Pat. Malu Bosq?
Empat/Four/Yon
Malu Bosq? Makanya jangan panik duluan
Setelah itu tidak mau tanggung jawab dan menjadi sensi sendiri, dasar Bos!
"Yuta tunggu, tante mau ikat tali sepatu dulu," ucap Ami di ambang pintu masuk kantor. Yuta mengangguk, melepaskan genggaman Ami agar perempuan tersebut bisa mengikat tali sepatunya dengan leluasa.
Ami berjongkok mengikat tali sneaker yang ia gunakan hari ini. Ngomong tentang hal yang Ami gunakan, gadis mini tersebut tampak seperti anak kecil dengan gayanya. Memakai overalls yang celananya sepanjang lutut berwarna baby blue ditambah atasan kaos biasa berwarna putih polos. Rambut pendeknya ia ikat menjadi satu membuat anak rambutnya keluar secara acak. Ditambah base ball cap. Sungguh gadis lugu tersebut begitu menggemaskan. Ami memang berumur dua puluh enam, orang yang baru mengenalnya akan mengira bahwa gadis tersebut masih anak sekolahan yang magang. Dibandingkan dengan Rainy yang telah memiliki seorang anak, Ami jauh terlihat muda dengan gayanya. Mungkin faktor sejak melahirkan, wajah Rainy sudah tampak sedikit lebih dewasa. Ami memang tidak menolak umur, ia memang lebih menyukai pakaian-pakaian seperti ini.
Sayangnya teman sekantor mereka tak berpikir Ami menggemaskan lagi sejak ... sejak beberapa menit kemudian.
"Ayo Yu ... ta?" Ami kebingungan sebab lelaki kecil tersebut tak ada lagi di sampingnya. Pintu kantor terbuka. Yuta sepertinya memasuki kantor dengan sendirinya. Sebaiknya Ami cepat-cepat masuk. Takut keponakannya membuat rusuh, walau kecil kemungkinannya. Yuta menurut Ami adalah anak lelaki yang kalem, diberikan buku bergambar saja bisa membuatnya diam beberapa jam.
"Heyo Mi! Lucu bet deh lo hari ini kek anak kecil," sapa Jeje yang datang dari ruangan sebelah dengan membawa semangkuk bubur ayam.
"Liat anak kecil masuk ga bang?" Ami tidak merespon sapaan Jeje, ia masih fokus mencari sang keponakan.
Jeje mengendikkan bahunya. "Emang kenapa? Anak lo Hahahaha, nggak kan?" Ada penekanan menuntut di akhir kalimat Jeje setelah tertawa hambar.
Ami acuh mengacuh menjawab pertanyaan aneh Jeje, mana mungkin Yuta anaknya. Gadis itu saja belum memiliki pacar apalagi menikah. Ami berjalan mendahului Jeje ke ruangan kerjanya. Benar saja, Yuta ada di sana dikelilingi oleh beberapa orang yang menatapnya intens penuh selidik.
"Yuta kamu nggak boleh main tinggal gitu dong!" Ami menarik keponakannya dari kerumunan. Menceramahi Yuta tanpa melihat pandangan orang-orang.
"Mi ... lo kebobolan?" tanya Geon yang terus saja menggeleng dengan kedua tangan menutupi mulut.
For your information, Ami tidak pernah menceritakan tentang kehidupan pribadinya kepada orang kantor. Menurutnya hal itu tidak diperlukan.
"Apaan-" Ami sudah akan menyangkalnya, namun Jeje berteriak histeris.
"Mi! lo nggak suci lagi? Istigfar Mi!"
"Dengerin-" Lagi. Suaranya tertelan karena terus saja disela.
"Lo diem-diem lancar ya."
"Astagfirullah! Astagfirullah."
"Pagi-pagi udah seru aja, pasti Jeje ngegosip lagi kan?" Randy datang dan menyela kerumunan tersebut. Ia menatap Ami dan Yuta bergantian.
Wajah Randy tiba-tiba memerah.
"Bosq, Mami kita udah nggak suci lagi~" Jeje bersuara dengan nada.
"Yu ... Yuta bukan anaknya Ami."
Ami terkekeh karena Randy, walau begitu ia berusaha tidak mengeluarkan kekehannya. Mengganti dengan raut serius agar orang kantor percaya pada ucapan Randy, lebih tepatnya mendukung perkataan Randy.
Dalam pikirannya, Ami menjadi ingat kejadian di masa lalu. Apalagi melihat wajah Randy yang memerah.
"Lah? Kok tempe?"
Enam bulan lalu...
Randy marah-marah di telpon pagi tadi karena ilustrasi yang ia inginkan dari Ami tertukar dengan kertas kosong. Sedangkan hari ini Minggu yang berarti kantor libur dan ia tidak bisa bertemu dengan Ami yang membawa salinan aslinya. Lebih baik ia meminta ke Ami si pembuat daripada Jeje yang membuat kertas tersebut tertukar. Sangat menjengkelkan.
Ia sudah tiba di depan rumah Ami. Jujur ini pertama kalinya ia singgah. Itupun karena pekerjaan, jika tidak, lebih baik Randy diam di rumah daripada harus muntah sepanjang perjalanan yang begitu panjang. Sepuluh menit. Bagi Randy itu begitu lama.
"Bental!" ucap seorang anak kecil. Randy tentu cukup terkejut. Ah dia berpikir positif mungkin anaknya-eh adiknya.
"Nyali siapa Om?"
Beruntung anak kecil itu lumayan tampan. Lucu dan menggemaskan. Semua anak kecil mampu membuatnya tersenyum.
"Lah kok nanya ke Om? Saya juga nggak tau siapa itu Nyali."
Mereka berdua bertatapan lama. Randy memutus pandangan tersebut pertama.
Mungkin salah rumah?
Randy sudah hendak berbalik pergi dari rumah tersebut. Tangannya menari di benda pipih yang digenggamnya, mengirim pesan untuk Ami. Tapi pandangannya tersita dengan foto yang terpajang tepat di depannya saat ini. Ami menggedong anak kecil yang kini mengajaknya bicara serta seorang lelaki tampan. Beruntung tampan. Lagi. Namun ada yang janggal, perempuan yang terlihat di foto tersebut memang tampak seperti Ami namun auranya sangat berbeda. Begitu dewasa.
Ami sudah menikah?
Memiliki anak sebesar ini?
Begitu argumen Randy pribadi. Ia tetap terpaku di sana, rumah ini benar adanya rumah Ami. Google tak pernah salah, sama seperti wanita.
Suara langkah kaki berat mendekatinya.
Lelaki?
"Eh? Siapa ya?" tanya laki-laki yang Randy lihat merangkul bahu Ami di dalam foto tersebut. Yuta bersembunyi di balik kaki laki-laki tersebut.
Cih, suaminya?
Randy tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa menunjuk foto tersebut menggunakan jari telunjuknya.
"Oh ... saya suaminya. Dia lagi ke supermarket, ada perlu apa ya?"
Ami sudah menikah dan tidak mengundangnya? Jahat sekali.
Randy ingin menjawab, namun seseorang timbul dari balik tembok dengan keadaan kacau. Tampaknya baru bangun tidur.
"Eh dia bos gue." Ami menujuk Randy.
"Lah maaf ... ayo masuk, gue ambilin minum ya Mi."
Mi? Mami? Eh enggak, kita satu kantor juga manggilnya Mi. –batin Randy.
Randy tersenyum kikuk. Mendekati Ami dengan perasaan campur aduk.
"Kamu kapan nikah Mi? Nggak ngundang saya juga, jahat kamu Mi."
"Dih. Saya belum nikah Pak."
"Bohong! Lalu dia buktinya?!" Randy menunjuk Yuta. Dalam benak Randy, sungguh malang anak kecil tersebut mendengar ucapan Ami yang ia pikir ibu dari anak tersebut. Randy merasakan aura seorang anak yang tidak dianggap oleh ibunya sendiri demi martabat.
"Kamu nggak boleh gitu sama anak kamu! Apalagi ada suami kamu!"
"Apaan sih, ngaco si Bos."
Randy menggeleng, ia beralih menatap Yuta dan menggenggam erat pundak lelaki kecil tersebut, "Sabar nak, kamu sering nggak diakui Mami kamu ya?"
Yuta tak berkutik. Baru kemarin ia pertama kali melihat orang gila. Ciri-cirinya mirip.
Pintu terbuka, Randy menoleh. "Astagfirullah. Ngagetin kamu Mi. Eh astagfirullah, kok Ami ada dua?"
Randy pingsan seketika.
Semua tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Ami yang dengan polos menguak aib bosnya sendiri di depan orangnya. Randy hanya bisa duduk di pojokan mendengar tawa para karyawannya. Ia merutuki kebodohannya saat itu.
"Ya mana saya tau, mirip banget."
Namanya juga kembar atuh.
"Jadi Bosq, boleh saya ajak Yuta di sini satu hari?"
Randy mengangguk, ia melihat Yuta dan tersenyum. "Iya, saya suka anak kecil kok."
Hening. Ami menggeser Yuta kebalik badannya. Begitu pula Talia yang menjauhkan tiga anaknya.
Merasa ada yang aneh, otak Randy berputar dan mengerti mengapa mereka terlihat ketakutan serta menyembunyikan anak-anak dari hadapannya.
"Heh! Bukan gitu maksud saya, saya bukan pedofil!"
Lagi, semua tertawa terbahak-bahak. Mengerjai bos itu lumayan asik. Terutama Jeje yang mungkin akan menceritakan kisah ini kepada perkumpulan ghibah yang ditekuninya sejak tahun lalu.
—
Siangnya, menuju jam makan siang, Ami tak bisa makan tepat waktu. Sudah wajar bahkan setiap hari Randy mengganggu waktu makannya hanya untuk pergi ke pelanggan mereka. Mengapa ia harus repot, kenapa tidak pelanggan saja yang mendatangi kantor mereka? Aneh sekali bos tersebut. Selalu saja merepotkan anak kecil.
Kamu bukan anak kecil Mi!
Teruntuk Ami hal itu tak apa, namun ia merasa kasihan dengan keponakan satu-satunya itu yang harus ikut bersamanya kemana pun Randy pergi.
"Maaf ya Yuta, sekarang kita makan di mall, kamu mau apa?" Randy menawarkan kepada Yuta tanpa memperdulikan Ami yang duduk di sebelah kemudi. Mereka sudah selesai bertemu dengan beberapa pembeli cover buku. Sebenarnya Yuta tidak rewel, Randy meminjamkan sebuah buku bacaan bergambar, kata Ami itu ampuh dan benar saja. Ucapan si Tante tidak bisa diragukan.
"Kita ke kantin deket kantor aja Bosq," saran Ami.
"Gelato!"
"Ayo kita beli gelato!"
Baik. Ami terasa didiskriminasi sekarang. Tidak ada yang mendengarkannya.
"Yuta, kita makan dulu baru beli gelato ya?"
Yuta mengangguk setuju.
"Mau makan apa Mi?" tanya Randy.
"Ini ngga motong uang gajian saya kan Pak? Kalo iya, mending kita makan bakso di pangkalan."
Randy terkekeh, ia tersenyum jahil. "Tergantung."
Ami tahu alasan Randy mengajaknya pergi ke mall. Rata-rata orang sekitar sini memiliki wajah yahh setidaknya tidak membuat Randy muntah.
Setelah makan, Randy akan memenuhi keinginan Yuta yaitu membeli gelato. Mereka bertiga beriringan. Jujur, tampak seperti Randy membawa dua orang anak. Ami tampak begitu seperti anak SMA dengan tubuh SMP. Apalagi wajahnya babyface. Randy jadi terlihat seperti Papa Papa muda.
Bahkan setelah membeli gelato yang pada akhirnya Randy juga membeli dua untuk Ami satu lagi, gadis itu memakannya seperti gaya anak kecil. Belepotan. Yuta saja lebih terlihat dewasa daripada karyawannya tersebut.
"Belepotan nak." Randy mengusap bibir Ami dengan tisu yang dimintanya kepada penjual gelato—secara paksa. Randy juga menambahkan kata 'Nak' agar orang-orang disekitar yang memandanginya kini lebih percaya bahwa mereka keluarga (Bapak dan Anak) yang bahagia.
Yah mau gimana lagi? Dia suka.
...
Suka?
110520ailavutu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top