Chapter 4
Dimas menghentikan mobilnya di depan pelataran rumah minimalis. Ia melihat dengan teliti rumah itu.
"Ini rumahmu?" tanya Dimas. Nayla menggeleng.
"Rumah orang, Pak." jawab Nayla.
"Hm, saya lupa, kamu kan bukan orang ya." gumam Dimas yang masih bisa di dengar dengan Nayla.
Nayla mendelik ke arah Dimas. "Ada apa?" tanya Dimas.
"Engga." Jawab Nayla ketus.
"Ya sudah sana turun, saya tidak mau di pergoki warga sedang berduaan dengan mu, bisa-bisa saya di paksa menikah." Nayla melotot lebar.
"Lagi juga, siapa yang mau nikah sama bapak. Geer."
Nayla membuka pintu mobil, namun sulit. Ia menghela nafas panjang. "Bukain dong, Pak."
Namun, tanggapan Dimas terlihat aneh di mata Nayla. Dimas membulatkan matanya lebar. Rahangnya mengetat.
"Apa maksud kamu? Kamu mau kita buka-bukaan di sini?" ujar Dimas dengan nada sinis. Nayla mengerutkan alisnya.
"Buka-bukaan? Ih makanya, Pak. Amplas dulu tuh otak ngeresnya, biar gak sembarang kalau ngomong. Maksud saya bukain pintu mobilnya, bapak masih mengunci."
Dimas menghela nafas lega. "Oh, bilang dong dari tadi. Dimas membuka kunci pintunya menjadi On.
Nayla segera membuka pintunya, berlama-lama dengan Bos nya akan membuat emosinya tidak stabil. Tapi lengannya tertahan dengan genggaman Dimas.
"Mau kemana kamu?" tanyanya ketus. Nayla mengerutkan dahinya.
"Lah, kata Bapak saya harus cepat-cepat keluar, gimana sih, Pak?"
"Mana ucapan terima kasih kamu? Masih untung saya antar kamu."
"Oh, itu yang Bapak harapkan, Oke. TERIMA KASIH PAK BOS YANG PALING BAIK." ujar Nayla penuh penekanan di setiap kata-katanya.
"Nadanya tidak menunjukkan kamu berterima kasih dengan saya." Ucapnya dengan memicingkan matanya.
Sedangkan Nayla memutar matanya malas.
"Aduh, repot banget sih, Pak. Makasih ya Pak udah mau anter saya pulang." Ucap Nayla sekali lagi. Dimas tersenyum puas. Tetapi sesaat kemudian senyumnya pudar, terganti dengan kerutan kecil di dahinya.
"Sebentar! Kenapa kamu kurang ajar sekali dengan Saya? Saya ini atasanmu." Nayla menghela nafas lagi dan lagi.
"Maaf Pak, jadi saya kapan turunnya?" tanya Nayla.
Dimas mengerjapkan matanya. "Ya, turun sana." ujar Dimas sembari mengibaskan tangannya. Nayla mendelik ke arah Dimas. Dimas segera melajukan mobilnya, meninggalkan pekarangan rumah Nayla.
Nayla menatap mobil Dimas yang menghilang di pertigaan jalan. Ia tidak menyangka, Dimas bisa bersikap konyol juga. Ekspresi dingin dan datar yang biasa ia lihat di kantor, hilang begitu saja saat mereka bersama tadi.
Nayla menutup mulutnya.
"Jangan-jangan, Pak Dimas..."
"Nay!" Nayla terperanjat saat suara ibunya memanggilnya. Padahal Nayla masih ingat betul tidak ada langkah kaki siapa pun. Atau jangan-jangan ini bukan ibu.-- batin Nayla.
Ia menoleh perlahan, dan sangat terkejut melihat ibunya yang sudah berada tepat di belakangnya.
"Astagfirullah. Ibu!! Ibu ngapain sih di belakang Nayla? Bikin kaget aja. Terus ngapain sih pake masker segala?"
"Ini iyu au ana ama amu, adi amu di aner iyapa?" (ini ibu mau nanya sama kamu, tadi kamu di antar sama siapa).
"Hah? Nayla gak ngerti bu."
"Iyu yang arusan." (Itu yang barusan). ujarnya sembari menunjuk jalan. Nayla yang mulai mengerti pertanyaan ibunya ber'oh ria.
"Oh, itu bosnya Nay, bu." Mata ibunya berubah seratus persen, senyumnya melebar. Hello.. Gimana sama nasib masekr ibu.
"Wah, yang benar kamu? Jadi tadi itu bos kamu, Nay? kamu punya hubungan sama bosa kamu itu? Wah.. Anak ibu hebat banget ya. Udah kaya ibu dulu."
"Ih ibu. apaan sih. Nay gak punya hubungan apa-apa sama bos Nay. Udah ah.. Nay masuk dulu." Nayla meninggalkan Ibunya sendiri, yang masih menatap jalan di mana mobil Dimas pergi.
"Harus di infoin sama Ayah nih." ujarnya. "Aduh masker ku." keluhnya setelah ia sadar.
***
Nayla sengaja berangkat pagi-pagi sekali, ia ingin menyelesaikan pekerjaan yang sempat ia tunda kemarin. Masalah terberatnya adalah, karena materi itu akan di meeting kan pagi ini.
Nayla segera masuk ke dalam lift, ia mengabaikan tiga orang yang berdiri di belakangnya. Nayla melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Nayla menghela nafas lega, ia mengusap wajahnya. Ia mengrenyit. Ia lupa wajahnya masih tampil polos dan tanpa make up. Tanpa membuang waktu Nayla mengambil senjata ampuhnya di dalam tas.
"Nah, ini yang aku butuhin." gumamnya. Ia segera memoles wajahnya dengan bedak. Namun, ia terkejut, bedak yang ia pegang terjatuh hingga hancur. Nayla menoleh cepat ke belakangnya. Tampak Dimas menatapnya dengan kerutan kecil.
"Bos, udah dateng?" tanyanya dengan ekspresi terkejut.
"Ya, seperti yang kamu lihat, ada apa?" Nayla menggeleng kecil, lalu kembali menoleh ke depan.
Curiga gue. Si Dimas kayanya nginep di kantor nih. -- batin Nayla.
Ting!
Lift terbuka, Nayla melangkah keluar perlahan, membiarkan Dimas berjalan terlebih dahulu. Benar saja Dimas melangkah lebar mendahuluinya. Nayla menghela nafas lega. Namun kembali tercekat saat Dimas telah berdiri tepat di hadapannya.
"Antarkan file berisi materi yang akan di meeting kan sekarang." Nayla tercekat.
"Se-sekarang, Pak? Bukannya meeting jam sembilan?"
"Waktunya di percepat, meeting jadi jam setengah sembilan." Nayla melebarkan matanya.
"Ada apa, Nayla? pekerjaannya sudah selesai, kan?" Nayla mengangguk ragu.
"Su-sudah, Pak." Dimas mengangguk.
"Bagus kalau begitu." Dimas pergi meninggalkan Nayla.
"Mati gue, materinya udah sampai mana ya?" gumam Nayla. Ia segera berlari menuju kubikelnya. "Semoga ada gempa di ruang meeting, jadi meetingnya bisa di undur." harapnya.
*Bersambung*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top