Chapter 6

(Nayla's day)


Hari ini, cuaca sangat mendung. Awan hitam mengumpul menutupi sinar surya. Nayla mendongak menatap langit. Ia menghela nafasnya berat. Seharusnya ia sudah sampai di kantor sedari tadi, tapi karena sepatunya hilang satu, ia jadi terlambat.

"Pasti si Bos kutub udah dateng deh." gumamnya.

Jujur saja, ia takut untuk di marahi dengan Dimas. Intinya sih takut di hukum, karena hukumannya tidak tanggung nganggung. Masa iya ada hukuman karyawan membersihkan ruangan Bos-nya. Ini bukan sekolah, yang memakai cara hukuman seperti itu, karena muridnya kesiangan atau ketahuan kabur. Tapi Dimas, tidak ragu untuk membuat hukuman seperti itu bila karyawannya kesiangan. Aneh? Tentu saja aneh.

Tapi Nayla masih bersyukur, setidaknya ia tidak menghukum dengan cara memotong gajihnya. Mungkin Hanya omongan atau di sebut gretakkan saja, tapi sesungguhnya Dimas tidak pernah melakukan itu. Kalau benar ia melakukan itu, Nayla pasti hanya menerima setengah gajihnya setiap bulan. Karena keseringannya Nayla terlambat.

Ojek online pesanannya tiba di hadapannya. Orang itu tersenyum ramah. "Mba Nayla?" tanya Bapak ojeknya.

Nayla mengangguk. "Iya, Pak Rizal, ya?" tanya Nayla dengan senyum lega. Bapak itu juga mengangguk.

Oke, kalau di lihat-lihat mereka seperti teman lama yang baru saja berpisah selama bertahun-tahun, sekalinya bertemu, saling menyebutkan nama, cuma bedanya ini tidak ada aksi peluk memeluk, apa lagi cium pipi kanan dan kiri.

Nayla segera menaiki motor pak Rizal.

Deg!

Kantungnya bergemuruh hebat. Bukan, bukan karena bapak ojeknya yang membuat jantung Nayla berdegup tak terkendali. Tapi karena saat ia menaiki motornya, tak sengaja ia memegang pundak pak Rizal. Bukan karena itu  alasannya. Alasan sesungguhnya, karena tanpa sengaja ia melihat jam tangan clasiknya yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah pukul delapan lebih lima belas menit.

Nayla menepuk pundak pak Rizal. "Pak jalannya cepetan, ya. Saya udah kesiangan nih." ujar Nayla dengan kencang, tapi tetap saja sulit terdengar dengan pak Rizal. Karena tertelan dengan keriuhan suara jalanan kota.

"Duh, Neng. Saya gak janji ya, soalnya lagi ada demo mahasiswa. Jadi sebagian jalan di tutup." seketika ia terkejut.

Sekali lagi, bukan karena suara pak Rizal yang menggelegar, tapi karena ucapannya itu yang baru saja di dengar. Ya tuhan, apa salahku. -- batin Nayla berlebihan.

"Demo, Pak? terua gimana biar bisa cepet sampe ya, Pak?"

"Kita muter aja ya, Neng. Emang rada jauh, tapi gak jadi pusat demo."

"Oke." jawab Nayla lirih.

Ngenes banget gue pagi-pagi gini. Oke Nayla. Untungnya ada yang demo sebagai bentuk alasan lo. Smart girl.-- batin Nayla dengan senyum mengembang licik.

Semuanya berjalan dengan sangat baik, kantor Nayla pun sudah sangat dekat, itu menurut Nayla, karena ia baru saja melihat tempat Foto Copy yang pernah ia datangi waktu itu.

Nayla menggebu, karena merasa akan segera sampai, ia akan berakting setelah ini. Tapi..

Cuss!!

Nayla dan pak Rizal tersentak, mereka sama-sama terkejut, dengan cepat pak Rizal menghentikan motornya.  Kepalanya segera melihat keadaan ban motornya.

"Kenapa, pak?" tanya Nayla. Perasaannya sudah tidak enak.

"Ban nya bocor, Neng." Nayla menghela nafas berat.

"Kalau gitu saya sampe sini aja deh, Pak." Nayla turun dari motor pak Rizal, begitu juga dengan pak Rizal yang langsung melihat kondisi ban nya yang begitu mengenaskan.

"Iya, Neng boleh." Nayla mengeluarkan selembaran uang kertas.

"Ini, pak."

"Gak perlu, neng. Saya kan anterinnya gak sampe depan kantor." Nayla menggeleng.

"Tapi bapak, kan udah anterin saya sampe depan kantor." Nayla menarik tangan pak Rizal.

"Makasih, neng. Tapi saya baru keluar gak ada kembalian, gak ada uang kecil?"

Nayla tersenyum. "Ambil aja kembaliannya, pak. Semangat ya, pak. Makasih. Saya pergi dulu." pamit Nayla, baru saja ia hendak melangkah, namun ia urungkan, dan kembali menghadap pak Rizal.

"Salam, pak." kata Nayla sembari mengulurkan tangannya, pak Rizal sedikit bingung, tapi ia tetap menurut mengulurkan tangannya, Nayla menyalami pak Rizal layaknya seorang anak kepada orang tua. Pak Rizal tersenyum melihat sikap sopan Nayla. Jarang-jarang ada anak gadis sesopan Nayla di jaman sekarang.

Nayla tersenyum, dan melambaikan tangannya, ia pun pergi setelah kembali melihat jam tangannya. Telat dua puluh lima menit. Ini hari pemecah rekor di hari keterlambatan Nayla. Harus kah Nayla menggelar pesta besar-besaran setelah ini? Sepertinya tidak.

Nayla mengubah langkah jalannya menjadi berlari kecil, saat rintik kan air membasahi bajunya. "Apa lagi ini?" gerutunya.

Nayla membuka sepatunya. Lebih baik ia melepaskan high hells nya yang terbilang tinggi ini, dari pada ia harus terlambat. Nayla berlari cepat, saat rintik kan air hujan semakin banyak membasahi tubuhnya. Nayla mengabaikan tatapan geli orang yang melihatnya. Dia sangat tidak perduli, karena orang itu tidak berada di posisinya.

Nayla tersenyum lega saat ia sudah bisa melihat pintu gerbang kantornya. Kemudian ia semakin mempercapt langkahnya. Dan setibanya di loby kantor. Barulah Nayla bisa bernafas lega, ia segera memakai sepatunya. Ia memasuki lift, dan terkejut dengan penampilannya.

Rambut yang berantakan dan juga setengah basah. Make up yang tak rapi lagi, baju yang basah. Ya tuhan, siapa ini? Pikir Nayla.

Ting!

Nayla segera keluar, biarkan ia seperti ini, Dimas harus melihat pengorbanan nya untuk datang bekerja hari ini. Meski pun demo, hujan, dan jalan kaki dengan jarak yang lumayan. Nayla masih tetap semangat untuk bekerja. Betul tidak?.

Ia memasuki kubikelnya dan mulai bekerja setelah memastikan baju dan rambutnya sedikit kering, Nayla masih bisa menghela nafas lega, karena tak ada pertanyaan dari Sahila, Febri atau Mario sehingga tidak menarik perhatian Dimas dan membuat Dimas keluar dari ruangannya.

Nayla menghentikkan ketikkannya, merasa ada yang aneh karena terdengar hening tanpa adanya suara ramai seperti biasanya. Apa teman-temannya begitu serius bekerja? Pikir Nayla. Nayla berdiri, dan mengintip kubikel teman-temannya. Dan ia cukup terkejut dengan ini, karena kubikel teman-temannya kosong.

"Loh kemana mereka?" tanya Nayla bingung.

Nayla segera.berdiri, ia melangkah mendekat ke ruangan  Dimas. Mengetuk pintunya sesaat, namun tak ada sahutan apa pun. Nayla membuka pintu ruangan Dimas, dan terkejut karena Dimas juga tak ada disana.

"Loh kok gak ada?" seru Nayla. Ini seperti mimpi buruk. Nayla segera kembali ke kubikelnya. Dan mengambil benda pipih yang tersimpan di tasnya.

Nayla mengetikkan sesuatu disana.

Biang Rusuh (Grup).

Me.
Lo pada kemana? Gue di kantor ini. Lo pada belum datang? Gue sendiri. Pak Dimas tumben banget belum dateng.

Tidak lama satu balasan dari Mario dalam grup mereka.

Mario.
Lo ngapain, Nay? Rajin amat kerja.

Me.
Harus dong, gue kan kudu nabung buat nikahan kita nanti, bantu kamu sayang. 🤣😛😛

Mario.
Terharu gue. 😏

Sahila,
Pada berisik amat sih, gangguin orang tidur aja. Nay, lo ngapain di kantor hari gini?

Me.
Tidur? Gila loh, kok bisa lo tidur di hari kerja, lo pada gak kerja udah siang ini.

Mario.
Lo ngelindur, Nay? Ini kan tanggal merah.

Nayla mengerutkan dahinya. Ia segera membuka kalender duduk yang berada di mejanya, yang tidak pernah Nayla ganti bulannya, tentunya. Nayla terhenyak melihat kalendernya. baca baik-baik. Ini tanggal merah, libur nasional. Semuanya libur. Dan hanya ia yang bekerja di hari libur yang seharusnya ia nikmati ini. Tapi apa? Nayla dengan bodohnya sangat cemas dan gelisah. Berlari hujan-hujanan untuk datang ke kantor.

Inilah akibatnya jarang ganti bulan di kalender, dan jarang melihat tanggal. "Kesalahan yang lo buat sendiri, Nay" gumamnya dengan menatap kosong ke depan.

*Bersambung*


Kok bisa ya? Ada yang pernah senasib sama Nayla gak nih?

Kalau aku pernah waktu sekolah dulu. Bawa mata pelajaran untuk hari lain, Sedangkan di hari itu gk ada satu pun mata pelajaran yang aku bawa bukunya alhasil aku harus salin ulang semua pelajaran di hari itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top