Chapter 8
Nayla sedang berbincang-bincang ria dengan Febri dan Sahila. Tawa kedua sahabatnya pecah seketika, saat Nayla menceritakan kesialannya kemarin. Tentu saja Nayla tidak terima itu. Dia menekuk wajahnya.
"Dasar lo, Nay. Kok bisa sampe lupa kalau kemarin tanggal merah."
"Ish, namanya juga lupa, ya wajarlah."
"Lupa lo kelewatan, Nay." Febri kembali tergelak.
"Jangan-jangan lo lupa juga pake daleman."
"Ngaco lo. Udah ah, gue mau langsung kerja aja."
"Sensi amat lo, Nay. Lagi PMS apa?"
"Berisik lo."
Nayla kembali fokus dengan pekerjaannya. Sedangkan Sahila dan Febri kembali pada kubikel mereka masing-masing.
"Selamat pagi." suara bariton seorang pria, yang menurut karyawati di kantor ini sih, terdengar seksi. Kecuali Nayla.
"Pagi, pak!!" jawab serentak para staf.
"Nayla." Nayla menyembulkan kepalanya keluar kubikel.
"I'm here, boss." jawab Nayla. Dimas menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ikut saya meeting hari ini." seketika Nayla berdiri.
"Me-meeting?" jawab Nayla terbata-bata.
"Lebay, ngomong aja pake ke potong-potong begitu, udah kaya Aziz gagap lo." celetuk Mario.
"Ishh, berisik lo." Nayla mencebikkan bibirnya ke arah Mario. Lalu kembali menoleh ke arah Dimas. "Kok saya, pak? Emang gak ada yang lain?" tanya Nayla. dia ingin sekali menolaknya. Sungguh.
"Pak Andra yang suruh." Nayla menautkan kedua alisnya. Tapi akhirnya ia mengangguk, tidak mau menolak, siapa juga yang mau berurusan dengan bos besar di perusahaan ini.
Tapi anehnya, dari mana pak Andra tahu? Secara Nayla hanya butiran debu di perusahaan ini. Nama lainnya jongos lah. Karena tidak mau ambil pusing. Nayla jadi hanya mengiyakan saja.
***
Di Ruang Meeting.
"Jadi, untuk pembangunan di Jogja ini, saya ingin pak Dimas mengontrol dan mengoordinasikan perencanaan dan pengeluaran keuangan selama lima hari, agar lebih efisien, dan tidak ada kerugian yang kantor tanggung walau sekecil apa pun. Dan saya percaya dengan pak Dimas dalam mengatasi masalah pengeluaran ini." Ujar Andra.
Dimas hanya mengangguk setuju. "Apa saya boleh bawa salah satu bawahan saya, Pak? karena disana akan banyak hal yang harus di urus, saya rasa akan lebih baik bila ada yang membantu saya." jelas Dimas. Andra mengangguk membenarkan ucapan Dimas.
"Baik, kalau begitu. Siapa yang ingin anda bawa, pak?"
"Nayla." Nayla membelalakan matanya.
Kenapa nama gue di bawa-bawa deh??-- batin Nayla.
"Saya rasa cara kerja Nayla sangat bagus, selain cepat, dia juga Sangat teliti."
Bohong itu. Baru kemarin gue revisi semua kerjaan gue kok, karena banyak yang salah.-- batin Nayla.
Tapi tak bisa Nayla pungkiri, hidungnya sedikit kembang kempis karena merasa senang, secara tidak langsung dia di puji oleh Dimas di depan orang banyak.
Andra tersenyum melihat Nayla yang berwajah merona. Andra lagi-lagi mengangguk. "Oke, kalau begitu. Saya harap kalian berdua bisa mengatasi semua ini dengan baik."
"In syaa allah, Pak." Jawab Dimas.
***
Usai meeting. Semua orang sudah meninggalkan ruangan, tersisa hanya Nayla dan Dimas yang masih membereskan file-file bawaannya.
"Pak, kenapa mengajukan saya sih?" Dimas menoleh dan mengangkat satu alisnya.
"Saya hanya ingin, anak buah saya bisa di andalkan." Dimas menjeda ucapannya, dia berdiri dan menghampiri Nayla yang berdiri cukup jauh dari tempatnya saat ini.
"Lagi pula ... Hitung-hitung kamu belajar agar cara kerja mu menjadi baik." ujar Dimas, dan menyimpan dokumen di tumpukkan maps Nayla. "Bawakan ini. Tolong." lanjutnya, lalu keluar meninggalkan Nayla yang tercengang.
Setelah sadar. Tangannya terkepal erat. "Ishh dasar balok es. Bisa-bisanya dia ngangkat gue dan jatohin gue gitu aja. Dimas sialan." Umpatnya.
"Kamu melihat pulpen saya?" tubuh Nayla bagaikan di tenggelamkan dalam kolam es seketika. dia merasa berat untuk memutar tubuhnya. Akhirnya Nayla hanya menggeleng sembari menunduk.
"Di mana ya? Tadi disini." ujar Dimas, dia kembali berjalan ke arah Nayla yang masih menunduk. "Oh.. Ini dia." Ternyata pulpennya tidak sengaja jatuh tepat di bawah kaki Nayla.
Nayla sedikit bergeser, memberi jarak pada Dimas. Setelah mengambil pulpennya, Dimas menunjukkannya pada Nayla. Dimas hendak pergi, namun langkahnya terhenti, wajahnya sedikit mendekat ke arah telinga Nayla.
"Jangan pernah mengumpat seorang pria, kamu tidak pernah tahu kan, waktu itu bisa berputar. Siapa yang tahu kelak kamu yang malah menyukai pria itu." bisiknya, dengan tersenyum tipis, Dimas meninggalkan Nayla yang tubuhnya semakin kaku.
Nayla menghentakkan kakinya berulang-ulang merasa kesal dengan dirinya, yang bisa-bisanya tertangkap basah disaat sedang mengumpat Bos-nya.
"Nayla bodoh!!" gerutunya.
***
Ke Esokkan Harinya.
Berkali-kali Nayla memandang jam tangannya. Sudah lebih dari satu jam, Nayla menunggu kedatangan Dimas.
Nayla kembali menghubungi Dimas yang masih tak ada jawaban.
"Pokonya, lima menit lagi si Dimas gak dateng, gue mau balik aja." gerutunya.
Nayla menatap sekitar, namun matanya berhenti pada seorang pria yang sedang menggeser koper. Bilang saja Nayla jatuh cinta pada pandangan pertama, pria itu sangat tinggi, dengan perwakan tubuh yang proposional, rambutnya dengan potongan undercut sangat cocok untuk wajahnya yang berbentuk oval dan memiliki pipi tirus. Di tambah kacamata hitam yang bertengger di hidung mancung nya, membuat kaum hawa berputar demi menatapnya, tak mau berpaling.
Nayla berubah salah tingkah, saat pria itu berjalan ke arahnya. "Lama nunggunya." kata pria itu. Nayla mengerutkan.dahinya.
"Maaf, Siapa ya?" tanyanya. Pria itu tertawa kecil.
"Apa menunggu, membuat mu Amnesia?" ujar pria itu sembari membuka kacamata hitamnya.
Nayla begitu terkejut, ternyata pria tampan itu adalah Dimas Fatir. Boss kutubnya. Boss balok es-nya.
"Pak!!" seru Nayla dengan menutup mulutnya. Anggap saja Nayla memiliki penyakit Lebay akut.
Dia memandang penampilan Dimas dari atas sampai bawah. Kali ini Dimas menggunakan setelan Casualnya. Dengan memakai celana Chino, memakai kemeja hitam dengan tangan baju yang tergulung sampai siku, semakin memperjelas otot-otot lengannya, belum lagi tampilan rambutnya yang berantakan, membuat penampilannya terkesan liar.
Kemudian, Nayla membandingkan dengan penampilannya, yang memakai setelan kerja seperti biasa. Dimas mengikuti arah pandang Nayla. Dimas terbahak.
"Kenapa ketawa?" tanya Nayla ketus.
"Em.. Saya mengerti, kita pergi karena urusan pekerjaan. Tapi apa kamu tidak akan sesak memakai rok sepan, kemeja dan blazer, belum lagi sepatu mu yang tinggi. Apa kamu akan merasa nyaman?"
Dengan angkuhnya, Nayla mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Saya sudah terbiasa." ujarnya. Kemudian berjalan meninggalkan Dimas.
Dimas hanya bisa tersenyum. Nayla memang beda dari wanita mana pun.
***
*Bersambung*
Percayalah Readers, Dimas itu nyata gantengnya.. 😂😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top