Chapter 9
Nayla menatap kamarnya, dia sangat suka dengan interior kamarnya ini. Rasanya dia tidak mau meninggalkan kamar hotel ini.
Sedangkan kamar Dimas, berada di pinggir kanan kamarnya, hanya melewati satu pintu saja. Setidaknya Nayla bisa bersyukur, dia tidak perlu selalu bersama dengan Dimas.
"Wah, gue butuh ini." serunya, langsung merebahkan dirinya.
Tak lama ponselnya berdering sesaat, tanda pesan singkat. Dengan malas-malas Nayla mengambil ponselnya di dalam tasnya.
Balok Ice.
Jam 7 meeting.
What??
Ingin rasanya Nayla mendobrak kamar Dimas sekarang juga, dan merontokkan rambutnya. Tapi apalah daya, memang saat ini Nayla bukan berlibur. Miris.
Me.
Siap.
Jawab Nayla singkat.
***
Jogja.
17.00 sore.
Berkali-kali Nayla menggerutu, ia merasa kesal dengan Dimas yang sudah merekomendasi kan dirinya pada Pak Andra untuk membantu permasalahan keuangan di Jogja. Seharusnya ia bisa menikmati hari-harinya di Jogja, namun sayang kali ini Nayla pergi dengan orang yang salah. Ya, Dimas. Manusia es itu tidak pernah menikmati hidupnya. Yang dia tahu hanya bekerja dan bekerja. Itu pikir Nayla. Kenapa bisa berpikir seperti itu? Ya tentu saja, karena baru satu jam yang lalu Dimas memberikan info kepadanya bahwa akan ada meeting nanti malam. Namun tiga puluh menit kemudian, Dimas memintanya untuk bersiap, karena akan melihat lokasi.
Tidak bisakah Dimas berpikir kalau Nayla merasakan lelah?
Setidaknya, Nayla harus membersihkan dirinya dulu. Nayla baru saja menarik nafas dalam-dalam setelah jauhnya perjalanan yang ia lalui, kini ia harus kembali bergulat pada masalah pekerjaan. Memang Nayla sadar diri kalau ia kemari untuk bekerja. Tapi apa harus seperti ini?
"Argghh... Gue mau pulang!!" Jeritnya.
Tok! Tok! Tok!
Nayla mendudukkan dirinya. "Loh, emang kedengeran?" ujar Nayla penuh tanya, secara mereka menginap di hotel berbintang, tidakkah kamarnya kedap suara. Ia segera berlari ke arah pintu. Di bukanya perlahan. Ternyata sudah ada Dimas yang sedang berdiri dengan setelan baju formilnya. Nayla mengerutkan dahinya.
"Kenapa?" tanya Dimas bingung dengan mimik Nayla.
"Bapak mau kemana?" tanya Nayla.
"Melihat lokasi."
"Sekarang?!" seru Nayla. " Sendiri, kan?"
"Menurutmu?"
"Tapi kita baru sampai." Nayla mencoba memelas pada Dimas. tapi memang dasarnya Dimas tak memiliki hati dan datar, dia tidak merasa terusik sedikit pun dengan wajah memelasnya Nayla, ya walau pun tak ada enak-enaknya untuk di lihat.
"Saya kasih waktu lima belas menit, bersihkan dirimu." ujar Dimas setelah melihat Nayla dari atas sampai bawah.
Nayla tercengang mendengar perkataan Dimas.
Hei, waktu lima belas menit mana cukup bagi seorang gadis untuk membersihkan diri dan bersolek. Ya walau pun make up Nayla tak jauh dari pelembab, BB crem, bedak, liptint dan maskara, tapi tetap saja disana perlu ketelitian agar mendapatkan hasil yang menarik. Menarik kaum hawa maksudnya. Nayla harus berusaha keras untuk mengakhiri masa lajang nya. Setidaknya ia juga ingin memiliki pasangan seperti teman-temannya.
"Engga perlu, kita berangkat sekarang aja." ujar Nayla ketus. Dimas mengerutkan dahinya, kemudian mengangguk. "Kok, Bapak gak nanya kenapa saya menolak pemberian waktu Bapak?" Sambung Nayla.
"Untuk apa?" tanya Dimas.
Nayla membuka mulutnya lebar-lebar. Dirinya jadi kurang yakin kalau yang ia hadapai kali ini adalah manusia. Dimas lebih mirip seperti sebuah ukiran batu es berbentuk manusia, dari pada manusia sungguhan.
Dimas pergi meninggalkan Nayla. Sedangkan Nayla hanya bisa mengurut dadanya. Mengapa terasa sesak pergi bersama orang irit bicara seperti Dimas. "Atau jangan-jangan, dia juga tidak pernah bicara dalam hati." gumam Nayla sembari melangkah pergi setelah mengunci pintu kamarnya.
***
Bolehkan Nayla menjerit sekarang juga? Atau berteriak? Atau menangis meraung-raung? Oh.. Kali ini Nayla benar-benar tersiksa. Entah sejak kapan cacing perutnya meronta-ronta minta di isi, entah berapa kali kakinya melangkah. dan entah berapa banyak keringat yang sudah keluar dari tubuhnya.
Setelah pengecekan lokasi bangunan, dengan tanpa hati dan perasaannya, Dimas langsung membawa Nayla untuk meeting bersama investor perusahaan. Nayla yang sedari tadi belum makan tentu saja tidak dapat berpikir dengan baik.
Sampai akhirnya sebuah keheningan terjadi, namun alangkah memalukan nya, saat semua orang terdiam untuk menikmati teh hangat mereka masing-masing, sebuah suara terdengar nyaring.
Kruk! Kruk!
Seketika semua mata memandang Nayla yang saat ini duduk di meja paling pojok samping Dimas. Nayla menundukkan kepalanya malu. Dimas menghela nafas panjang.
"Kamu belum makan?" tanya Dimas berbisik. Nayla menggeleng. Dimas mendengakkan kepalanya.
Seingatnya Nayla belum makan saat mereka berangkat ke Jogja, di dalam pesawat pun tak ada hidangan yang Nayla sentuh. "Kalau begitu apa sudah cukup untuk hari ini?" tanya Dimas.
Ketiga pria yang berada di hadapan mereka mengangguk. "Terima kasih banyak Pak Dimas, semoga saja urusan ini lancar."
"Sama-sama, Pak. Kalau begitu kami permisi. Selamat malam."
Dimas dan Nayla pun pamit undur diri. Dalam perjalanan menuju hotel, lagi-lagi hanya ada keheningan.
Sampai akhirnya mereka pun sampai ke hotel, Nayla dan Dimas segera memasuki kamar masing-masing.
Tapi tetap saja tidak mengubah rasa lapar Nayla menjadi kenyang. Sampai Nayla pun pergi mandi agar untuk menghilangkan rasa laparnya, namun tetap saja itu tidak mempan.
Ting tong!
Suara bel berbunyi nyaring. "Room Service!"
Nayla mengerutkan dahinya, ia merasa tidak memakai layanan Room Service, bahkan saat ini ia baru sadar, kenapa juga tidak menggunakan layanan Room Service, malah menyiksa perutnya dan membawanya mandi.
Nayla berjalan dengan gontai, suara bel terus berbunyi, sepertinya pelayannya sangat tidak sabar, pikir Nayla.
Nayla membuka pintunya lebar-lebar.
"Iya?" tanya Nayla.
"Room service, ini pesanan anda." ujar pelayan itu dengan logat jawanya.
"Maaf, tapi saya tidak menggunakan pelayanan ini." ujar Nayla.
"Kamar dari 109 meminta saya mengantarkan pesanan ini ke kamar anda, Nona."
Nayla mengerutkan dahinya, kemudian mengangguk mengerti. "Bawa saja ke dalam." ujar Nayla. pelayan itu menurut, tak lama kembali keluar.
Ternyata Dimas yang telah memesan Room Service untuk Nayla. Nayla sama sekali tidak menyangka, Dimas benar-benar memiliki hati. Seharusnya Nayla mengumumkan masalah ini kepada teman-teman kantornya.
Tapi tidak ada waktu untuknya kali ini, Nayla harus mengurungkan niatnya, saat kembali perutnya berbunyi.
***
Klenting!
Nayla meraba nakas dengan mata terpejam saat ponselnya berdering singkat. Matanya terbuka perlahan, pesan singkat dari Dimas. Ya, Nayla tidak salah lihat kan?
Dimas mengirim pesan kepadanya selarut ini?
Apakah Dimas akan menyuruhnya bekerja? Oh, itu sangat keterlaluan.
Balok ice.
Sudah tidur? Kalau belum, mau temani saya minum Bandrek di daerah Malioboro?
Seketika, mata Nayla membulat lebar. Nayla membaca kembali pesan itu, kemudian memeriksa nomor pengirimnya, guna untuk meyakinkan dirinya kalau ini bukan salah orang, atau salah kirim. Bahkan sampai Nayla mencubit lengannya sendiri untuk memastikan ini bukan mimpinya.
"Aw..!!" Nayla menjerit kencang. "Ini bukan mimpi." ujarnya.
***
*Bersambung*
""
Ihh Dimas perhatian banget.. 😍😍
Baper aku haha..
Jangan lupa komen dan vote zheyeng..😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top