Belas. Kasih Tangisan Cinta.

Sebelas/Eleven/Juu Ichi

Kasih tangisan cinta, beri harapan pula

Lebih tepatnya mempertahankan ketidakpastian hidup.

Sayup-sayup suara Yuta yang cekikikan terdengar. Tampaknya kedua kakaknya sedang bermain dengan anaknya. Tumben sekali, biasanya mereka hanya bekerja. Bukan hanya mereka, Ami pun sama. Semua dilakukan karena ingin mandiri mengetahui bahwa saudari kembar tersebut yatim piatu. Rangga? Ia hanya memiliki seorang ibu saja. Dan ibunya kini tinggal bersama saudaranya. Sebenarnya, Rangga adalah anak tiri dan ibunya tidak terlalu memikirkannya. Sungguh malang. Mereka memiliki suatu kesedihan tersendiri dan terus bergerak maju. Singkatnya, seperti seorang penulis, jika dirinya pernah memiliki luka pada hati semisal pada mantannya, maka penulis tersebut akan bisa membangun karakternya menjadi hidup. Kita semua harus pernah jatuh agar bisa bangkit. Harus memiliki berbagai pengalaman agar berwawasan. Jangan sekalinya jatuh lalu terpeleset lagi. Jika memang benar tidak bisa bangkit sendiri, maka berpeganganlah. Raih tujuanmu.

Ami membuka pintu depan hendak memasuki rumah. Namun tangannya terhenti karena getaran ponsel pada saku celananya. Ami mengambil benda pipih tersebut. Melihat nama yang tertera lalu menjawab panggilannya.

"Moshi moshi?"

"..."

"Nggak usah, gue aja yang ke sana gimana?"

"..."

"Enggak apa-apa. Sharloc ajah."

Ami kembali menutup pintu. Mengambil kunci motor di tasnya lalu melesat secepatnya. Yang menelepon tentu saja bukan si Bosq. Terlihat karena Ami tidak berbicara dengan nada formal.

Siapa lagi kalau bukan ...

"Abi!" panggil Ami di ambang pintu kafe. Ia melambai ketika Abi sulit menemukannya.

Abi ikut melambaikan tangan, menyuruh Ami untuk mendekat.

"Ada apa Bi?"

Wajah Abi mendadak pucat. Beberapa kali ia terlihat menjilat bawah bibirnya. Lelaki tersebut tampak ragu serta frustasi.

"Gue mau minta maaf sebelumnya."

Ami mengangkat sebelah tangannya, "Hm? Gue terima permintaan maafnya."

"Cepet banget woy!"

Ami terkekeh dan mengatupkan tangannya untuk meminta maaf, lalu menyuruh Abi untuk melanjutkan kalimatnya.

"Lo mirip calon bini gue. Bukan wajahnya tapi karakter kalian. Kalau wajah kalian mirip, kembar tiga dong."

Lagi-lagi Ami terkekeh. Padahal ia tak mengatakan hal itu, tetapi Abi seperti merespon ucapannya sendiri dengan isi pikiran Ami.

"Namanya Feby, bukan Feby Febiola. Detik-detik hari menjelang pernikahan kami, dia meninggalkan gue tanpa tanda-tanda."

Ami tetap mendengarkan tanpa berkomentar. Ia memberikan lelaki yang ada di depannya untuk mengingat gadis tersebut.

"Yah lo bener, gue dulu emang sangar. Bahkan para mahasiswa nggak percaya kalau gue asisten dosen saking serem kata mereka. Padahal gue ngerasa b aja. Sejak ada Feby gue mulai berubah. Dia itu sama kayak lo banyak bacot unfaedah. Imut kayak anak kecil. Manis kayak permen. Terus ... suka banget sama Disney. Bahkan ia menghayal bakal jadi salah satu putri Disney."

"Gue nggak pernah ngehayal jadi putri Disney," potong Ami.

"Iya, tapi lo pengen jadi Olaf kan?"

Ami menutup wajahnya malu. Ternyata Abi masih ingat bacotannya di bioskop kemarin.

"Gue ... Feby ... Gue sayang banget sama dia. Lo tahu? Dia itu satu-satunya maba yang nembak gue di hari pertama ngampus. Aneh kan? Feby itu beda dari yang lain ... Feby itu cantik banget. Ga ada yang namanya sedih di dalam kamus hidupnya. Feby ..."

Tes ... tes ... air mata Abi menetes perlahan. Ia menggigit bawah bibirnya. Ingin menceritakan lagi tentang sosok Feby namun bibirnya tak kuasa untuk mengucapkan kalimat lagi. Perlahan ia menunduk, mencoba menghapus air mata yang sudah tak bisa dibendung. Persetan dengan Ami yang akan ilfeel dengannya, Abi tak tahu harus mengeluarkannya sampai kapan. Jika saja ia tak bertemu Ami, mungkin ia akan bunuh diri.

Telinga Abi berdengum. Bahkan matanya tak bisa melihat dengan jelas akibat air mata yang menghalangi penglihatannya. Napasnya tertahan. Ia terisak di sana. Dadanya begitu nyeri ketika kembali mengingat Feby.

"Kak Abi ... kamu itu nggak cocok nangis tau!"

Abi menghentikan tangisnya seketika. Ia mendengar suara Feby samar-samar. Selain itu ... Ami sudah berada disebelahnya entah sejak kapan berpindah tempat duduk. Memeluknya seraya menepuk pundaknya.

"Abi, lo nggak cocok nangis tau!"

Deg!

Air mata itu luruh kembali. Ami masih tetap bertahan pada posisi yang sama. Ia menepuk punggung Abi beberapa kali. Berusaha menenangkan lelaki tersebut. Ami mendekatkan bibirnya pada telinga Abi, berbisik lirih.

"Tetap seperti ini sampai lo berhenti menangis."

Tangis Abi ... semakin mengencang.

Pukul tujuh malam. Ami baru bisa merasakan nyamannya sebuah kasur. Sebenarnya sejak di kantor sebelum bersedih karena rumor gaji yang tidak adil tersebut, Ami sudah ingin cepat-cepat pulang. Rebahan sambil memakan cemilan serta menonton anime yang berisi ikemen. Biasanya Ami tertidur dengan layar laptop yang menontonnya. Sungguh menguras baterai laptop serta listrik di rumah.

Ngomong-ngomong tentang listrik, setelah selesai menangis, Ami dan Abi berpisah. Ami ingin mengantar Abi namun malah yang terjadi sebaliknya.

Yah memang tidak ada hubungannya dengan listrik.

Sebelum meninggalkan Ami yang akan masuk melewati gerbang dengan motornya, Abi berucap, "Weekend nanti gue kenalin sama Feby!"

Ami tersenyum dan mengangguk, "Asal lo nggak nangis, oke?"

"Oke."

Lelaki itu masih sepenuhnya mencintai Feby. Ami rasa kejadiannya masih sangat baru. Mungkin tidak sampai satu tahun yang lalu. Melihat dari tangisan Abi serta wajah murungnya, mungkin sekitar enam atau tujuh bulan lalu. Ami yakin, Abi tidak menginginkan dirinya yang katanya mirip dengan Feby. Abi hanya mengikuti arahan orang tuanya. Ami tidak menyalahkan kedua orang tua Abi, ia tahu semua orang tua pasti cemas ketika melihat anaknya terpuruk dan mereka mencoba untuk memberikan pilihan namun salah kendali dan menjadi boomerang bagi anak mereka.

Abi ... ingin mencoba lagi dengannya? Ami tidak akan menolak, sepertinya ia juga tertarik dengan Abi. Sepertinya.

Tok! Tok!

"Masuk aja nggak kekunci."

"Tapi Yuta nggak nyampe."

Ami terkekeh. Bangkit dari posisinya menuju pintu dan membukanya. Keponakannya berdiri dengan wajah cemong bekas tepung. Ami berjongkok di hadapan Yuta. Lelaki kecil tersebut membawakan Ami kue buatanya?

"Buat tante?" tanya Ami.

Yuta mengangguk, "Nanti, Yuta buatin yang lebih enak. Kalena nggak sabal, Yuta coba buat cekalang."

"Hm?"

"Aaaa ..." Yuta menyuruh Ami untuk membuka mulut lebar-lebar karena ia akan menyuapi bibinya.

"Enak?" tanya Yuta.

"Enak!" beo Ami. Mata Yuta berbentuk bulatan sempurna, ia menepuk tangan dan tersenyum.

"Mah, Pah, katanya enak!" Yuta berlari kecil menuju lantai bawah melalui tangga.

Ami menghela napasnya dan kembali memasuki kamar. Ia mengantuk sekali. Bahkan kue tersebut belum selesai dikunyahnya akibat saking lelahnya.

Ngomong-ngomong, apa itu tak terlalu mencurigakan? Kue? Yuta mau buat lagi yang lebih enak? Memangnya akan ada acara apa?

Ami tak ingin berpikir lagi. Berpikir membuat tenaganya berkuras. Matanya meremang-remang. Beberapa detik kemudian, dengkuran halus terdengar.

230520ailavutu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top