Bilan. Cucok!

Sembilan/Nine/Kyuu

Cucok! Cucok banget liat para pasangan pergi berduaan, saling gandengan tangan.

Kalau jomblo mah bisa apa, meluk guling seharian saja dimarahi emak.


Ami cukup menikmati film yang diputar saat ini. Mereka dikelilingi oleh orang tua yang mengajak anaknya untuk menonton di bioskop. Lebih tepatnya mereka saat ini sedang menonton animasi Frozen yang kedua. Niat Abi ingin menonton Jumanji yang sedang menayangkan season kedua juga namun sepertinya ada adegan yang tidak boleh Ami tonton. Abi masih berpikir Ami anak kecil. Film Frozen bukan sepenuhnya dipilih oleh Abi, namun Ami yang menginginkannya sejak masih di dalam mobil. Abi menyetujuinya, namun Ami masih saja merengek ketika mereka mengantri untuk membeli tiket. Bahkan Ami sampai tidak mau menunggu di sofa, Ami ingin memastikan Abi memilih film tentang dua saudara, pacar adiknya, peliharaan pacarnya serta boneka salju yang bergerak.

Saat ini Ami menikmati film tersebut dengan asik. Memakan popcorn serta soda. Sepertinya gadis tersebut juga memasukkan cireng, cilok serta ciki-ciki lainnya di tasnya. Abi tidak merasa malu, ia hanya tersenyum kecil. Lucu.

"Abi ..." bisik Ami memanggil Abi ditengah film tersebut berputar.

Abi menoleh, menatap gadis yang ada di sebelahnya kini dengan raut bertanya.

"Samantha siapa?" tanya Ami.

Abi mengerutkan keningnya, ia bahkan tidak menikmati isi film tersebut juga tidak menonton season pertamanya. Mengetahui Abi tidak mengerti, Ami segera menggeleng, "Lupakan." Gadis tersebut kembali menatap ke depan.

Sekitar dua jam berjalan, film tersebut selesai. Orang-orang berhamburan untuk pergi. Namun Abi dan Ami masih di sana. Mereka tidak suka berdesakan. Menunggu orang-orang pergi terlebih dahulu. Ami juga masih menikmati soundtrack pada akhir cerita tersebut.

Sejak keluar dari pintu teater, Ami tampak murung. Sepertinya ending Frozen tidak menyedihkan sama sekali, itu yang Abi bisa tangkap sejak dua jam duduk dan menonton. Mengapa gadis tersebut bersedih?

"Lo ... kenapa? ehm, malu karena jalan sama gue?"

Ami menatap Abi, ia menggeleng, "Enggak, gue cuma berpikir ... gue kayak anak kecil ya? Egois hehe."

Abi terkekeh, "Bodoh, kita mau kemana?"

"Lo nggak marah sama gue?"

"Ngapain capek-capek marah?"

Ami menengok ke atas, menatap langit-langit. "Soalnya lo dari tadi diem-diem bae."

"Gue emang kayak gini. Makanya ga ada yang betah jadi pacar gue."

"Oh I see ..." Ami menyipitkan matanya.

"Padahal menurut gue lo ganteng, cuma cewek itu nggak suka tipe kalem bet kek lo." Juga terlalu menakutkan dari fisik. Sebelum mendekati, perhatian seorang cewek terlebih dahulu pada penampilan serta kepribadiannya.

"Gue tahu gue ganteng."

Ami mengedipkan matanya beberapa kali di depan wajah Abi yang sekarang sedang menunduk. Lelaki itu lalu terkekeh, menatap Ami seraya tangannya mengelus pelan rambut gadis tersebut. "Becanda."

Mereka terkekeh bersamaan.

Jalan bareng bukan berarti mereka menyetujui adanya perjodohan. Hanya saja mereka berdua ingin keluar dari zona nyaman sendiri. Ingin mencoba hal baru lebih tepatnya. Ami juga sudah mulai berpikir untuk menjalin hubungan. Tetapi selama hidupnya ini, ia seperti di kekang oleh sesuatu, Ami juga tidak tahu betul apa itu. Hal tersebut yang membuatnya tidak pernah berpacaran. t

Tidak, mungkin pernah dulu, ketika kakaknya masih ada di sebelahnya.

"Sekarang mau kemana?" tanya Abi. Ami mengendikkan bahunya. Ia juga tak tahu harus ke mana sekarang. Tidak memiliki wawasan lebih untuk berkencan. Ia hanya melihat dari animasi yang ditonton serta dibacanya.

"Mall?" Ami menggeleng.

"Taman?" Ami menggeleng lagi.

"Timezone!"

"Timezone!"

Seru keduanya bersamaan. Sepertinya Abi sudah mengenal Ami, sedikit. Abi tidak akan curang. Jika gadis tersebut memiliki orang yang disukainya, maka Abi mundur. Itupun jika ia merasakan jatuh cinta terlebih dahulu. Intinya, mereka ingin menjalaninya dahulu.

Pulang dengan sedikit rasa kecewa. Itulah perasaan Abi setelah melewati malam minggu dengan Ami. Bukannya Abi tidak suka dengan gadis imut tersebut, hanya saja ia memiliki sedikit rasa bersalah pada Ami. Ia seperti orang jahat yang hanya memanfaat orang lain. Salahkan saja orang tuanya yang meminta dirinya melakukan hal tersebut.

Setelah memarkirkan mobil di garasi rumahnya, Abi memasuki rumah. Seperti biasa tanpa kata-kata ataupun salam ia berjalan melewati orang-orang yang ada di ruang keluarga menuju kamarnya. Menggunakan tangga. Keluarga Abi mengira lelaki tersebut bersenang-senang selama jalan berdua dengan Ami, namun tidak. Malah itu sangat menyakitkan.

Ibu Abi hendak menyusul, namun sang Ayah memegang tangan istrinya dan menggeleng. Ia sendiri yang akan menemui putranya.

"Gimana hari ini, Bi?" tanya sang Ayah diambang pintu.

Abi tak menyahut. Ia mengambil handuk hendak mandi.

Merasa tak akan direspon, Ayah Abi membalikkan pertanyaan.

"Ada yang salah dengan Ami?"

Abi menghentikan pergerakannya, ia menoleh menatap dengan sorot malas.

"Nggak bisa. Abi nggak bisa. Ami terlalu mirip, bahkan sangat mirip dengannya. Abi ... nggak bisa, Pa."

Lelaki beruban tersebut mendekati putranya, "Kenapa? Bahkan Ami tidak cocok?"

Abi menggeleng, "Gadis itu sangat mirip. Abi ... Abi nggak berpikir untuk mencari orang yang sama."

"Nak, tolong jalani dulu, hm?"

"Terserah kalian. Ami bahkan nggak tertarik sedikit pun."

Ya, Ami tidak tertarik dengan Abi. Bahkan gadis tersebut terlihat seperti cenayang yang bisa membaca pikirannya. Ami ... begitu menyeramkan. Pikir Abi.

Dua hari libur karena weekend membuat Ami yang tidak memiliki pekerjaan dan lebih banyak waktu luang. Bahkan ia lebih sering bermain dengan Yuta karena kehabisan stok anime. Ami menjadi orang yang paling santai di hari Senin ini. Pekerjaannya telah selesai sejak pergi bermalam minggu bersama Abi. Ami juga sempat mampir ke toko sepatu untuk melihat referensi untuk cover yang dimintai seseorang padanya.

Setelah makan siang di warung sebelah kantor bersama Nada, mereka berdua kembali ke kantor. Mengapa Ami mengajak Nada bukan rekan kerjanya, Stevi? Karena Nada sama dengan dirinya, tak memiliki pekerjaan. Ami dan Nada berpisah di lorong dengan jalan antara ruang kerja mereka.

"Nah pas Ami datang nih!" seru Geon yang duduk di meja kerja Ami. Menatap Stevi dan Jeje yang sedang bekerja masing-masing.

"Ada apa?"

"Kalian tahu nggak kenapa Randy dipanggil Bosq?" tanya Geon. Tangannya mengusap dagu, ikut berpikir.

Stevi yang sedang menyusun beberapa panel karakter menjawab tanpa berpikir, "Dia bos kita kan?"

"Katanya biar keren," jawab Ami.

Lelaki yang sedang berjongkok di belakang Geon, membetulkan printer yang rusak, Jeje si tukang ahli bedah alat eletronik terkekeh sendiri. Ia terbata-bata mengucapkan jawabannya, "Sa ... salah dong! Ehe, kalau dipanggil Tuhan, dah meninggal dong Huahahaha."

Geon ikut terkekeh. Ia menabok kepala Jeje. "Kalau Bosq tau, nyawa lo yang dipanggil Tuhan duluan Bang!"

Dasar. Para manusia gabut.

Jeje kembali ke tempatnya setelah selesai urusan dengan Geon. Sebelum kembali, ia meludahi kursi Geon, membuat lelaki itu berjinjit jijik. Terjadilah kejar-kejaran di dalam ruangan. Ami yang ingin kembali ke tempat duduknya, menggeleng. Lebih baik ia menunggu di depan pintu sampai mereka berdua selesai dengan cara kekanak-kanakan tersebut.

"Yo! Pa kabar epribadeh!" teriak seseorang tepat di depan pintu.

Ami yang berjarak paling dekat tersentak, menoleh, terkejut, melotot dan kehilangan keseimbangan. Hampir terjatuh jika pinggangnya tak ditarik oleh orang tersebut.

Stevi menoleh. Geon dan Jeje menghentikan lari-larian mereka. Terpaku pada saat yang sama dengan Ami. Napas mereka tertahan.

Siapa?

160520ailavutu.

Siapa hayo? Next chapter!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top