Juhlas. Jejen?
Tujuhbelas/Seventeen/Juu Sichi
Jejen? Mungkin masih satu kerabat dengan Jeje.
"Konon katanya lorong belakang menuju toilet antara perempuan dan laki-laki terdapat penghuninya. Ketika pembangunan dulu ada seorang pekerja yang melihat seorang perempuan memakai daster putih serta menggendong anaknya. Pekerja tersebut melihat darah bertetesan setelahnya serta suara tangis bayi. Semenjak itu banyak kejadian aneh dari bau susu basi, suara tangis anak kecil yang meminta main tiktok serta cara main game online."
"Anaknya sekarang sudah besar dan suka menculik orang-orang yang sedang sendirian di kantor lalu mengajaknya untuk bunuh diri dan hidup sebagai keluarga, kalau perempuan jadi istrinya kalau laki-laki jadi bapaknya. Btw nama anak itu ... Jejen."
"Buset gue kira Jeje."
"Gila lo Pak, sampai namanya hantu aja tau."
"A-apa?! I-itu beneran Om?" tanya Nada takut-takut seraya menggertakan giginya.
"Om-Om! Gue berasa jadi laki-laki pedofil."
"Lanjut Bang!"
"Nah pas malam purnama atau tepat ketika pelantikan Bos disini, katanya ada yang kerasukan. Terus ngeluarin berak banyak banget."
"Pffftt ... maaf ngakak." Stevi tak kuasa menahan tawanya.
"Hus, lagi seru Mba!"
"Datang pahlawan kita dari atas langit, dia itu majikan kalian atau penghuni utama sini. Jadi kalian jangan takut sama Randy, dia mah nggak ada apa-apanya sama Tuan besar itu!"
Stevi masih terkekeh sedangkan Nada menelan salivanya beberapa kali. Jeje dan Geon mendengarkan dengan serius. Baim menutup telinga karena takut. Talia tidak peduli, ia mengajak anak-anaknya untuk menjauh. Lany? Belum datang sampai siang ini. Terakhir Thora, tidur dengan nyaman walau keadaan bising.
Saat ini mereka sedang duduk santai di ruang di dalam tanggung jawab Thora. Padahal mereka tidak memiliki izin, namun mau bagaimana, Thora juga tidur saat ini. Beberapa menit lalu Agus datang dengan membawa popcorn. Biasanya kalau seperti itu mereka akan bercerita menurut sudut pandang Agus, tentunya cerita seram yang didapatkannya akhir-akhir ini.
Mengapa Agus repot-repot bersuara? Karena lelaki itu dianggap aneh oleh keluarganya sedangkan disini ia bisa bercerita bebas selama Randy tidak ada tentunya.
Lalu Ami dimana? Mengapa ia tidak ikut? Ah perempuan tersebut tidak percaya segala ucapan Agus maka dari itu ia tetap berada di ruang sebelah. Bekerja katanya.
"Kalian jangan kaget ya? Randy itu ..."
Jeje membuat suara drum dari bibirnya membuat suasana semakin mencekam.
"Randy itu ..."
"Cepetan ngomongnya begok?!"
"Iya-iya. Randy itu jelmaan vampire tau!" dengan tanpa nada menakut-nakutkan seperti sebelumnya Agus bersuara lancar.
"HA????"
"Yoi, dia udah mau ngebunuh gue bulan la-"
Plak?!
Semua menoleh, menelan salivanya beberapa kali. Randy tampak menyeramkan dengan tatapan tajam itu. Apa benar yang dikatakan Agus? Jadi selama ini...
"Lo jangan buang ludah lo buat cerita ngasal gitu."
"S-sakit RANDY!" teriak Agus dengan wajah yang dibuat-buat menyedihkan.
"Bubar-bubar, kenapa kalian nggak kerja sih?"
"Iye-Iye."
Satu persatu dari mereka kembali ke kubikel serta ruangan masing-masing. Agus masih mewek tidak jelas. Sebelum bubar sepenuhnya Randy berucap sambil menggelengkan kepalanya.
"Saya kira kalian kemana, soalnya ruangan sebelah kosong."
"HEEEHHHH???"
Sepertinya ada yang salah.
"Kenapa?" tanya Randy acuh tak acuh.
"Oh iya, Ami mana?" tanya Randy lagi.
"Ami kan di ruangan se ..."
"Jangan-jangan diculik Jeje?!"
Jeje menatap sinis, "Jejen woe, Jejen!"
Semua kepanikan kecuali Randy. Lelaki itu tampak bertampang polos. "Jeje karyawan siapa? Sepertinya saya tidak ada merekrut orang yang namanya Jeje."
"Jejen Bosq Jejen! Jeje mah saya!" Jeje sedikit berteriak.
—
Seperti biasanya Kehlany atau biasa dipanggil Lany datang terlambat ke kantor dan semuanya baik-baik saja. Bahkan Randy dan Thora tampak tidak peduli. Lany juga tidak salah karena jam kerja tidak ditentukan. Namun hari ini sepertinya karyawan satu ruangan hingga ruangan sebelah merasa kesal. Apa itu karena dirinya? Apa yang ia lewatkan?
"Pagi Mba ..." sapa Lany kepada Stevi yang lewat dengan pakaian yang agak kurang rapi. Habis bertengkar?
Stevi menoleh sebentar lalu kembali berjalan tanpa merespon.
"Gue salah apa ya? Perasaan udah sebulan nggak ketemu Mba Stevi baik-baik aja tuh."
Lany berjalan menuju ruang kerjanya. Disana ada tiga balita yang sedang menangis serta ibu yang sedang berusaha menidurkannya. Thora tidak tidur, beliau saat ini sedang terjaga, untuk memarahinya? Lany menelan saliva pelan. Ia beralih pada kubikelnya yang terletak dekat Nada.
"Pagi Nad."
Nada menoleh, "Pagi? Siang kali."
Uwah sinis sekali. Ada apa ini?
"Ada apasih aura kantor serem banget?" tanya nya entah pada siapa.
"Gara-gara Ami hilang," jawab Thora dengan nada memelas.
"Hah?"
Ya, mereka sedang kelelahan mencari Ami, tiga puluh menit sebelum Lany datang. Bahkan Randy telah menelepon kantor polisi walau tidak diindahkan karena kurang dari duapuluh empat jam. Semua panik mengingat hal yang Agus ceritakan. Walau Randy mengatakan hal tersebut hanya omong kosong, tetap saja siapa tahu mungkin benar? Mungkin.
Tapi hal tersebut terpatahkan ketika Stevi melihat Ami meringkuk di toilet. Awalnya gadis yang tak kenal takut itu nyalinya menciut karena kembali mengingat cerita Agus. Padahal Stevi orang yang tidak percaya dengan hal-hal seperti itu.
"Mi? Lo kenapa?"
Ami menoleh, "Mbaaaa! Perut gue sakit! Eh bukan perut sih ya."
"Lo mau melahirkan?!"
Ami menatap Stevi datar, "Jangan mikir jauh gitu dong, bukan ituu."
"Dahlah ini bukan kuis, lo kenapa?"
"Gue ..."
"Iya, elo?"
"Gue datang bulan, tapi udah ga terlalu sakit sih, balik yuk."
Stevi menghela napas panjang, "Ami ... Ami ... orang kantor pada panik tuh gegara elu."
"Eh?"
Dan akhirnya semua ngambek kepada Ami karena hampir membuat jantungan. Apalagi bagi kumpulan si penakut, Jeje, Geon, Nada dan juga Baim. Heran, kenapa lebih banyak cowoknya.
"Emang gue salah? Tumben banget nyariin. Gara-gara Pak Agus aja gue ditinggal, huh."
Ami merapikan mejanya hendak pulang karena waktu memang sudah menujukkan mereka untuk balik ke rumah. Sedangkan Ami kembali ditinggal. Jahat memang.
"Akhh! Aduh duh, tuh kumat lagi sakitnya kan," rintih Ami. Ia mencengkram perutnya karena rasanya seperti dililit oleh sesuatu. Biasanya Ami tidak merasakan sakit yang terlalu parah seperti ini.
"Mi ..."
Ami menoleh, pandangannya was-was.
"Eh Bosq saya kira siapa, baru mau balik Pak?"
"Ehm ... ya. Ikut saya sebentar."
"Sorry nih Pak, anu saya sakit banget nih, saya boleh pulang aja nggak?"
"Oh. Enggak tuh, ayo cepet."
Pada akhirnya Ami hanya nurut. Kumat mental babunya. Beruntung pagi tadi Abi yang mengantarnya, sekarang Ami tidak perlu pusing akan motor yang akan menginap di kantor.
Tak lama kemudian Randy menghentikan laju mobil. Lelaki tersebut turun tanpa aba-aba. Yang Ami ketahui lelaki tersebut pergi ke apotek. Awalnya Ami ingin turun namun karena suasana apotek yang sepi sepertinya tidak apa jikalau ia meninggalkan Randy disana sendirian. Tapi tunggu, Bosq sedang sakit?
Randy kembali pada waktu yang singkat. Masih tanpa mengeluarkan kata-kata membuat suasana yang hening.
"Mau permen?" tawar Ami. Ia tahu Bosq menahan muntahnya. Entah apa yang dilihat Randy tadi.
"Makasih."
Sekitar limabelas menit akhirnya mereka sampai di depan gerbang tempat tinggal Ami. Sebelum membuka pintu mobil, Randy menyerahkan sesuatu padanya.
"Obat?"
Randy mengangguk, "Iya biar nggak sakit lagi."
"Wah kalau tau gitu saya aja yang turun tadi Pak."
"Udah lewat."
"Double makasih yah Bosq, buat obat sama tumpangannya."
Randy mengangguk, "Iya. Jangan salah paham, saya cuma nggak mau kalau pekerjaan kantor terhambat karena anu kamu sakit."
"Ehmm, oke?"
Ami melambai seperti anak kecil ketika mobil Randy berbelok. Ia tersenyum kecil.
140620ailavutu.
Lanjut Sabtu depan yaa :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top