terkecuali Randy sendiri. Tiga tahun lalu ketika melamar pekerjaan yang saat itu secara langsung memang langsung berada di ruangan yang sama seperti Randy bukan seperti sekarang melalui perantara pegawai lain terlebih dahulu. Saat itu belum banyak yang bekerja dengan Randy. Tidak ada yang mau lebih tepatnya. Karena rumor beredar bahwa Randy adalah psikopat.

Saat proses pelamaran dengan sengaja Randy melempar biodatanya ke depan wajah Ami. Marah? Jelas Ami marah saat itu. Tetapi lebih dominan rasa takut dibanding marahnya. Karena wajah Randy tidak bersahabat. Tatapannya tajam dengan marah yang memuncak. Jika diingat kembali, raut wajah Randy percis seperti beberapa minggu lalu ketika Ami disuruh membuat kopi. Ami masih mengingatnya sampai sekarang.

Alasan map yang berisi tentang biodatanya melayang di depan wajah Ami adalah karena Randy tiak percaya kalau umur Ami duapuluh tiga saat itu. Ami memakluminya.

Sekarang Ami sedang berada di lantai teratas rumah ini atau bisa dikatakan atapnya. Dimana pandangan Ami kepincut saat pertama kali menginjakkan kaki di depan rumah megah tersebut. Dari bawah saja sudah indah apalagi sekarang Ami berada di dalamnya. Melihatnya secara langsung. Disini terdapat satu kolam kecil berisi ikan-ikan yang biasanya dipakai untuk pemijatan. Setiap sisinya selalu ada pepohonan untuk menyejukkan ketika cuaca sedang panas. Ami yakin sekali Randy serta Raka jarang menikmati rumah mereka sendiri.

Ami ditemani Raka sedangkan Randy dan Agus pergi keluar memesan makanan. Itupun karena Agus yang terus saja merengek untuk membujuk Randy.

"Pak Randy itu kayak gimana sih, Raka?" tanya Ami seraya merendam kakinya di kolam tersebut. Raka duduk tak jauh dari Ami, menatap gadis tersebut sedari tadi. Entah apa yang dipikirkannya.

"Nggak tau, bukannya kalian meluangkan waktu lebih banyak?"

"Iya sih tapi kita kan kerja? Nggak ada yang namanya main-main di kantor, kata dia."

Sejak kejadian Randy yang pingsan ketika kemah berlangsung, Ami jadi sering memanggil Randy dengan namanya bukan lagi Bosq.

"Kakak nggak pernah gue liat pulang."

Napas Ami terhenti, ia menatap Raka dengan sorot keingintahuan.

"Yaah ..." Raka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali, mulai mengalihkan tatapannya ke langit. "Bukan seperti yang lo pikirin, maksud gue, Kakak selalu pulang malam. Kami nggak pernah saling bicara banyak."

"Kenapa?"

"Bisa nggak jangan banyak tanya!" seru Raka yang membuat Ami langsung membukam mulutnya. Benar juga, sedari tadi ia terus saja seperti mengintrogasi Raka. Sebenarnya niat Ami ingin menjenguk atau mencari tahu kehidupan pribadi Randy? Seandainya Randy tahu itu, maka Ami akan dijauhkan olehnya. Randy tidak suka masalah pribadinya diumbar begitu saja. Mengingat ia memiliki kenangan buruk.

"Hehehe gara-gara berendam di cuaca dingin begini jadi kebelet kencing. Toilet dimana ya?"

"Masih ingat jalan ke dapur?" Ami mengangguk, masih mengingatnya.

"Sebelah kiri dari tangga. Kalau udah kebelet banget, pake toilet kakak aja."

Ami menggeleng, "Nggak usah, toilet di lantai bawah aja hehe."

Setelahnya Ami berjalan meninggalkan Raka sendirian disana. Sebenarnya Raka sedikit iri pada kakaknya yang kini memiliki teman sedangkan ia tidak. Sebelum membuka pintu gerbang tadi, hatinya terenyuh mendengar percakapan dua orang yang sedang berdiri dibatasi dengan pagar rumahnya. Niatnya membuka pintu lebih cepat sebelum Agus terus-terusan memainkan bel rumah. Tetapi ia merasakan kakaknya hanya akan dimanfaatkan oleh orang-orang. Ternyata Raka salah besar. Tetesan air mata dari orang-orang yang begitu menyayangi kakaknya. Baru pertama kali Raka menyaksikan seseorang menangis untuk Randy. Tangisan untuk kakaknya. Semuanya tulus apa adanya. Raka tidak menyangka Randy memiliki peran penting kini dalam hidup orang lain.

Selama bertahun-tahun kebelakang Raka melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kakaknya frutasi dan hampir melakukan bunuh diri. Raka sebagai saksi bisu bagaimana Randy langsung berubah drastis.

Raka merasakan bagaimana kepedihan hati Randy kala itu. Hanya Raka, pikirnya. Lelaki tersebut tidak tahu saja bahwa orang lain juga menyaksikannya dan mengingatnya.

Selesai dari toilet, Ami hendak kembali ke atap. Memang tidak memiliki perasaan sekali dirinya. Tidak meminta maaf dan malah kabur dengan alasan kebelet. Ami tidak tahu harus berekpresi seperti apa. Yang Ami tahu, jika ia tersenyum maka semuanya baik-baik saja. Jika ia selalu ceria maka orang-orang akan menganggapnya sebagai energi posisif. Ami tidak tahu bahwa tangisan bahagia itu ada, sakit sebelum sembuh itu ada.

Namun ada sesuatu yang menyita pandangannya. Sebuah ruangan sempit diantara celah dapur. Seperti gudang yang telah lama dibiarkan begitu saja. Langkah Ami berhenti pada sebuah kertas yang tampak terbang dari ruangan tersebut. Ia berjongkok untuk memungutnya. Mencoba membaca isi tulisan jalan yang sudah samar tintanya, mungkin diakibatkan karena umurnya terlalu lama.

"SMA Dandelion Utara?" gumam Ami. Seingatnya jikalau tidak salah, itu adalah nama sekolahnya dulu. Mengapa ada berkas salah satu sekolahnya disini, pikir Ami. Ketika hendak melihat ke ruangan tersebut lebih dalam lagi, sebuah suara menghentikannya. Ami menoleh dan menemukan Raka.

"Maaf." Satu kata yang diucapkannya.

"Untuk?" tanya Ami.

"Tadi. Bukannya bermaksud ngebentak tapi kalau mau tanya tentang kakak, bukankah lebih baik pada orangnya langsung?"

Ternyata Raka juga masih memikirkan hal itu hingga wajahnya berubah pucat, percis sekali dengan Randy.

"Maaf juga yah," ucap Ami. Raka menganggukkan kepalanya.

Ami lalu kembali berbalik menuju ruangan tersebut. Namun sekali lagi suara ricuh Agus serta Randy yang datang. Seandainya ia lebih cepat, sepertinya Ami akan mengetahui sesuatu yang belum pernah disangkanya. Seandainya. Ami bukan berniat untuk kepo, tetapi ia merasa bahwa ia harus mencari tahu sendiri sebelum duduk dan dijelaskan seperti anak kecil. Ami merasa bahwa seseorang membukakannya jalan dan menyuruhnya untuk mencari 'sesuatu' tersebut. Ami masih tersesat, tak ada pemandu di sekitarnya. Ia harus mencari jalan itu sendiri.

"Mi, kamu kenapa?" tanya Randy karena melihat raut wajah Ami yang biasanya cerah menjadi muram.

"Lo sakit Mi?"

Ami menggeleng dengan seutas senyuman.

"Wah lo apain Ami nih!"

Adu mulut kembali terjadi. Melihatnya membuat Ami terkekeh sendiri. Tiga lelaki tersebut berhenti saling tuduh-menuduh lalu menatap Ami. Randy menundik lengan Agus lalu berbisik, "Rumah gue udah angker ya? Ada penunggunya ya? Ami kerasukan ya?"

Agus terkekeh, "Nggak tau bro, liat aja sendiri."

250720ailavutu.

Padahal cuma senyum aja dikira kerasukan hadeuhhh

Gimana part ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top